Sejarah Asal-Usul Terbentuknya Kab Karawang Jawa Barat
Karawang merupakan salah satu Kabupaten yang terbilang maju di Jawa Barat, sebab wilayahnya dikenal sebagai lumbung padi Nasional sekaligus juga sebagai Kota Industri, hamparan luas padi di daerah ini masih lestari hingga kini, sementara jejeran pabrik-pabrik yang menandakan geliat ekonomi moderennya pun terus berkembang. Itulah Karawang, Kabupaten penyangga Ibukota Jakarta yang bebatasan dengan Bekasi.
Sementara itu, ditinjau dari sisi kesejarahannya, bahwa sejarah asal-usul terbentuknya Kab Karawang Jawa Barat Karawang dapat dijelaskan dengan dua cara, yaitu sejarah karawang sebagai sebuah nama dan sejarah Karawang sebagai sebuah pemerintahan Kabupaten/Kadipatian.
Dalan naskah Mertasinga, Karawang disebut “Krawang” dalam naskah ini dijelaskan bahwa Ki Gede Krawang pernah meminta ijin kepada Sunan Gunung Jati untuk membuat Masjid di Karawang. Ini menandakan bahwa pada masa Sunan Gunung Jati, orang-orang Krawang terutamanya penguasanya sudah memeluk Islam, dan menggabungkan diri dengan Cirebon.
Masih dalam naskah yang sama disebutkan juga bahwa, "suatu waktu Raktu Krawang datang bersama bibinya Nyimas Kawunganten untuk memeluk Islam dihadapan Sunan Gunung Jati, waktu itu Sunan Gunung Jati sedang berdakwah di Banten". Dalam naskah ini juga disebutkan bahwa Ratu Krawang adalah orang yang mempertemukan Suanan Gunung Jati dengan Nyimas Kawunganten. Perlu dipahami bahwa Nyimas Kawunganten ini adalah istri Sunan Gunung Jati kedua yang kelak melahirkan Maulana Hasanudin, Raja pertama dari Kesultanan Banten.
Sementara itu, dalam catatan Portugis Karawang dikenal dengan nama “Caravan”, dalam catatan portugis Caravan atau Krawang merupakan nama dari salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda letaknya di sekitar muara Citarum. Kabar itu tentu sesuai dengan kondisi geografis Karawang yang memang terletak disekitar sungai citarum.
Arti nama Karawang menurut legenda yang paling mashur dipercayai bersal dari kata Rawa atau Karavan, sebab memang daerah ini dahulunya merupakan daerah pantai yang berawa-rawa.
Karawang Sebagai Sebuah Nama
Karawang sebagai sebuah nama yang menandakan sebagai daerah mandiri dikabarkan dalam beberapa catatan kalisk, diantaranya catatan yang terdapat dalam naskah Kesultanan Cirebon dan Berita Portugis.Dalan naskah Mertasinga, Karawang disebut “Krawang” dalam naskah ini dijelaskan bahwa Ki Gede Krawang pernah meminta ijin kepada Sunan Gunung Jati untuk membuat Masjid di Karawang. Ini menandakan bahwa pada masa Sunan Gunung Jati, orang-orang Krawang terutamanya penguasanya sudah memeluk Islam, dan menggabungkan diri dengan Cirebon.
Masih dalam naskah yang sama disebutkan juga bahwa, "suatu waktu Raktu Krawang datang bersama bibinya Nyimas Kawunganten untuk memeluk Islam dihadapan Sunan Gunung Jati, waktu itu Sunan Gunung Jati sedang berdakwah di Banten". Dalam naskah ini juga disebutkan bahwa Ratu Krawang adalah orang yang mempertemukan Suanan Gunung Jati dengan Nyimas Kawunganten. Perlu dipahami bahwa Nyimas Kawunganten ini adalah istri Sunan Gunung Jati kedua yang kelak melahirkan Maulana Hasanudin, Raja pertama dari Kesultanan Banten.
