Sejarah Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon
Masjid Sang Cipta Rasa dipercayai selesai dibangun pada tahun 1489 M oleh Wali Sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Meskipun demikian awal pembangunan Masjid ini masih diberdebatkan. Sang Cipta Rasa pembangunannya dibawah kendali Sunan Kalijaga sementara arsiteknya adalah Raden Sepat mantan tentara Majapahit yang ditwan Demak, sementara itu dalam pembangunanya Raden Sepat dibantu oleh 500 pandai bangunan yang berasal dari Demak.
Masjid ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan implementasi dari rasa dan kepercayaan kehadirat Ilhai Rabi. Selain dikenal sebagai Masjid Sang Cipta Rasa, masjid ini juga dikenal dengan beberapa sebutan seperti Masjid Agung Cirebon, dan Masjid Pakungwati, dinamakan demikian karena masjid tersebut pada dasarnya merupakan Masjid Angung kesultanan Cirebon yang memang terletak dalam komplek Keraton Pakungwati.
Menurut legenda yang berkembang, pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa hanya semalam saja. Selain itu, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dikisahkan sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak. Pada waktu pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati memohon ijin untuk membuat pasangannya di Cirebon. Karena merupakan masjid yang sepasang, maka kedua masjid ini memiliki wataknya masing masing. Bila masjid Agung Demak berwatak maskulin dengan tampilannya yang gagah, maka masjid Agung Sang Cipta Rasa ini berwatak feminim.
Menurut candrasengkala-nya, masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada “waspada panembahe yuganing ratu”. Kalimat ini bermakna 2241, alias 1422 Saka. Namun beberapa sejarawan justru memilih tahun 1478 sebagai tahun pembangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa disesuaikan dengan tahun didirikannya Kesultanan Cirebon dengan Sultan pertamanya Sunan Gunung Jati. Dengan demikian maka jika Tahun pendiriannya ditetapkan pada 1478 masehi maka hanya selisih satu tahun saja dengan pembangunana masjid Agung Demak (1477).
Masid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai bentuk atap limasan dan diatasnya tidak dipasang momolo (mahkota masjid). Mmenurut legendanya Memolo Masjid Agung Sang Cipta Rasa melesat ke Banten pada saat masjid ini mendapatkan gangguan sihir. Meskipun demikian menurut pelacakan penulis, atap tersebut rupanya atap pugaran, karena memang dahulu Masjid Agung Sang Cipta Rasa pernah mengalami musibah kebakaran, peristiwa itu terjadi pada masa Panembahan Ratu memerintah Cirebon. Ada kemungkinan atap yang semula mempunyai memolo sengaja dihilangkan.
Bangunan utama masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon dibangun dalam bentuk atap bersusun tiga meski tidak berbentuk piramida (prisma) seperti Masjid Agung Demak. Makna mendalam terselip dalam susunan atap yang bersusun tiga ini. kepercayaan lama ditanah air memaknainya sebagai tiga tahapan kehidupan manusia mulai dari kehidupan di dalam Kandungan, di alam dunia dan di alam setelah kematian. Sedangkan dalam makna Islami diterjemahkan sebagai Iman, Islam dan Ikhsan.
Selain bentuk atap limas bersusun, di masjid ini juga menyerap bentuk punden berundak pada pagar batanya yang mengitari kawasan masjid. Menilik jauh ke belakang, kamus besar bahasa Indonesia memaknai punden berundak ini sebagai “bangunan pemujaan tradisi megalitikum yg bentuknya persegi empat dan tersusun bertingkat-tingkat”. Dan nyatanya makna tersebut tak bergeser hingga kini meski dalam kontek yang berbeda.
Bentuk gerbang paduraksa dimasjid agung Cirebon, digunakan pada tiga gerbangnya termasuk gerbang utama. Bentuk gerbang seperti ini merupakan warisan budaya sebelum Islam. Selain itu tiga gerbang depan masjid Agung Sang Cipta Rasa ini mengadopsi bentuk gerbang Paduraksa yang biasa digunakan pada bangunan bangunan candi, dengan berbagai modifikasi, namun ornamen punden berundak tak hilang dari gerbang ini, termasuk ornamen yang ditempelkan menjadi penghias gerbang dan pintu besarnya.
Salah satu tiang yang terkenal di masjid ini disebut Saka Tatal, di sudut selatan teras masjid yang asli. Bisa dibilang ini adalah ciri khas Sunan Kalijaga dalam membangun masjidnya. Dia menyambung potongan-potongan tiang (tatal) dan mengikatnya dengan lempeng besi menjadi satu tiang baru. Saka Tatal mengandung filosofi sebagai makna persatuan.
Dalam masjid tersebut terdapat 74 tiang bulat yang terbuat dari kayu jati. Mengingat usianya yang sudah sangat tua, seluruh sokoguru di dalam masjid ini sudah ditopang dengan rangkaian besi baja untuk mengurangi beban dari masing masing pilar tersebut, hanya saja kehadiran besi besi baja tersebut sedikit mengurangi estetika. Keseluruhan sokoguru masjid ini berdiri di atas umpak batu kali. Umpak pada tiang-tiang utama berbentuk bulat dan di bagian serambi berbentuk kotak.
