Perang Paderi, Perang Saudara Yang Berbuah Kehancuran Bagi Kesultanan Pagaruyung
Kalau di Jawa ada perang paregreg, perang saudara yang berimbas pada kehancuran Majapahit. Maka di Minangpun demikian, ada perang Padri, perang ini merupakan perang saudara yang terjadi diwilayah kesultanan Pagaruyung dan dengan terjadinya perang tersebut kemudian berimbas pada kehancuran total Kesultanan Pagaruyung.
Melihat perang Paderi ini, penulis membayangkan Perang Suriah yang terjadi sekarang-sekarang ini, meskipun memang sampai detik ini Suriah masih tegak berdiri walau negaranya hancur lebur. Isu yang dimainkan adalah isu Agama. Soal Bid'ah.
Pada Tahun 1803 Sepulangnya dari menunaikan ibadah Haji, Tiga orang Minang yang bernama Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang berhasil mempengaruhi Tuanku Nan Renceh (Kaum Paderi Terpandang dan salah satu Ulama terkemuka yang dijuluki Harimaun Nan Salapan) dan mempengaruhi pengikutnya untuk berjuang menegakan syariat secara total di Kesultanan Pagaruyung (Azyumardi, 2004). Tentunya maksud dari penegakan Syariat secara total disini menurut pemahaman kempok mereka.
Antara Tahun 1800-1840 memang di Mekah dan Madinah, waktu itu sedang marak-marknya gerakan Wahabi. Yaitu suatu gerakan yang terkenal akan sologan anti Bid’ahnya. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan sologan itu hanya saja dalam pemahaman kelompok ini pelaku Bid’ah itu lebih buruk dari orang Kafir, maka kalau membangkang boleh diperangi walau dia Islam (Seperti Pemahaman ISIS, Taliban Sekarang).
Kelompok ini jugalah yang dimanfaatkan keluarga Suud, untuk memerangi Kehalifahan Turki Usmani yang waktu itu sebagai penguasa Kota Suci. Terang saja kelompok ini dimanfaatkan oleh keluarga Suud karena hanya kelompok inilah yang tega membunuh sesama muslim atau berbuat makar terhadap Kekhalifahan, karena menurut mereka Kekhalifahan Turki Ustmani itu ahli Bid’ah. Keluarga Suud melalui kelompok Ini dan di Bantu Inggris pada nyatanya berhsil menguasi Kota Suci dan seluruh Wilayah Hizaz dan untuk kemudian berhasil pula mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 23 September 1932.
Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang ini merupakan tiga orang minang yang terpengaruh paham Wahabi, maka ketika ketiganya sampi di Minang, dalam dakwah, dan pengajaranya terus menggelorakan anti bid’ah dan terus-terus menyerang kaum Adat.
Puncaknya ketika ketiga Haji tersebut berhasil mempengaruhi Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya, masalah kemudian berkembang, dimulai dari gerakan Tuanku Nan Rancah menemui Sultan Arifin Muningsyah, Tuanku Nan Rancah kemudian menita agar diwilayah Kesultanan Pagaruyung kegiatan-kegiatan adat-istiadat Kesultanan yang menurut mereka bukan ajaran Islam harus ditinggalkan.
Menghadapi permintaan seorang Kharismatik anggota Harimau Nan Salapan Ini, rupanya Sultan tidak langsung mengabulkan. Beliau kemudian memutuskan agar Tuanku Nan Rancah terlebih dahulu berdiskusi dengan kaum Adat atau Pemangku Adat, baru kemudian pemerintah memutuskan.
Diskusi kemudian diadakan, diskusi itu melibatkan Kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Rancah dan kaum Adat di seluruh Wilayah Kesultanan Pagaruyung. Sementara Pemerintah Kesultanan Pagaruyung pada waktu itu menjadi penengahnya.