Sementara itu, dalam catatan Portugis Karawang dikenal dengan nama “Caravan”, dalam catatan portugis Caravan atau Krawang merupakan nama dari salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda letaknya di sekitar muara Citarum. Kabar itu tentu sesuai dengan kondisi geografis Karawang yang memang terletak disekitar sungai citarum.
Arti nama Karawang menurut legenda yang paling mashur dipercayai bersal dari kata Rawa atau Karavan, sebab memang daerah ini dahulunya merupakan daerah pantai yang berawa-rawa.
Perlu dipahami bahwa istilah Karawang tempo dulu itu berbeda dengan sekarang, sebab dahulu yaitu antara tahun 1500-1600, wilayah yang disebut sebagai Karawang itu luasnya tiga kali lipat dari luas kabupaten Karawang sekarang, karena wilayahnya meliputi Bekasi, Subang, Purwakarta dan Karawang sendiri.
Karawang Sebagai Sebuah Pemerintahan Kabupaten/Keadipatian
Penulis meyakini bahwa sejatinya Karawang dalam masa Sunan Gunung Jati telah memiliki pemerintahan tersendiri, terbukti bahwa naskah-naskah Cirebon menginformasikan bahwa penguasa Krawang disebut dengan sebuatan Ki Gede atau Ratu, bahkan secara jelas juga dikisahkan penguasa Krawang merupakan salah satu keturunan Prabu Siliwangi, karena memang Ratu Krawang mempunyai bibi yang usianya lebih muda darinya yang bernama Nyimas Kawunganten.Nyimas Kawunganten sendiri dalam naskah Cirebon dikisahkan sebagai anak dari Permadi Puti Raja dari Cangkuang adik tiri dari Pangeran Walangsungsang atau Cakrabuana, sementara dalam Naskah Carita Parahyangan Nyimas Kawunganten dikisahkan sebagai anak Sang Surosowan, putra Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang Sunda.
Meskipun terdapat catatan bahwa Karawang sejatinya telah memiliki pemerintahan sendiri, akan tetapi ternyata catatan yang ada itu sepotong-sepotong atau tidak lengkap, oleh karena itu para sejarawan umumnya kesulitan merekinstuksi sejarah Karawang pada abad ke 15.
Catatan tentang Pemerintahan di Karawang baru muncul kepermukaan sehingga kemudian dapat direkonstruksi dalam bentuk catatan sejarah yang lengkap baru terjadi pada abad ke 17, tepatnya ketika Sultan Agung dari Kesultanan Mataram melebur Kerajaan Sumedang Larang kedalam kekuasaanya pada tahun 1620 atas usulan Rangga Gempol Kusumahdinata yang waktu itu menjabat sebagai Raja Sumedang Larang, dan karena Karawang merupakan bagian dari kekuasaan Sumedang maka secara otomatis Karawang masuk menjadi bagian Kesultanan Mataram yang berpusat di Jawa Tengah.
Rangggempol Kusumahdinata dikisahkan sebagai Raja Sumedanglarang yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung.
Meskipun terdapat catatan bahwa Karawang sejatinya telah memiliki pemerintahan sendiri, akan tetapi ternyata catatan yang ada itu sepotong-sepotong atau tidak lengkap, oleh karena itu para sejarawan umumnya kesulitan merekinstuksi sejarah Karawang pada abad ke 15.
Catatan tentang Pemerintahan di Karawang baru muncul kepermukaan sehingga kemudian dapat direkonstruksi dalam bentuk catatan sejarah yang lengkap baru terjadi pada abad ke 17, tepatnya ketika Sultan Agung dari Kesultanan Mataram melebur Kerajaan Sumedang Larang kedalam kekuasaanya pada tahun 1620 atas usulan Rangga Gempol Kusumahdinata yang waktu itu menjabat sebagai Raja Sumedang Larang, dan karena Karawang merupakan bagian dari kekuasaan Sumedang maka secara otomatis Karawang masuk menjadi bagian Kesultanan Mataram yang berpusat di Jawa Tengah.