Rangkaian rumit saling silang pasangan kayu konstruksi di dalam masjid ini benar benar melemparkan kita ke masa lalu mengingat teramat sulit untuk menemukan bangunan baru dengan rancangan yang serupa. Atap puncak masjid (wuwungan) ditopang oleh dua sokoguru paling tengah. Dan diantara dua sokoguru ini yang menjadi titik tengah bangunan utama sekaligus menjadi titik berdirinya muazin saat mengumandangkan azan termasuk azan pitu (azan tujuh) saat sholat Jum’at.
Di dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa ada dua Maksurah. Satu maksurah ditempatkan di shaf paling depan bersebelahan dengan mimbar, satu maksurah lagi ditempatkan pada shaf paling belakang disebelah kiri pintu masuk utama. Layaknya sebuah masjid kerajaan, di masjid Agung Sang Cipta Rasa ini juga disediakan tempat sholat khusus bagi keluarga kerajaan atau Maksurah berupa area yang dipagar dengan pagar kayu berukir. Ada dua Maksurah di dalam masjid ini. satu maksurah di shaf paling depan sebelah kanan mihrab dan mimbar diperuntukkan bagi Sultan dan Keluarga keraton Kasepuhan. Serta satu Maksurah di shaf paling belakang disamping kiri pintu utama diperuntukkan bagi Sultan dan keluarga keraton Kanoman.
Maksurah, banyak ditemui di masjid masjid tua Arabia, Afrika Utara hingga wilayah wilayah bekas kekuasaan emperium Turki Usmani. Fungsi awalnya adalah sebagai perlindungan bagi Sultan dan pejabat tinggi kerajaan selama melaksanakan sholat di masjid dari kemungkinan serangan fisik terhadap petinggi kerajaan. Di dalam maksurah ini pada masanya juga dilengkapi dengan senjata ringan pembelaan diri seperti tombak dan lainnya.
Ada dua mimbar di dalam masjid ini yang bentuk dan ukurannya sama persis. Mimbar yang kini dipakai merupakan mimbar pengganti, disebelah kanan mimbar ini terdapat maksurah dan disebelah kanan maksurah mimbar lamanya ditempatkan. Pada bagian kaki mimbarnya ada bentuk seperti kepala macan, mengingatkan pada kejayaan Prabu Siliwangi raja Padjajaran yang tak lain adalah Kakek dari Sunan Gunung Jati dari garis Ibu.
Menjadi lebih menarik manakala kita masuk ke dalam bangunan masjid ini. nyaris tak ada ornamen Islami seperti yang biasa kita temukan di dalam sebuah bangunan masjid bergaya Arabia. Mihrab dan mimbar di masjid ini sepi dari ukiran ayat ayat suci Al-Qur’an. Mihrab nya sendiri dibangun dari batu batu pualam berukuran floral, yang berpusat pada bentuk yang menyerupai bunga matahari pada bagian puncak mihrab.
Adanya bentuk bunga matahari di mihrab masjid ini mengingatkan kita pada bentuk Surya Majapahit yang merupakan lambang kebesaran Kerajaan Majapahit. Memang tak mengerankan, karena konon memang proses pembangunan masjid ini turut melibatkan Raden Sepat yang tak lain adalah panglima pasukan Majapahit yang kalah perang dalam serangannya ke Demak di masa kekuasaan Raden Fatah dan kemudian memeluk Islam.
Maka wajar bila kemudian ada banyak kemiripan antara Masjid Agung Demak dengan Masjid Sang Cipta Rasa ini termasuk Masjid Agung Banten di Banten Lama, provinsi Banten karena memang melibatkan orang yang sama dalam proses pembangunannya. Sampai sejauh ini belum ditemukan catatan tentang Raden Sepat dan sisa pasukannya yang dibawa ke Cirebon termasuk dimana beliau dimakamkan.
Seluruh bagian mihrab masjid ini menggunakan batu pualam putih. Selain ukiran floral dibagian atas mihrab, juga terdapat dua pilar pualam disisi kiri dan kanannya. Konon pilar ini di ukir oleh Sunan Kali Jaga dalam bentuk kelopak bunga teratai. Selain ukiran floral di sisi kiri dan kanan bagian depan mihrab ini terdapat ukiran geometris yang sangat menarik serupa dengan ukiran pada dinding depan masjid. Di bagian mihrab juga terdapat tiga buah ubin bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ubin tersebut dipasang oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga pada awal berdirinya masjid.
Bangunan utama (asli) Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki Sembilan Pintu menyimbolkan Sembilan Wali (Wali Songo) yang turut berkontribusi aktif dalam proses pembangunannya. Pintu utama nya berada di sisi timur sejajar dengan mihrab, namun pintu utama ini nyaris tak pernah dibuka kecuali pada saat sholat Jum’at, sholat hari raya dan peringatan hari hari besar Islam. Delapan pintu lainnya ditempatkan di sisi utara dan selatan (kanan dan kiri) bangunan utama dengan ukuran sangat kecil dibandingkan ukuran normal sebuah pintu.
Pada hari biasa hanya ada satu pintu yang senantiasa dibuka oleh pengurus masjid yakni satu pintu di sisi kanan bangunan. Seluruh delapan pintu samping masjid ini sengaja dibuat dalam ukuran kecil dan sempit memaksa setiap orang dewasa untuk menunduk saat akan masuk ke dalam masjid, meyimbolkan penghormatan dan merendahkan diri dan hati manakala memasuki masjid.