Diskusi kemudian berjalan sengit, kaum Paderi terus beranggapan bahwa Adat yang ada dikesultan Pagaruyung merupakan Bid’ah yang pelukunya bisa masuk neraka, sementara Kaum Adat yang juga orang Islam, beranggapan Adat yang diterapkan dalam wilayah Kesultanan Sesuai ajaran Islam, diskusi tersebut kemudian berubah menjadi perdebatan sengit, kedua-duanya tidak mau mengalah.
Namun demikian, berdasarkan hasil diskusi yang diamati pihak Kesultanan, akhirnya Sultan memutuskan tidak akan menghilangkan adat yang sudah tumbuh diwilayah Kerajaan Pagaruyung.
Mendapati Kesultanan tidak mengabulkan pemintaan kaum Paderi, keadaan Negara kemudian mulai tegang, dakwah-dakwah kaum paderi yang sering menghina kaum Adat menambah-nambah pemantik maslah, sehingga terjadi gesekan-gesekan diantara keduanya, pemerintahpun kemudian disalahkan oleh kaum Paderi.
Puncaknya masih pada tahun 1803 kamum Paderi melakukan makar, maka meletuslah kemudian Perang saudara antara kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Rancah dan Pemerintah Kesultanan Pagaruyung yang didukung oleh kaum adat.
Perang ini berjalan lama dan terus menerus hingga pada 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan (Sjafnir Aboe, 2004)
Dalam serangan di tahun 1815 itu pula kaum Paderi berhasil merebut Istana dan melulu lantakan Istana, Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar (Rafles, 1818).
Tahun 1821 Kesultanan Pagaruyung yang dikendalikan dalam pelarian sudah benar-benar terdesak hingga kemudian mereka meminta bantuan Belanda. Belanda pun sangat antusias, bahkan permintaan bantuan Pagaruyung ini dimaknai Belanda sebagai tunduk dibawah Belanda.
Belanda kemudian melakukan penyerangan terhadap kaum Paderi, merekapun tak sanggup membendung kekuatan Belanda, kaum Paderi dan pendukungnya dimana-mana diburu Belanda hampir tak berisisa, dalam setiap pertempuran Belanda selalu unggul karena dilengkapi persenjataan mutakhir dizamannya.
Puncaknya ketika Tuanku Nan Ranceh meninggal, Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Panglima perang menggantikannya.
Tuanku Imam Bonjol ini merupakan kaum Paderi yang moderat, tidak terlalu terimbas oleh ajaran wahabi, pada Tahun 1833 beliau kemudian menyadari kekeliruan pendahulu-pendahulunya yang menyebabkan perang saudara dengan kaum adat, beliaupun kemudian melakukan pendekatan-pendektan terhadap kaum adat dan meminta maaf, maka mulai saat itu antara kaum Paderi dan Kaum Adat berdamai dan kemudian sama-sama melawan Belanda, dan dalam perjuangan keduanya berusaha kembali menegakan kedaulatan Kesultanan Pagaruyung yang sudah dikuasi Belanda.
Hasil rekonstruksi persaudaraan antara Kaum Paderi dan Adat itu kemudian menghasilkan ungkapan minang yang terkenal "Adat Basandi Syara' Syara' Basandi Kitabullah" yang apabila diartikan secara kontekatualis mempunyai maksud "Adat yang berdasarkan syariat boleh bukan sesat, sementara Syariat dasarnya Kitab Allah (al-Quran)"
Namun sayang nasi sudah menjadi bubur, perlawanan kaum Paderi dan Kaum adat yang didorong oleh kesadaran Tuanku Imam Bonjol tak berpengaruh apa-apa untuk Negara. Gabungan kaum Adat dan kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol pada nantinya dapat ditumpas Belanda. Maka setelah itu Tanah Minangkabau kemudian terjajah sementara rakyatnya menjadi bangsa jajahan. Ratusan tahun mereka dijajah Belanda, baru menghirup kemerdekan kemudian pada tahun 1945 bersama-sama suku bangsa lain dengan membentuk Negara Republik Indonesia.