Rangggempol Kusumahdinata dikisahkan sebagai Raja Sumedanglarang yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung.
Pada tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan Kerajaan Sumdeanglarang dibawah naungan Kerajaan Mataram. Sejak itu Sumedanglarang dikenal dengan sebutan “Prayangan”.
Ranggagempol Kusumahdinata, oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati Wadana untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah timur Kali Cipamali, sebelah barat Kali Cisadane, disebelah utara laut Jawa dan, disebelah selatan Laut Kidul.
Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat beliau dimakamkan di Bembem Yogyakarta. Sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, putra Prabu Geusan Ulun, dari istri Nyimas Gedeng Waru dari Sumedang, Ranggagempol II, putra Ranggagempol Kusumahdinata yang mestinya menerima Tahta Kerajaan merasa disisihkan dan sakit hati.
Ranggagempol Kusumahdinata, oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati Wadana untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah timur Kali Cipamali, sebelah barat Kali Cisadane, disebelah utara laut Jawa dan, disebelah selatan Laut Kidul.
Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat beliau dimakamkan di Bembem Yogyakarta. Sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, putra Prabu Geusan Ulun, dari istri Nyimas Gedeng Waru dari Sumedang, Ranggagempol II, putra Ranggagempol Kusumahdinata yang mestinya menerima Tahta Kerajaan merasa disisihkan dan sakit hati.
Kemudian beliau berangkat ke Banten, untuk meminta bantuan Sultan Banten, agar dapat menaklukan Kerajaan Sumedanglarang. Dengan Imbalan apabila berhasil, maka seluruh wilayah kekuasaan Sumedanglarang akan diserahkan kepada Sultan Banten.
Sejak itu banyak tentara Banten yang dikirim ke Karawang terutama di sepanjang Sungai Citarum, di bawah pimpinan Pangeran Pager Agung, dengan bermarkas di Udug-udug.
Pengiriman bala tentara Banten ke Karawang, dilakukan Sultan Banten, bukan saja untuk memenuhi permintaan Ranggagempol II, tetapi merupakan awal usaha Banten untuk menguasai Karawang sebagai persiapan merebut kembali Pelabuhan Banten, yang telah dikuasai oleh Kompeni (Belanda) yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa.
Masuknya tentara Banten ke Karawang beritanya telah sampai ke Mataram, pada tahun 1624 Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung Jawa Timur, untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya, dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, dengan tujuan untuk mempersiapkan logistik dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute yang dipersiapkan untuk melakukan penyerangan ke Batavia.
Pengiriman bala tentara Banten ke Karawang, dilakukan Sultan Banten, bukan saja untuk memenuhi permintaan Ranggagempol II, tetapi merupakan awal usaha Banten untuk menguasai Karawang sebagai persiapan merebut kembali Pelabuhan Banten, yang telah dikuasai oleh Kompeni (Belanda) yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa.
Masuknya tentara Banten ke Karawang beritanya telah sampai ke Mataram, pada tahun 1624 Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung Jawa Timur, untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya, dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, dengan tujuan untuk mempersiapkan logistik dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute yang dipersiapkan untuk melakukan penyerangan ke Batavia.
Di Banyumas, Aria Surengrono meninggalkan 300 prajurit dengan keluarganya untuk mempersiapkan Logistik dan penghubung ke Ibu kota Mataram.
Dari Banyumas perjalanan dilanjutkan dengan melalui jalur utara melewati Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu dan Ciasem.
Di Ciasem ditinggalkan lagi 400 prajurit dengan keluarganya, kemudian perjalanan dilanjutkan lagi ke Karawang. Setibanya di Karawang, dengan sisa 300 prajurit dan keluarganya, Aria Surengrono, menduga bahwa tentara Banten yang bermarkas di udug-udug, mempunyai pertahanan yang sangat kuat, karena itu perlu di imbangi dengan kekuatan yang memadai pula.