Delapan pintu samping ini juga dilengkapi dengan daun pintu yang ukurannya juga kecil yang sepi dari ukuran. Berbeda dengan pintu utamanya yang berukuran besar dan penuh dengan ukiran yang sangat indah. Ruang dalam masjid ini juga tidak digunakan untuk sholat berjamaah lima waktu. Pelaksanaan sholat lima waktu dilaksanakan di pendopo depan. Sebuah partisi berukir dari kayu jati di sisi depan area pendopo sebagai penanda tempat bagi imam.
Tembok bangunan utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dibangun dari susunan bata merah yang sama sekali tidak diplester, namun memiliki ketebalan hampir 70cm. Menurut penuturan Bapak Ahmad, tembok-tembok tersebut disusun dengan menggunakan putih telur. Tembok ini hanya dibangun setengah saja tidak sampai ke atap, bagian atasnya dibiarkan terbuka sebagai ventilasi udara dan cahaya.
Namun kehadiran dinding kaca dan anyaman kawat tersebut justru menghilangkan salah satu ciri khas masjid ini yang memang dirancang terbuka sebagai sebuah bangunan tropis. Ditambah lagi dengan bentuk ornamen kaligrafi yang digunakan untuk menghias dinding kaca tersebut tak senada dengan arsitektural keseluruhan bangunan asli. Ditambah lagi dengan konsekwensi rusaknya sirkulasi udara hingga harus dikonpensasi dengan pemasangan beberapa kipas angin di bagian dalam.
Azan pitu pada mulanya dilaksanakan atas perintah dari Sunan Gunung Jati untuk memusnahkan pengaruh sihir yang ditebarkan oleh Menjangan Wulung terhadap jemaah yang akan melaksanakan jamaan di masjid. Disebutkan bahwa pada suatu masa ketika Islam baru menunjukkan perkembangan yang baik di wilayah Cirebon, beberapa orang yang keberatan dengan hal tersebut berupaya menebar teror.
Sosok Menjangan Wulung sendiri menurut beberapa sumber merupakan sosok ghaib yang di utus oleh seseorang ke Masjid Agung Cirebon untuk menebar terror. Korban pertamanya adalah muazin yang akan mengumandangkan azan subuh di masjid ini yang mendadak tewas secara misterius. Mengakibatkan ketakutan yang luar biasa bagi jemaah lainnya yang akan masuk ke masjid ini. Amukan Menjangan wulung ini juga mengakibatkan atap masjid yang masih terbuat dari rumbia mengalami kebakaran hebat.
Berbagai upaya dilakukan untuk memadamkan api, namun selalu gagal. Sampai akhirnya istri Sunan Gunungjati Nyi Mas Pakungwati menyarankan agar dikumandangkan azan. Namun api belum juga padam. Azan kembali dikumandangkan oleh dua orang sampai berturut-turut tiga orang sampai enam orang, namun api belum juga padam. Konon api baru padam setelah azan dikumandangkan oleh tujuh orang muazin, atas perintah dari Sunan Gunung Jati berdasarkan petunjuk Ilahi.
Menjangan Wulung berhasil ditaklukkan, konon dia melarikan diri ke arah Banten dan tak pernah kembali. Masih dalam kaitan dengan hikayat ini disebutkan juga bahwa menjangan wulung juga menghantam memolo yang ada di puncak masjid hingga terpental jauh. Ada juga yang menyebut bahwa memolo (mastaka / ornament hiasan berbentuk simbar dipuncak masjid) tersebut hancur akibat ledakan yang terjadi saat aksi Menjangan Wulung tersebut.
Namun satu hikayat yang senantiasa dituturkan oleh pemandu wisata di Masjid ini bahwa memolo tersebut terpental hingga ke Masjid Agung Banten. Dan itu sebabnya Masjid Agung Banten memiliki dua memolo sedangkan Masjid Agung Cirebon tanpa memolo sama sekali. Cerita terakhir tersebut memiliki penafsiran yang bermacam macam.
Pertama bahwa masjid Agung Banten dibangun jauh setelah berdirinya Masjid Agung Cirebon. Bila kita merujuk kepada tahun wafatnya Ratu Dewi Pakungwati yakni tahun 1549 sebagai tahun terjadinya huru hara Menjangan Wulung, artinya meski memolo tersebut memang terpental jauh hingga ke Banten, tidak serta merta langsung bertengger di Masjid Agung Banten tapi butuh setidaknya tiga tahun bagi siapapun disana untuk memungut memolo tersebut dan memasangnya ke Masjid Agung Banten yang baru dibangun tiga tahun kemudian (1552-1570).
Sedangkan dari sudut pandang arsitektural, Masjid Agung Cipta Rasa disebutkan sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak. Bila Masjid Agung Demak dibangun dalam watak Maskulin lengkap dengan memolo dan berdiri gagah, lain halnya dengan masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang dibangun dalam watak Fenimim dengan denah persegi panjang, boleh jadi sejak awal masjid ini memang dibangun tanpa memolo sebagai perwujudan dari kefemeninimannya.
