Jaka Tarub, Cerita Rakyat Indramayu?
Dalam wilayah Kab Indramayu Jawa Barat, didalamnya terdapat sebuah desa yang bernama Penganjang. Desa Penganjang ini masuk dalam wilayah Kecamatan Sindang yang juga masuk dalam Zona Indramayu Kota (Pusat Pemerintahan Kab Indramayu).
Desa Penganjang sendiri menurut mitologinya didirikan oleh seorang yang bernama Ki Penganjang. Yang istimewa dari desa ini adalah mengenai situs makam Ki Penganjang alias Jaka Tarub beserta Sumur Widodaren yang menurut mitologi masyarakat setempat menyatakan bahwa Sumur tersebut dahulunya Balong yang merupakan tempat para Bidadari mandi.
Nama Penganjang sendiri menurut mitologinya berasal dari kata Anjang-Anjang (Semacam Bale/Ranjang yang terbuat dari Bambu), dimana tempat itu dahulunya digunakan oleh Ki Penganjang untuk membaringkan anak hasil perkawinanya dengan Bidadari.
Jaka Tarub dalam masyarakat desa penganjang sudah semacam dijadikan sebagai nenek moyang mereka, bahkan diyakini sebagai pendiri desa mereka, adapun kisah Jka Tarub versi Indramayu adalah sebagai berikut:
Pada jaman dahulu ada seorang pemuda yang mempunyai keinginan untuk menjadi seorang pengembara. Pemuda itu bernama Jakatarub.Jakatarub adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap, gagah dan cerdas. Demikianlah pengembaraan Jakatarub dari waktu ke waktu ditempuhnya denga penuh ketenangan dan ketabahan, meskipun banyak mengalami rintangan.
Jakatarub berasal dari Solo. Ia sampai ke Indramayu sebelum Syarif Hidayatullah menyebarkan Agama Islam di Cirebon. Karena takdir yang Maha Kuasa, maka Jakatarub akirnya sampai ke suatu tempat yang menjadi kisah tak terlupakan, terutama bagi orang-orang Indramayu.
Nama asli Jakatarub adalah Ki Gede Kirom, sedangkan nama julukannya yaitu Ki Gede Penganjang. Ki Gede Kirom mempunyai beberapa nama panggilan, diantaranya yaitu: Ki Jakatarub, Ki Gede Penganjang dan Ki Gede Laha. Disebut Ki Jakatarub karena dapat melindungi masyarakat pada waktu itu. Sedangkan nama Ki Gede Penganjang karena mulai saat itulah ditinggalkannya anjang-anjang.
Di tempat pengembaraannya itu, Jakatarub menemui beberapa bidadari yang sedang bersuka ria sambil mandi di sebuah telaga yang bening airnya. Tempat itu bernama Sumur Krapyak. Melihat kejadian itu, Jakatarub berkeinginan untuk menyaksikan lebih dekat agar lebih jelas siapa bidadari-bidadari itu. Ia mulai mengintai dari balik pepohonan yang ada di sekitar sumur.
Setelah bidadari itu puas bermain, maka pulanglah mereka ke kahyangan (langit). Tetapi salah satu dari mereka itu tidak dapat terbang karena baju antrakusumanya hilang. Jakatarub senang melihat bidadari itu tidak dapat pergi. Ia sengaja menyembunyikannya dengan tujuan supaya bidadari itu mau dijadikan istri. Kemudian ia menegur dan membujuk bidadari itu agar mau dikawini.
Setelah permintaan Jakatarub itu dipenuhi, maka sejak saat itu mereka menjadi sepasang suami-istri yang bahagia. Dari istrinya itu, Jakatarub dikaruniai seorang anak yang diberi nama Atasangin. Di Banten Jakatarub berputra seorang lagi bernama Ki Gede Bagong.
Pada suatu hari istrinya ingin pergi memandikan anaknya ke sungai. Pada waktu itu periuk (tempat menanak nasinya) masih diterpanggang di atas api. Sebelum pergi, bidadari Nawangwulan (istri Jakatarub) itu berpesan kepada suaminya agar sekali-kali tidak membuka tutup periuk itu.
