Kisah Sunan Kalijaga Dipanggang di Alun-Alun
Sunan Kalijaga dikenal sebagai Wali yang hidup panjang, bahkan diceritakan sebagai Wali yang wafat paling terakhir ketimbang anggota dewan wali 9 lainnya. Beliau hidup pada masa runtuhnya Majapahit, Menyaksikan pendirian dan keruntuhan Kerajaan Demak yang digantikan Kerajaan Pajang, beliau juga turut dalam merestui pendirian kerajaan Mataram yang kala itu menggantikan Pajang.
Selain berumur panjang, beliau juga diceritakan sebagai Wali yang gemar melakukan penyamaran untuk menguji atau memberi pelajaran kepada orang-orang tertentu.
Selain Kisah Percerian Sunan Kalijaga Dan Istrinya Nyi Undi yang menurut kisahnya terjadi di Cirebon, adalagi kisah lain mengenai Sunan Kalijaga yang masyhur dan tertulis dalam Naskah-Naskah Klasik di Cirebon[1], yaitu kisah mengenai penyamaran Sunan Kalijaga.
Suatu ketika, pada waktu Cirebon diperintah oleh Panembahan Ratu[2], Sunan Kalijaga melakukan penyamaran, yang tujuannya untuk menguji Sultan Cirebon baru itu dalam menjatuhkan hukuman bagi para pelanggar.
Dikisahkan Sunan Kalijaga melakukan penyamaran sebagai seorang santri tua, beliau datang ke Cirebon dan dalam tiap harinya melakukan kegiatan bersih-bersih di Masjid Agung Sang Cipta Rasa[3], beliaupun kemudian diangkat menjadi Merbot atau petugas bersih-bersih Masjid.
Beliau pada waktu itu mengaku bernama Jaruman. Sementara orang-orang waktu itu memanggil beliau dengan sebutan Ki Merbot Jaruman.
Pada suatu ketika, Panembahan Ratu bermimpi, dalam mimpinya itu beliau berjumpa dengan seorang bersurban putih, yang memerintahkan beliau agar nanti pada saat Shalat Jumat tiba, harus bagi beliau untuk menjadikan Ki Merbot Jaruman sebagai Imamnya.
Mimpi tersebut diceritakan datang berulang-ulang. Meskipun dalam hatinya beliau meragukan kemampuan Ki Merbot Jaruman untuk mengimami Shalat Jumat di Masjid Agung Kesultanan, akan tetapi rupanya Panembahan Ratu kemudian melaksanakan amanat dalam mimpi itu.
Setelah tiba hari jumat, Para Mentri, Ulama, Prajurit sampai pada rakyat Cirebon kemudian berbondong-bondong datang Ke Masjid guna melaksanakan Shalat Jumat berjamah, namun ada yang aneh pada pelaksanaan Shalat Jumat.
Panembahan Ratu dalam pelaksanaaan Shalat ini mengumumkan kepada Khalayak bahwa yang menjadi Imam Shalat bukan dirinya, beliau menunjuk Ki Merbot Jaruman sebagai Imamnya. Sebab beliau yakin pada wisik dalam mimpinya tempo hari.
“Silahkan menjadi Imam Ki Jaruman..!” begitu perintah Panembahan Ratu. “Ampun Gusti Hamba Tidak Mampu Menjadi Imam” begitu kemudian Jawab Ki Merbot Jaruman.
Panembahan Ratu kemudian mengulangi perintahnya sampai ketiga kali “Silahkan menjadi Imam Ki Jaruman..!”” begitu kata perintah ketiga kalinya yang diucapkan Panembahan Ratu dengan nada tinggi.
Dengan trerpaksa kemudian Ki Merbot Jaruman kemudian menjadi Imam, Ki Merbotpun kemudian mengangkat tangannya untuk melakukan Takbir “Allahu……Akbar” begitu takbir pertama yang diucapkan Ki Jaruman yang kemudian diikuti para Makmum.
Setelah itu barulah kemudian kejadian aneh muncul, setelah takbir rupanya Ki Jaruman berdiam mematung, tanpa membaca alfatihah, tanpa ruku dan juga tanpa sujud, kejiadian ini berlangsung lama.
Ki Jaruman terus mematung, dengan berjam-jam lamanya, tanpa sedikitpun bergerak. Sehingga seluruh makmun kecapaian menunggunya, Mendapati hal semacam ini kemudian Panembahan Ratu menggantikan Ki Jaruman sebagai Imam.