Namun demikian, tradisi azan pitu ini tetap dilestarikan di Masjid Agung Cirebon ini. sebagai sebuah tradisi yang merupakan satu satunya masjid dengan tradisi yang amat unik dan langka ini. Azan pitu dilantunkan oleh tujuh orang muazin sekaligus dengan pakaian putih putih kadang dilengkapi dengan jubah. Mereka bertujuh berjejer di tengah tengah bangunan asli tepat dibawah wuwungan atap masjid.
Masih mengenai memolo, versi lain menyebutkan bahwa memolo tersebut hancur karena secara tidak sengaja terkena lemparan tongkat Panebahan Satu pada saat Cirebon dilanda wabah penyakit yang konon datang secara ghaib. Panebahan Ratu adalah Raja kedua Kesultanan Cirebon, beliau adalah cicit dari Sunan Gunung Jati.
Bila diperhatikan masjid masjid tua di tanah Jawa termasuk Masjid Agung Demak, Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, Saka Tunggal di Banyumas, Sunan Ampel di Surabaya dan lainnya, selalu saja dibangun tanpa menara. Meski dari sisi tradisi arsitektural tanah air, ketiadaan menara ini sudah menjadi pakem bagi masjid tradisional Indonesia namun dibalik semua itu ada makna filosofis yang mendalam.
Ketiadaan menara pada bangunan masjid masjid tua tersebut kait mengait dengan tradisi tanah jawa yang menjungjung tinggi ewuh pakewuh. Keberadaan menara yang memang pada masa awalnya merupakan tempat muazin mengumandangkan azan akan memposisikan muazin yang berada di menara lebih tinggi dari seluruh jemaah yang ada di dalam masjid termasuk Raja dan para petinggi kerajaan lainnya.
Hal tersebut dianggap tidak sopan. Karenanya masjid-masjid tua tanah Jawa hampir seluruhnya tidak dilengkapi dengan menara. Menara di Masjid Agung Demak pun dibangun belakangan bukan merupakan komponen asli yang dibangun sejak awal pembangunan masjid. Seiring dengan telah dikembangkannya perangkat pengeras suara, muazin tak perlu lagi menaiki menara pada saat akan mengumandangkan azan cukup pengeras suaranya yang disimpan di menara sedangkan azannya dilantunkan muazin dari dalam masjid.
Tradisi ini bermula sejak awal berdirinya masjid Agung Sang Ciptarasa dan sejak awal berkembangnya Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Azan pitu pada awalnya dilakanakan atas perintah langsung dari Sunan Gunung Jati untuk mengatasi serangan ghaib dari Menjangan wulung yang menyebar terror di masjid ini sehingga menyebabkan tewasnya beberapa muazin serta menyebabkan kebakaran di masjid ini.
Kemungkinan besar peristiwa tersebut terjadi di tahun 1549 masehi. Tahun tersebut merupakan tahun wafatnya Dewi Pakungwati, permaisuri Sunan Gunung Jati yang wafat di masjid ini. Beberapa sumber menyebutkan beliau wafat dalam usia yang sanga tua di dalam masjid ini setelah turut serta dalam upaya memadamkan kebakaran yang terjadi di masjid ini.
Tradisi yang tak kalah uniknya dari masjid ini adalah sampai saat ini khotbah Jum'at selalu dibawakan dengan menggunakan bahasa Arab. Dan meski hampir semua jama'ah tak memahami artinya jamaah tetap menyimaknya dengan khusu tanpa mengobrol dengan rekan disebelahnya. Tujuan dari tetap dilestarikannya khotbah berbahasa Arab ini sendiri konon untuk memotivasi jamaahnya agar mau belajar bahasa Arab.
Pada setiap sholat Jum'at yang kebetulan jatuh pada hari pasaran kliwon, banyak jemaah perempuan yang ikut sholat Jum'at di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon ini dengan satu keyakinan bahwa bila mereka ikut sholat Jum'at yang jatuh tepat pada hari Jum'at Kliwon maka yang bersangkutan akan memperoleh berkah. Atas dasar keyakinan itulah, pada Jum'at Kliwon banyak jemaah perempuan yang datang tidak hanya dari daerah Cirebon tapi juga banyak yang datang dari luar kota untuk ikut bersholat Jum'at di Masjid ini.
Beberapa jamaah masjid ini datang jauh jauh dari berbagai daerah selain untuk sholat di masjid ini juga untuk mengambil air dari sumur tersebut. Dua kolam dari batu bundar ini dulunya berada di luar bangunan utama namun kini sudah berada di dalam pandopo utara. Disekitar kolamnya juga sudah di kelilingi dengan pagar besi. Menariknya air dari sumur ini dipercaya juga dapat digunakan sebagai media untuk menguji kejujuran seseorang. Air sumur ini bisa langsung dapat diminum dan telah di uji di ITB, hasilnya pun aman untuk langsung diminum.
Masjid ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan implementasi dari rasa dan kepercayaan kehadirat Ilhai Rabi. Selain dikenal sebagai Masjid Sang Cipta Rasa, masjid ini juga dikenal dengan beberapa sebutan seperti Masjid Agung Cirebon, dan Masjid Pakungwati, dinamakan demikian karena masjid tersebut pada dasarnya merupakan Masjid Angung kesultanan Cirebon yang memang terletak dalam komplek Keraton Pakungwati.