Langkah awal yang dilakukan Surengrono membentuk 3 (Tiga) Desa yaitu desa Waringinpitu (Telukjambe), Parakan Sapi (di Kecamatan Pangkalan) yang kini telah terendam air Waduk Jatiluhur dan desa Adiarsa (sekarang termasuk di Kecamatan Karawang, pusat kekuatan di desa Waringipitu). Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung mempunyai anggapan bahwa tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakan.
Pengabdian Aria Wirasaba selanjutnya, lebih banyak diarahkan kepada misi berikutnya yaitu menjadikan Karawang menjadi “lumbung padi” sebagai persiapan rencana Sultan Agung menyerang Batavia, disamping mencetak prajurit perang.
Pada tahun 1628 dan 1629 bala tentara kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia Namun serangan ini gagal karena keadaan medan sangat berat berjangkitnya Malaria dan kekurangan persediaan makanan.
Dari kegagalan itu, Sultan Agung menetapkan daerah Karawang sebagai pusat Logistik, yang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada dibawah pengawasan Mataram, dan harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang, mampu menggerakan masyarakat untuk membangun pesawahan, guna mendukung pengadaan logistik dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya menuju Karawang tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang telah dianggap gagal.
Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya dilaporkan kepada Sultan Agung atas keberhasilannya, Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugerahi jabatan Wedana (setingkat Bupati ) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III, serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama “KAROSINJANG”.
Langkah awal yang dilakukan Surengrono membentuk 3 (Tiga) Desa yaitu desa Waringinpitu (Telukjambe), Parakan Sapi (di Kecamatan Pangkalan) yang kini telah terendam air Waduk Jatiluhur dan desa Adiarsa (sekarang termasuk di Kecamatan Karawang, pusat kekuatan di desa Waringipitu). Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung mempunyai anggapan bahwa tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakan.
Pengabdian Aria Wirasaba selanjutnya, lebih banyak diarahkan kepada misi berikutnya yaitu menjadikan Karawang menjadi “lumbung padi” sebagai persiapan rencana Sultan Agung menyerang Batavia, disamping mencetak prajurit perang.
Pada tahun 1628 dan 1629 bala tentara kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia Namun serangan ini gagal karena keadaan medan sangat berat berjangkitnya Malaria dan kekurangan persediaan makanan.
Dari kegagalan itu, Sultan Agung menetapkan daerah Karawang sebagai pusat Logistik, yang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada dibawah pengawasan Mataram, dan harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang, mampu menggerakan masyarakat untuk membangun pesawahan, guna mendukung pengadaan logistik dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya menuju Karawang tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang telah dianggap gagal.
Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya dilaporkan kepada Sultan Agung atas keberhasilannya, Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugerahi jabatan Wedana (setingkat Bupati ) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III, serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama “KAROSINJANG”.
Setelah penganugerahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dulu ke Galuh, untuk menjenguk keluarganya.
Atas takdir Ilahi beliau wafat di Galuh, jabatan Bupati di Karawang, dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677, Tugas pokok yang diemban Raden Adipati Singaperbangsa, mengusir VOC (Belanda) dengan mendapat tambahan parjurit 2000 dan keluarganya, serta membangun pesawahan untuk mendukung Logistik kebutuhan perang.
Hal itu tersirat dalam piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede yang bunyi;
Atas takdir Ilahi beliau wafat di Galuh, jabatan Bupati di Karawang, dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677, Tugas pokok yang diemban Raden Adipati Singaperbangsa, mengusir VOC (Belanda) dengan mendapat tambahan parjurit 2000 dan keluarganya, serta membangun pesawahan untuk mendukung Logistik kebutuhan perang.
