Keris Siginjai Dan Kembalinya Marwah Kesultanan Jambi
Sebelum terciptanya Keris Siginjai, Kesultanan Jambi dikisahkan sebagai bawahan Kesultanan Mataram yang berpusat di Jawa, saban tahunnya dikisahkan Jambi selalu mengirimkan upeti untuk Raja Jawa sebagai tanda takluk.
Berontak dengan keadaan itu, seroang kesatria yang kelak menjadi Raja di Jambi melakukan pemberontakan. Dalam pemberontakannya itu, beliau membekali diri dengan sebuah Keris Jawa yang selalu diselipkan di gelungan rambutnya yang panjang, keris pusakanya itu dijadikan semacam tusuk konde, atau orang Jambi menyebutnya “Ginjai” maka dinamailah Keris itu dengan nama Keris Siginjai.
Kisah mengenai Keris Siginjai ini dituturkan dalam legenda rakyat Jambi, bahkan Keris Siginjai dijadikan sebagai lambang keagungan Kerajaan Islam Jambi. Bukan itu saja, di Kota Jambi kini telah dibangun monumen kebesaran Rakyat Jambi yang dikenal dengan nama “Tugu Keris Siginjai”.
Tugu Keris Siginjai Di Tengah Kota Jambi |
Asal-Usul Keris Si Ginjai
Pada saat Kerajaan Jambi di perintah oleh Orang Kayo Pingai, jambi sedang dalam masa terpuruk, sebab Raja dengan terpaksa takluk dibawah kekusaan Kerjaan Mataram. Pada masa ini Jambi selalu konsisten mengirimkan upeti kepada Mataram sebagai tanda takluk.
Berbeda dengan Orang Kayo Pingai yang pasrah dengan keadaan negerinya yang kehilangan marwah, Orang Kayo Hitam, selaku adik dari Orang Kayo Pingai merasa berkebaratan dan tidak Ridho jika negerinya menjadi negeri jajahan. Ia berulang kali mendorong kakanya untuk memberontak, tapi kakaknya yang Raja itu tak bergeming, ia memilih untuk tetap sebagai Raja bahwan Kerajaan lain, ia juga memilih untuk tetap setia dalam tiap tahunnya mengirimkan upeti kepada Raja Jawa.
Marah dengan keadaan itu, pada waktu pengiriman upeti tiba, rombongan pengirim upeti dari Kerajaan Jambi dihalang-halangi oleh Orang Kayo Hitam, ia mengamuk, bahkan mengancam akan membunuh siapa saja yang berani mengirim upeti ke Jawa. Pengiriman Upeti pun kemudian batal
Yang ditakutkan Orang Kayo Pingai pun kemudian datang, Kerajaan Mataram berniat menghukum Jambi. Mataram dikisahkan menyiapkan bala tentara yang banyak untuk menghukum Jambi. Bahkan bukan itu saja, Raja Jawa itu dikisahkan memesan sebuah Keris Sakti kepada seorang Empu ternama di Jawa, Keris itu nantinya khusus digunakan untuk membunuh Orang Kayo Hitam.
Mendapati Mataram yang sedang mempersiapkan penyerbuan ke Jambi, Orang Kayo Hitam tidak tinggal diam, beliau dikisahkan menyusup ke Jawa, untuk memata-matai kekuatan musuh. Bukan hanya itu saja, beliau dikisahkan mampu merampas Keris Sakti dari sang Empu, dalam perebutan itu, dikisahkan Empu pembuat keris terbunuh dengan tragis.
Setelah memperoleh Keris itu, Orang Kayo Hitam kemudian kembali ke Jambi, dan menamai Keris itu dengan nama Siginjai. Dan dengan berbekal Keris itu, dikisahkan serbuan Mataram ke Jambi dapat dipatahkan. Mulailah setelah itu Jambi terbebas dari Penjajahan. Rang Kayo Hitam pun kemudian diangkat menjadi Raja Jambi menggantikan kakanya. Pada masa inilah marwah atau martabat orang Jambi kembali bersinar. Bersinar sebab Jambi kini bukan lagi sebagai negeri jajahan.
Keris Si Ginjai Dalam Masa Penjajahan Belanda
Setelah wafatnya Rang Kayo Hitam, Jambi kembali di usik, kali ini yang mengusik adalah Belanda. Belanda mecoba menjajah Jambi dengan sekuat tenaga, tapi Rupanya Raja Jambi pada masa ini masih sama menggunakan Kisah Keagunagan Orang Kayo Hitam dan Keris Si Ginjai sebagai pusaka perlawanan untuk bebas dari Penjajahan.
Menyadari hal itu, Belanda kemudian merampas Keris Si Ginjai, keris itu kemudian di kirim ke Batavia, bukan itu saja Belanda bahkan pernah melakukan percobaan pembongkaran makam Orang Kayo Hitam, sebab menurut Belanda Keris Siginjai dan Orang Kayo Hitamnya merupakan simbol perlawanan Rakyat Jambi yang harus dijauhkan.
Keris Siginjai Dalam Musium |
Kini, keris Siginjai tetap terjaga dan lestari, disimpan dalam museum nasional di Jakarta. Keris ini terbuat dari besi dan nikel dengan taburan emas murni pada tampilan luarnya, sementara Hulu (gagang) Keris Siginjai terbuat dari kayu kemuning.