Menurut legenda yang berkembang, pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa hanya semalam saja. Selain itu, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dikisahkan sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak. Pada waktu pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati memohon ijin untuk membuat pasangannya di Cirebon. Karena merupakan masjid yang sepasang, maka kedua masjid ini memiliki wataknya masing masing. Bila masjid Agung Demak berwatak maskulin dengan tampilannya yang gagah, maka masjid Agung Sang Cipta Rasa ini berwatak feminim.
Menurut candrasengkala-nya, masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada “waspada panembahe yuganing ratu”. Kalimat ini bermakna 2241, alias 1422 Saka. Namun beberapa sejarawan justru memilih tahun 1478 sebagai tahun pembangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa disesuaikan dengan tahun didirikannya Kesultanan Cirebon dengan Sultan pertamanya Sunan Gunung Jati. Dengan demikian maka jika Tahun pendiriannya ditetapkan pada 1478 masehi maka hanya selisih satu tahun saja dengan pembangunana masjid Agung Demak (1477).
Arsitektural Masjid Agung Kasepuhan Cirebon
Ditinjau dari segi arsitekturnya masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki tiga gerbang di bagian depannya tapi hanya satu gerbang di sebelah utara (kanan) ini yang paling sering dibuka di hari hari biasa menjelang waktu sholat. Tidak seperti masjid-masjid yang dibangun masa wali sanga pada umumnya yang mempunyai bentuk atap tajug atau limas bersusun dengan jumlah ganjil.Masid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai bentuk atap limasan dan diatasnya tidak dipasang momolo (mahkota masjid). Mmenurut legendanya Memolo Masjid Agung Sang Cipta Rasa melesat ke Banten pada saat masjid ini mendapatkan gangguan sihir. Meskipun demikian menurut pelacakan penulis, atap tersebut rupanya atap pugaran, karena memang dahulu Masjid Agung Sang Cipta Rasa pernah mengalami musibah kebakaran, peristiwa itu terjadi pada masa Panembahan Ratu memerintah Cirebon. Ada kemungkinan atap yang semula mempunyai memolo sengaja dihilangkan.
Bangunan utama masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon dibangun dalam bentuk atap bersusun tiga meski tidak berbentuk piramida (prisma) seperti Masjid Agung Demak. Makna mendalam terselip dalam susunan atap yang bersusun tiga ini. kepercayaan lama ditanah air memaknainya sebagai tiga tahapan kehidupan manusia mulai dari kehidupan di dalam Kandungan, di alam dunia dan di alam setelah kematian. Sedangkan dalam makna Islami diterjemahkan sebagai Iman, Islam dan Ikhsan.
Selain bentuk atap limas bersusun, di masjid ini juga menyerap bentuk punden berundak pada pagar batanya yang mengitari kawasan masjid. Menilik jauh ke belakang, kamus besar bahasa Indonesia memaknai punden berundak ini sebagai “bangunan pemujaan tradisi megalitikum yg bentuknya persegi empat dan tersusun bertingkat-tingkat”. Dan nyatanya makna tersebut tak bergeser hingga kini meski dalam kontek yang berbeda.
Bentuk gerbang paduraksa dimasjid agung Cirebon, digunakan pada tiga gerbangnya termasuk gerbang utama. Bentuk gerbang seperti ini merupakan warisan budaya sebelum Islam. Selain itu tiga gerbang depan masjid Agung Sang Cipta Rasa ini mengadopsi bentuk gerbang Paduraksa yang biasa digunakan pada bangunan bangunan candi, dengan berbagai modifikasi, namun ornamen punden berundak tak hilang dari gerbang ini, termasuk ornamen yang ditempelkan menjadi penghias gerbang dan pintu besarnya.
Masjid Agung Kasepuhan memiliki keunikan tersendiri diantaranya yaitu di dalam ruangan utama banyak tiang-tiang kayu. Di atas dinding bata, berjejerlah kaligrafi lukisan kaca dengan aneka ayat-ayat Al Quran. Lukisan kaca memang salah satu seni lukis khas Cirebon. Semua tiang tersebut terbuat dari kayu jati dengan diameter sekitar 60cm dan tinggi mencapai 14 meter. Seluruh dua belas sokoguru utama di dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa sudah di topang dengan besi baja untuk menjaga keutuhan struktur kayu bangunan masjid tua ini. Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya pelestarian.
Dalam masjid tersebut terdapat 74 tiang bulat yang terbuat dari kayu jati. Mengingat usianya yang sudah sangat tua, seluruh sokoguru di dalam masjid ini sudah ditopang dengan rangkaian besi baja untuk mengurangi beban dari masing masing pilar tersebut, hanya saja kehadiran besi besi baja tersebut sedikit mengurangi estetika. Keseluruhan sokoguru masjid ini berdiri di atas umpak batu kali. Umpak pada tiang-tiang utama berbentuk bulat dan di bagian serambi berbentuk kotak.
Rangkaian rumit saling silang pasangan kayu konstruksi di dalam masjid ini benar benar melemparkan kita ke masa lalu mengingat teramat sulit untuk menemukan bangunan baru dengan rancangan yang serupa. Atap puncak masjid (wuwungan) ditopang oleh dua sokoguru paling tengah. Dan diantara dua sokoguru ini yang menjadi titik tengah bangunan utama sekaligus menjadi titik berdirinya muazin saat mengumandangkan azan termasuk azan pitu (azan tujuh) saat sholat Jum’at.