Hal itu tersirat dalam piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede yang bunyi;
“ Panget Ingkang piagem kanjeng ing Ki Rangga gede ing Sumedang kagadehaken ing Si astrawardana. Mulane sun gadehi piagem, Sun Kongkon anggraksa kagengan dalem siti nagara agung, kilen wates Cipamingkis, wetan wates Cilamaya, serta kon anunggoni lumbung isine pun pari limang takes punjul tiga welas jait. Wodening pari sinambut dening Ki Singaperbangsa, basakalatan anggrawahani piagem, lagi lampahipun kiayi yudhabangsa kaping kalih Ki Wangsa Taruna, ingkang potusan kanjeng dalem ambakta tata titi yang kalih ewu; dipunwadanahaken ing manira, Sasangpun katampi dipunprenaharen ing Waringipitu ianing Tanjungpura, Anggraksa siti gung bongas kilen, Kala nulis piagem ing dina rebo tanggal ping sapuluh sasi mulud tahun alif. Kang anulis piagemmanira anggaprana titi “
Terjemah dalam Bahasa Indonesia :
“Peringatan piagam raja kepada Ki Ranggagede di Sumedang diserahkan kepada Si Astrawardana. Sebabnya maka saya serahi piagam ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah negara agung milik raja. Di sebelah Barat berbatas Cipamingkis, disebelah Timur berbatas Cilamaya, serta saya tugaskan menunggu lumbung berisi padi lima takes lebih tiga belas jahit. Adapun padi tersebut diterima oleh Ki Singaperbangsa. Basakalatan yang menyaksikan piagam dan lagi Kyai Yudhabangsa bersama Ki Wangsataruna yang diutus oleh raja untuk pergi dengan membawa 2000 keluarga.
Pimpinannya adalah Kiayi Singaperbangsa serta Ki Wirasaba. Sesudah piagam diterima kemudian mereka ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga tanah negara agung di sebelah Barat. Piagam ini ditulis pada hari Rabu tanggal 10 bulan mulud tahun alif. Yang menulis piagam ini ialah anggaprana, selesai.
Tanggal yang tercantum dalam piagam pelat kuningan kandang sapi gede kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Karawang berdasarkan hasil penelitian panitia sejarah yang dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Karawang nomor : 170/PEM/H/SK/1968 tanggal 1 Juni 1968.
Memahami penjelasan sejarah pemerintahan di Karawang sebagaimana telah dijelaskan diatas dapat kemudian dipahami bahwa sebenarnya sejerah pemerintahan dikarwang telah ada semenjek lama, yaitu dari masa Sunan Gunung Jati sampai pada masa Sumedang Larang hanya saja tidak ada catatan lengkapnya sehingga kemudian, sejarah pemerintahan Karawang hanya di tetapkan semenjak masa Sumedang Larang bergabung dengan Mataram.
Maka jika demikian dapatlah kemudian dipahami bahwa pendiri Karawang pada masa ini adalah Singaperbangsa, beliau putra Wiraperbangsa dari Galuh (Wilayah Kerjaaan Sumedanglarang) Bergelar Adipati Kertabumi IV.
Pada masa pemerintahan Raden Adipati Singaperbangsa, pusat pemerintahan Kabupaten Karawang berada di Bunut Kertayasa. Sekarang termasuk wilayah Kelurahan Karawang Kulon, Kecamatan Karawang Barat.
Selanjutnya, dalam melaksanakan tugasnya Raden Adipati Singaperbangsa didampingi oleh Aria Wirasaba, yang pada saat itu oleh kompeni disebut sebagai “ HET TWEEDE REGENT “, sedangkan Raden Adipati Singaperbangsa sebagai “HOOFD REGENT”.
Raden Adipati Singaperbangsa, wafat pada tahun 1677, dimakamkan di Manggung Ciparage, Desa Manggung Jaya Kecamatan Cilamaya Kulon. Raden Adipati Singaperbangsa, dikenal pula dengan sebuatn Kiai Panembahan Singaperbangsa, atau Dalem Kalidaon atau disebut juga Eyang Tumenggung.
Posting Komentar untuk "Sejarah Asal-Usul Terbentuknya Kab Karawang Jawa Barat"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.