Tragedi Kuncir, Kisah Kenestapaan Etnis Cina di Cirebon
Pada masa dinasti Qing berkuasa di Cina, yaitu dari mulai tahun 1644 sampai dengan 1911 Masehi, pemerintah kerajaan itu mewajibkan rakyatnya mengikuti gaya rambut Taucang. Yaitu mencukur semua rambut di setengah bagian kepala dan menyisakan yang di belakang untuk dikuncir.
Ilustrasi Kuncir Cina-Taucang |
Orang-orang Cina yang berimigrasi ke Jawa pun pada masa dinasti Qing berkuasa masih mempertahankan gaya rambut tersebut sebagai ciri khas kebangsaan mereka, begitupun dengan orang-orang Cina yang bermigrasi ke Cirebon.
Bagi orang-orang Cina yang tidak mengikuti gaya rambut Taucang konsekuensinya fatal, bisa dihukum penggal oleh Kerajaan. Sebab itulah orang-orang Cina yang bermigrasi ke Jawa pada masa itu menggap rambut Kuncirnya itu merupakan mahkota yang sangat berharga, sebab tanpa rambut Kuncir mereka tidak akan dapat menginjakan kakinya lagi di Negara leluhurnya.
Pada abad ke 20 awal di Wilayah Cirebon (Indramayu-Cirebon-Majalengka), pernah terjadi tragedi memilukan, dimana terjadi pemotongan paksa kuncir orang-orang Cina oleh Pribumi. Kisah bermula ketika Raden Gunawan menginstruksikan kaum santri dan ulama untuk memerangi orang-orang Cina yang dianggap sebagai penjajah di Pulau Jawa karena merampas pencaharian orang-orang Jawa.
Pribumi kemudian bergerak tanpa kontrol memburu orang-orang Cina dengan melakukan kekerasan yang berujung pada pemotongan Kuncir-kuncir orang Cina yang ditemui. Malangnya dalam tragedi ini, orang-orang Cina lainnya yang tak tahu menahu duduk persoalan awal pun kena getahnya. Mereka di intimidasi tanpa ampun. Kuncir yang sejatinya sebagai mahkota mereka kemudian dibabad habis oleh Pribumi yang terlanjur marah.
Pribumi kemudian bergerak tanpa kontrol memburu orang-orang Cina dengan melakukan kekerasan yang berujung pada pemotongan Kuncir-kuncir orang Cina yang ditemui. Malangnya dalam tragedi ini, orang-orang Cina lainnya yang tak tahu menahu duduk persoalan awal pun kena getahnya. Mereka di intimidasi tanpa ampun. Kuncir yang sejatinya sebagai mahkota mereka kemudian dibabad habis oleh Pribumi yang terlanjur marah.
Kisah mengenai tragedi kuncir tersebut dikisahkan pada naskah Sedjarah Kuntjit yang ditemukan di Indramayu, naskah ini pada hari ini dimiliki oleh Ki Marsinih, yang bertempat tinggal di Desa Munduk Jaya Blok Munjul Kec Cikedung Kab Indramayu. Adapun spesifikasi naskah Sedjarah Kuntjit adalah sebagai berikut:
Judul
|
:
|
Sedjarah Kuntjit[1]
|
Jenis
|
:
|
Sejarah
|
Bentuk
|
:
|
Puisi
|
Bahasa
|
:
|
Jawa
|
Aksara
|
:
|
Pegon
|
Warna Tinta
|
:
|
Biru Muda
|
Alas Naskah
|
:
|
Kertas Bergaris
|
Sampul
|
:
|
Kertas Sampul Buku Tulis
|
Ukuran Naskah/Blok Teks
|
:
|
20.5 x 16.5 cm/ 17 x15 cm
|
Jumlah Halaman
|
:
|
36 Halaman
|
Jumlah Baris Per Halaman
|
:
|
12 baris
|
Jarak Antar Baris
|
:
|
1.3 cm
|
Penulis
|
:
|
Ki Abdullah/Jaka Sari
|
Tahun Penulisan
|
:
|
Kamis 1 Mulud 1918 (?)
|
Kisah lengkap mengenai Tragedi Kuncir/Kucir di wilayah Cirebon yang jangkauan huru-haranya menyebar dari mulai Cirebon, Majalengka dan Indramayu tersebut dapat anda baca pada artikel kami yang berjudul : Tragedi Kucir 1913
Daftar Bacaan.
[1]. Info naskah di dapat dari. Christomy dan Nurhata. 2016. Katalog Naskah Indramayu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.