Di dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa ada dua Maksurah. Satu maksurah ditempatkan di shaf paling depan bersebelahan dengan mimbar, satu maksurah lagi ditempatkan pada shaf paling belakang disebelah kiri pintu masuk utama. Layaknya sebuah masjid kerajaan, di masjid Agung Sang Cipta Rasa ini juga disediakan tempat sholat khusus bagi keluarga kerajaan atau Maksurah berupa area yang dipagar dengan pagar kayu berukir. Ada dua Maksurah di dalam masjid ini. satu maksurah di shaf paling depan sebelah kanan mihrab dan mimbar diperuntukkan bagi Sultan dan Keluarga keraton Kasepuhan. Serta satu Maksurah di shaf paling belakang disamping kiri pintu utama diperuntukkan bagi Sultan dan keluarga keraton Kanoman.
Maksurah, banyak ditemui di masjid masjid tua Arabia, Afrika Utara hingga wilayah wilayah bekas kekuasaan emperium Turki Usmani. Fungsi awalnya adalah sebagai perlindungan bagi Sultan dan pejabat tinggi kerajaan selama melaksanakan sholat di masjid dari kemungkinan serangan fisik terhadap petinggi kerajaan. Di dalam maksurah ini pada masanya juga dilengkapi dengan senjata ringan pembelaan diri seperti tombak dan lainnya.
Ada dua mimbar di dalam masjid ini yang bentuk dan ukurannya sama persis. Mimbar yang kini dipakai merupakan mimbar pengganti, disebelah kanan mimbar ini terdapat maksurah dan disebelah kanan maksurah mimbar lamanya ditempatkan. Pada bagian kaki mimbarnya ada bentuk seperti kepala macan, mengingatkan pada kejayaan Prabu Siliwangi raja Padjajaran yang tak lain adalah Kakek dari Sunan Gunung Jati dari garis Ibu.
Menjadi lebih menarik manakala kita masuk ke dalam bangunan masjid ini. nyaris tak ada ornamen Islami seperti yang biasa kita temukan di dalam sebuah bangunan masjid bergaya Arabia. Mihrab dan mimbar di masjid ini sepi dari ukiran ayat ayat suci Al-Qur’an. Mihrab nya sendiri dibangun dari batu batu pualam berukuran floral, yang berpusat pada bentuk yang menyerupai bunga matahari pada bagian puncak mihrab.
Adanya bentuk bunga matahari di mihrab masjid ini mengingatkan kita pada bentuk Surya Majapahit yang merupakan lambang kebesaran Kerajaan Majapahit. Memang tak mengerankan, karena konon memang proses pembangunan masjid ini turut melibatkan Raden Sepat yang tak lain adalah panglima pasukan Majapahit yang kalah perang dalam serangannya ke Demak di masa kekuasaan Raden Fatah dan kemudian memeluk Islam.
Maka wajar bila kemudian ada banyak kemiripan antara Masjid Agung Demak dengan Masjid Sang Cipta Rasa ini termasuk Masjid Agung Banten di Banten Lama, provinsi Banten karena memang melibatkan orang yang sama dalam proses pembangunannya. Sampai sejauh ini belum ditemukan catatan tentang Raden Sepat dan sisa pasukannya yang dibawa ke Cirebon termasuk dimana beliau dimakamkan.
Seluruh bagian mihrab masjid ini menggunakan batu pualam putih. Selain ukiran floral dibagian atas mihrab, juga terdapat dua pilar pualam disisi kiri dan kanannya. Konon pilar ini di ukir oleh Sunan Kali Jaga dalam bentuk kelopak bunga teratai. Selain ukiran floral di sisi kiri dan kanan bagian depan mihrab ini terdapat ukiran geometris yang sangat menarik serupa dengan ukiran pada dinding depan masjid. Di bagian mihrab juga terdapat tiga buah ubin bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ubin tersebut dipasang oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga pada awal berdirinya masjid.
Bangunan utama (asli) Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki Sembilan Pintu menyimbolkan Sembilan Wali (Wali Songo) yang turut berkontribusi aktif dalam proses pembangunannya. Pintu utama nya berada di sisi timur sejajar dengan mihrab, namun pintu utama ini nyaris tak pernah dibuka kecuali pada saat sholat Jum’at, sholat hari raya dan peringatan hari hari besar Islam. Delapan pintu lainnya ditempatkan di sisi utara dan selatan (kanan dan kiri) bangunan utama dengan ukuran sangat kecil dibandingkan ukuran normal sebuah pintu.
Pada hari biasa hanya ada satu pintu yang senantiasa dibuka oleh pengurus masjid yakni satu pintu di sisi kanan bangunan. Seluruh delapan pintu samping masjid ini sengaja dibuat dalam ukuran kecil dan sempit memaksa setiap orang dewasa untuk menunduk saat akan masuk ke dalam masjid, meyimbolkan penghormatan dan merendahkan diri dan hati manakala memasuki masjid.