Tetapi sebaliknya, sang suami (Jakatarub) itu merasa penasaran akan rahasia di balik larangan tersebut dan ingin membuka tutup periuk itu. Setelah dibuka, terlihat di dalamnya ada padi yang masih bersatu dengan tangkainya.
Setelah sampai di rumah, istrinya tahu bahwa suaminya telah membuka tutup periuk itu. Ia berkata kepada suaminya dengan nada kesal, “Mas, mulai sekarang buatlah lesung (alat menumbuk padi) dengan alunya untuk menumbuk padi, karena padi itu tidak dapat ditanak denga kulit dan tangkainya sebab kau telah membuka tutup periuknya tadi.” Demikianlah si istri tiap hari mengambil padi di lumbung untuk ditumbuk. Isi lumbung itupun makin lama makin sedikit hingga hampir habis.
Pada suatu hari si istri pergi mengambil padi lagi seperti biasa, tetapi dengan tak disangka-sangka ditemukannya baju antrakesumanya yang hilang. Mulai saat itulah Nawangwulan timbul keinginan untnuk kembali ke kahyangan.
Jakatarub, sang suami, bertanya, “bagaimana dengan anak kita yang masih kecil dan masih menyusu ini? Apakah kau tega meninggalkannya?” “Ya apa boleh buat aku harus pergi,” jawab Nawangwulan, istrinya. “Untuk itu Mas harus membuat anjang-anjang yang dirambati tanaman labu putih. Jadi kalau anak kita ingin menyusu, letakkanlah anak itu di atas anjang-anjang. Kemudian bakarlah merang ketan hitam. Kalau saya mencium asapnya, saya akan turun ke bumi untuk menyusuinya.”
Demikianlah hal itu dilakukan oleh Jakatarub sampai anaknya besar dan tidak menyusu lagi. Itulah sebabnya sampai sekarang di Penganjang tidak boleh menanam labu putih dan menanam ketan hitam.
Sumber : Sejarah Indramayu dan Folklore Daerah Indramayu, hal: 313
Desa Penganjang sendiri menurut mitologinya didirikan oleh seorang yang bernama Ki Penganjang. Yang istimewa dari desa ini adalah mengenai situs makam Ki Penganjang alias Jaka Tarub beserta Sumur Widodaren yang menurut mitologi masyarakat setempat menyatakan bahwa Sumur tersebut dahulunya Balong yang merupakan tempat para Bidadari mandi.
Nama Penganjang sendiri menurut mitologinya berasal dari kata Anjang-Anjang (Semacam Bale/Ranjang yang terbuat dari Bambu), dimana tempat itu dahulunya digunakan oleh Ki Penganjang untuk membaringkan anak hasil perkawinanya dengan Bidadari.
Jaka Tarub dalam masyarakat desa penganjang sudah semacam dijadikan sebagai nenek moyang mereka, bahkan diyakini sebagai pendiri desa mereka, adapun kisah Jka Tarub versi Indramayu adalah sebagai berikut:
Pada jaman dahulu ada seorang pemuda yang mempunyai keinginan untuk menjadi seorang pengembara. Pemuda itu bernama Jakatarub.Jakatarub adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap, gagah dan cerdas. Demikianlah pengembaraan Jakatarub dari waktu ke waktu ditempuhnya denga penuh ketenangan dan ketabahan, meskipun banyak mengalami rintangan.
Jakatarub berasal dari Solo. Ia sampai ke Indramayu sebelum Syarif Hidayatullah menyebarkan Agama Islam di Cirebon. Karena takdir yang Maha Kuasa, maka Jakatarub akirnya sampai ke suatu tempat yang menjadi kisah tak terlupakan, terutama bagi orang-orang Indramayu.