Merasa masih penasaran dengan kebenaran wisik mimpinya tempo hari, untuk jumat selanjutnya Panembahan Ratu masih memerintahkan Ki Jaruman sebagai Imamnya, tapi lagi-kejadian yang sama masih saja terjadi Ki Merbot Jaruman tetap mematung.
Mendapati hal semacam itu, kemudian barulah pada Jumat selanjutnya yang menjadi Imam Shalat Jumat adalah Panembahan Ratu langsung.
Setelah selesai sholat pada Jumat yang ke III, lalu mereka berkumpul untuk membicarakan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepada Marbot Jaruman yang dianggap telah menistakan Agama.
Ki Marbot berkata, "Untuk menebus kekecewaan Paduka tuan, hamba akan sangat berterimakasih bilamana hamba dihukum. Hamba telah tidak mampu menjadi imam, walaupun hamba dipaksa. Silahkan hamba dihukum mati saja".
Panembahan Ratu lalu memerintahkan kepada para sentana mantrinya untuk membuat panggung di alun-alun dan kemudian di bawahnya dinyalakan api unggun.
Ki Jaruman lalu dinaikan ke atas panggung itu dari lohor hingga magrib, namun apa yang terjadi ternyata Marbot Jaruman tidak terluka sedikitpun.
Sementara itu Tubagus Pase[4] yang baru datang berlayar dari sebrang menjadi sangat marah kepada cucunya, "Anakku mengapa kau lakukan ini, tidakkah kau tahu siapa yang berada di atas pembakaran itu? Dia adalah buyutmu wali, segeralah engkau bertobat anakku, barangkali engkau tidak mengetahui, Merbot Jaruman itu adalah Sunan Kalijaga, Aulia Allah yang tinggal satu, yang ada di tanah Jawa".
Betapa terkejutnya Panembahan Ratu mendengar hal tersebut, kepada Sunan Kalijaga Pabambahan Ratu kemudian memohon ampun dengan mengatakan:
"Eyang, hamba benar-benar tidak mengetahui, karena waktu datang eyang mengaku sebagai santri dari timur yang bernama Kyai Merbot Jaruman. Kemudian pada waktu malam Jum'at hamba bermimpi ada yang menyuruh hamba agar Ki Merbot Jaruman menjadi imam, sehingga kujalankan perintah itu.
Ternyata ketika bisikan itu hamba laksanakan, sebagai imam waktu setelah takbir Ki Merbot Jaruman diam tak bergerak ataupun sujud sehingga hamba akhirnya meneruskan menjadi imam.
Setelah selesai sholat, ketika hamba bangunkan Ki Merbot juga tak bisa bangun dan tinggal diam seperti tugu besi.
Pada Jum'at berikutnya eyang wali mengikuti hamba yang menjadi imam, sesungguhnya bukanlah maksud hamba untuk mengajari. Hamba mohon belas kasihan eyang, semoga eyang mau memaafkan hamba baik di dunia maupun di akhirat".
Sunan Kalijaga telah memaafkan cucunya itu, demikian juga kepada orang banyak lainnya yang telah menghukumnya.
Kisah tersebut kemudian menjadi sebab lahirnya hukuman bagi orang-orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat dengan benar di Cirebon.
Demikianlah kisah peristiwa pemanggangan yang dialami Sunan Kalijaga ketika berada di Cirebon. Kisah ini mengisyaratkan bahwa sebagai seorang Sultan atau pemimpin hendaknya jangan seenak sendiri memutuskan hukuman.
Tidak boleh memanggang atau membakar seseorang hanya karena seseorang tersebut melakukan Kesalahan, meskipun orang tersebut dikenakan hukuman mati. Pembakaran bagi pelaku kejahatan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam agama.
Catatan Kaki
[1] Naskah Mertasinga Pupuh LXI.12 - LXII.08
[2] Nama Aslinya Pangeran Agung Beliau Sultan Cirebon Ke II Menjabat Pada 1568-1649 Masehi
[3] Nama Resmi Masjid Kesultanan Cirebon Didirikan Pada Tahun 1480 Masehi
[4] Fatahilah Penakluk Jayakarta. Kakek dari Panembahan Ratu, Beliau juga menantu Sunan Gunung Jati