Delapan pintu samping ini juga dilengkapi dengan daun pintu yang ukurannya juga kecil yang sepi dari ukuran. Berbeda dengan pintu utamanya yang berukuran besar dan penuh dengan ukiran yang sangat indah. Ruang dalam masjid ini juga tidak digunakan untuk sholat berjamaah lima waktu. Pelaksanaan sholat lima waktu dilaksanakan di pendopo depan. Sebuah partisi berukir dari kayu jati di sisi depan area pendopo sebagai penanda tempat bagi imam.
Tembok bangunan utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dibangun dari susunan bata merah yang sama sekali tidak diplester, namun memiliki ketebalan hampir 70cm. Menurut penuturan Bapak Ahmad, tembok-tembok tersebut disusun dengan menggunakan putih telur. Tembok ini hanya dibangun setengah saja tidak sampai ke atap, bagian atasnya dibiarkan terbuka sebagai ventilasi udara dan cahaya.
Namun kehadiran dinding kaca dan anyaman kawat tersebut justru menghilangkan salah satu ciri khas masjid ini yang memang dirancang terbuka sebagai sebuah bangunan tropis. Ditambah lagi dengan bentuk ornamen kaligrafi yang digunakan untuk menghias dinding kaca tersebut tak senada dengan arsitektural keseluruhan bangunan asli. Ditambah lagi dengan konsekwensi rusaknya sirkulasi udara hingga harus dikonpensasi dengan pemasangan beberapa kipas angin di bagian dalam.
Legenda Azan Pitu, Memolo Dan Masjid Berpasangan
Azan Pitu atau azan tujuh adalah tradisi azan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang dilantunkan oleh tujuh orang muazin sekaligus. Biasanya azan ini dilantunkan saat jelang sholat subuh dan sholat Jum’at. Selain azan pitu, di Cirebon juga mengenal azan awal sebelum sholat subuh sebagai pengingat bagi kaum muslimin bahwa waktu subuh akan segera tiba supaya bersiap diri.Azan pitu pada mulanya dilaksanakan atas perintah dari Sunan Gunung Jati untuk memusnahkan pengaruh sihir yang ditebarkan oleh Menjangan Wulung terhadap jemaah yang akan melaksanakan jamaan di masjid. Disebutkan bahwa pada suatu masa ketika Islam baru menunjukkan perkembangan yang baik di wilayah Cirebon, beberapa orang yang keberatan dengan hal tersebut berupaya menebar teror.
Sosok Menjangan Wulung sendiri menurut beberapa sumber merupakan sosok ghaib yang di utus oleh seseorang ke Masjid Agung Cirebon untuk menebar terror. Korban pertamanya adalah muazin yang akan mengumandangkan azan subuh di masjid ini yang mendadak tewas secara misterius. Mengakibatkan ketakutan yang luar biasa bagi jemaah lainnya yang akan masuk ke masjid ini. Amukan Menjangan wulung ini juga mengakibatkan atap masjid yang masih terbuat dari rumbia mengalami kebakaran hebat.
Berbagai upaya dilakukan untuk memadamkan api, namun selalu gagal. Sampai akhirnya istri Sunan Gunungjati Nyi Mas Pakungwati menyarankan agar dikumandangkan azan. Namun api belum juga padam. Azan kembali dikumandangkan oleh dua orang sampai berturut-turut tiga orang sampai enam orang, namun api belum juga padam. Konon api baru padam setelah azan dikumandangkan oleh tujuh orang muazin, atas perintah dari Sunan Gunung Jati berdasarkan petunjuk Ilahi.
Menjangan Wulung berhasil ditaklukkan, konon dia melarikan diri ke arah Banten dan tak pernah kembali. Masih dalam kaitan dengan hikayat ini disebutkan juga bahwa menjangan wulung juga menghantam memolo yang ada di puncak masjid hingga terpental jauh. Ada juga yang menyebut bahwa memolo (mastaka / ornament hiasan berbentuk simbar dipuncak masjid) tersebut hancur akibat ledakan yang terjadi saat aksi Menjangan Wulung tersebut.
Namun satu hikayat yang senantiasa dituturkan oleh pemandu wisata di Masjid ini bahwa memolo tersebut terpental hingga ke Masjid Agung Banten. Dan itu sebabnya Masjid Agung Banten memiliki dua memolo sedangkan Masjid Agung Cirebon tanpa memolo sama sekali. Cerita terakhir tersebut memiliki penafsiran yang bermacam macam.
Pertama bahwa masjid Agung Banten dibangun jauh setelah berdirinya Masjid Agung Cirebon. Bila kita merujuk kepada tahun wafatnya Ratu Dewi Pakungwati yakni tahun 1549 sebagai tahun terjadinya huru hara Menjangan Wulung, artinya meski memolo tersebut memang terpental jauh hingga ke Banten, tidak serta merta langsung bertengger di Masjid Agung Banten tapi butuh setidaknya tiga tahun bagi siapapun disana untuk memungut memolo tersebut dan memasangnya ke Masjid Agung Banten yang baru dibangun tiga tahun kemudian (1552-1570).
Sedangkan dari sudut pandang arsitektural, Masjid Agung Cipta Rasa disebutkan sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak. Bila Masjid Agung Demak dibangun dalam watak Maskulin lengkap dengan memolo dan berdiri gagah, lain halnya dengan masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang dibangun dalam watak Fenimim dengan denah persegi panjang, boleh jadi sejak awal masjid ini memang dibangun tanpa memolo sebagai perwujudan dari kefemeninimannya.