Nama asli Jakatarub adalah Ki Gede Kirom, sedangkan nama julukannya yaitu Ki Gede Penganjang. Ki Gede Kirom mempunyai beberapa nama panggilan, diantaranya yaitu: Ki Jakatarub, Ki Gede Penganjang dan Ki Gede Laha. Disebut Ki Jakatarub karena dapat melindungi masyarakat pada waktu itu. Sedangkan nama Ki Gede Penganjang karena mulai saat itulah ditinggalkannya anjang-anjang.
Di tempat pengembaraannya itu, Jakatarub menemui beberapa bidadari yang sedang bersuka ria sambil mandi di sebuah telaga yang bening airnya. Tempat itu bernama Sumur Krapyak. Melihat kejadian itu, Jakatarub berkeinginan untuk menyaksikan lebih dekat agar lebih jelas siapa bidadari-bidadari itu. Ia mulai mengintai dari balik pepohonan yang ada di sekitar sumur.
Setelah bidadari itu puas bermain, maka pulanglah mereka ke kahyangan (langit). Tetapi salah satu dari mereka itu tidak dapat terbang karena baju antrakusumanya hilang. Jakatarub senang melihat bidadari itu tidak dapat pergi. Ia sengaja menyembunyikannya dengan tujuan supaya bidadari itu mau dijadikan istri. Kemudian ia menegur dan membujuk bidadari itu agar mau dikawini.
Setelah permintaan Jakatarub itu dipenuhi, maka sejak saat itu mereka menjadi sepasang suami-istri yang bahagia. Dari istrinya itu, Jakatarub dikaruniai seorang anak yang diberi nama Atasangin. Di Banten Jakatarub berputra seorang lagi bernama Ki Gede Bagong.
Pada suatu hari istrinya ingin pergi memandikan anaknya ke sungai. Pada waktu itu periuk (tempat menanak nasinya) masih diterpanggang di atas api. Sebelum pergi, bidadari Nawangwulan (istri Jakatarub) itu berpesan kepada suaminya agar sekali-kali tidak membuka tutup periuk itu.
Tetapi sebaliknya, sang suami (Jakatarub) itu merasa penasaran akan rahasia di balik larangan tersebut dan ingin membuka tutup periuk itu. Setelah dibuka, terlihat di dalamnya ada padi yang masih bersatu dengan tangkainya.
Setelah sampai di rumah, istrinya tahu bahwa suaminya telah membuka tutup periuk itu. Ia berkata kepada suaminya dengan nada kesal, “Mas, mulai sekarang buatlah lesung (alat menumbuk padi) dengan alunya untuk menumbuk padi, karena padi itu tidak dapat ditanak denga kulit dan tangkainya sebab kau telah membuka tutup periuknya tadi.” Demikianlah si istri tiap hari mengambil padi di lumbung untuk ditumbuk. Isi lumbung itupun makin lama makin sedikit hingga hampir habis.
Pada suatu hari si istri pergi mengambil padi lagi seperti biasa, tetapi dengan tak disangka-sangka ditemukannya baju antrakesumanya yang hilang. Mulai saat itulah Nawangwulan timbul keinginan untnuk kembali ke kahyangan.
Jakatarub, sang suami, bertanya, “bagaimana dengan anak kita yang masih kecil dan masih menyusu ini? Apakah kau tega meninggalkannya?” “Ya apa boleh buat aku harus pergi,” jawab Nawangwulan, istrinya. “Untuk itu Mas harus membuat anjang-anjang yang dirambati tanaman labu putih. Jadi kalau anak kita ingin menyusu, letakkanlah anak itu di atas anjang-anjang. Kemudian bakarlah merang ketan hitam. Kalau saya mencium asapnya, saya akan turun ke bumi untuk menyusuinya.”
Demikianlah hal itu dilakukan oleh Jakatarub sampai anaknya besar dan tidak menyusu lagi. Itulah sebabnya sampai sekarang di Penganjang tidak boleh menanam labu putih dan menanam ketan hitam.
Sumber : Sejarah Indramayu dan Folklore Daerah Indramayu, hal: 313