Namun demikian, tradisi azan pitu ini tetap dilestarikan di Masjid Agung Cirebon ini. sebagai sebuah tradisi yang merupakan satu satunya masjid dengan tradisi yang amat unik dan langka ini. Azan pitu dilantunkan oleh tujuh orang muazin sekaligus dengan pakaian putih putih kadang dilengkapi dengan jubah. Mereka bertujuh berjejer di tengah tengah bangunan asli tepat dibawah wuwungan atap masjid.
Adzan yang dikumandangkan oleh 7 orang di Masjid Agung Sang Cipta Rasa |
Bila diperhatikan masjid masjid tua di tanah Jawa termasuk Masjid Agung Demak, Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, Saka Tunggal di Banyumas, Sunan Ampel di Surabaya dan lainnya, selalu saja dibangun tanpa menara. Meski dari sisi tradisi arsitektural tanah air, ketiadaan menara ini sudah menjadi pakem bagi masjid tradisional Indonesia namun dibalik semua itu ada makna filosofis yang mendalam.
Ketiadaan menara pada bangunan masjid masjid tua tersebut kait mengait dengan tradisi tanah jawa yang menjungjung tinggi ewuh pakewuh. Keberadaan menara yang memang pada masa awalnya merupakan tempat muazin mengumandangkan azan akan memposisikan muazin yang berada di menara lebih tinggi dari seluruh jemaah yang ada di dalam masjid termasuk Raja dan para petinggi kerajaan lainnya.
Hal tersebut dianggap tidak sopan. Karenanya masjid-masjid tua tanah Jawa hampir seluruhnya tidak dilengkapi dengan menara. Menara di Masjid Agung Demak pun dibangun belakangan bukan merupakan komponen asli yang dibangun sejak awal pembangunan masjid. Seiring dengan telah dikembangkannya perangkat pengeras suara, muazin tak perlu lagi menaiki menara pada saat akan mengumandangkan azan cukup pengeras suaranya yang disimpan di menara sedangkan azannya dilantunkan muazin dari dalam masjid.
Tradisi Tradisi di Masjid Agung Sang Ciptarasa
Seperti halnya masjid masjid tua serta merupakan masjid keraton kesultanan. Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon ini juga memiliki beberapa tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun temurun tanpa terputus sejak awal pembangunannya hingga kini. Diantara tradisi tradisi tersebut merupakan tradisi unik dan hanya ada di masjid ini. Terutama adalah tradisi Azan Pitu atau azan adalah azan yang dikumandangkan oleh tujuh orang muazin sekaligus.Tradisi ini bermula sejak awal berdirinya masjid Agung Sang Ciptarasa dan sejak awal berkembangnya Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Azan pitu pada awalnya dilakanakan atas perintah langsung dari Sunan Gunung Jati untuk mengatasi serangan ghaib dari Menjangan wulung yang menyebar terror di masjid ini sehingga menyebabkan tewasnya beberapa muazin serta menyebabkan kebakaran di masjid ini.
Kemungkinan besar peristiwa tersebut terjadi di tahun 1549 masehi. Tahun tersebut merupakan tahun wafatnya Dewi Pakungwati, permaisuri Sunan Gunung Jati yang wafat di masjid ini. Beberapa sumber menyebutkan beliau wafat dalam usia yang sanga tua di dalam masjid ini setelah turut serta dalam upaya memadamkan kebakaran yang terjadi di masjid ini.
Tradisi yang tak kalah uniknya dari masjid ini adalah sampai saat ini khotbah Jum'at selalu dibawakan dengan menggunakan bahasa Arab. Dan meski hampir semua jama'ah tak memahami artinya jamaah tetap menyimaknya dengan khusu tanpa mengobrol dengan rekan disebelahnya. Tujuan dari tetap dilestarikannya khotbah berbahasa Arab ini sendiri konon untuk memotivasi jamaahnya agar mau belajar bahasa Arab.
Pada setiap sholat Jum'at yang kebetulan jatuh pada hari pasaran kliwon, banyak jemaah perempuan yang ikut sholat Jum'at di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon ini dengan satu keyakinan bahwa bila mereka ikut sholat Jum'at yang jatuh tepat pada hari Jum'at Kliwon maka yang bersangkutan akan memperoleh berkah. Atas dasar keyakinan itulah, pada Jum'at Kliwon banyak jemaah perempuan yang datang tidak hanya dari daerah Cirebon tapi juga banyak yang datang dari luar kota untuk ikut bersholat Jum'at di Masjid ini.
Sumur Keramat
Di beranda samping kanan (utara) masjid, terdapat sumur yang dinamai zam-zam atau Banyu Cis Sang Cipta Rasa, menurut penuturan masyarakat sekitar, sumur ini merupakan tempat berwudhunya para wali. Sumur ini ramai dikunjungi orang, terutama pada bulan Ramadhan. Selain diyakini berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, sumur yang terdiri dari dua kolam ini juga dapat digunakan untuk menguji kejujuran seseorang.Sumur Kramat di Komplek Masjid Agung Sang Cipta Rasa |
Posting Komentar untuk "Sejarah Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.