Bacaan Quran Langgam Jawa Sunan Kalijaga dan Batalnya Pangeran Makdum Menjadi Wali
Dalam sejarah Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang menguasai seni kidung atau langgam/tembang, beliau pandai membuat syair-syair lagu nasehat, bahkan peninggalan kidung-kidungnya tetap lestari hingga kini seperti kidung lir-ilir, lingsir wengi, turi putih dan lain sebagainya.
Kepandaian Sunan Kalijaga dalam kidungan itu rupanya pernah membuat geger Cirebon, sebab suatu ketika, pada saat Sunan Kalijaga menjadi Imam Shalat Jumat di Masjid Agung Cirebon, beliau rupanya membacakan ayat-ayat suci al-Quran baik ketika Khutbah maupun Shalat menggunakan Langgam Jawa, perbuatan Sunan Kalijaga ini ternyata ditentang oleh Pangeran Makdum, akan tetapi penentangan Pangeran Makdum ini justru membuatnya gagal menjadi anggota Dewan Wali 9.
Kisah mengenai peristiwa itu terekam dalam naskah Mertasinga Pupuh XLVII.01-XLVII.9, demikian kisahnya;
Dikisahkan para Wali akan melaksanakan Shalat di Masjid Agung. Yang membaca Adzan Datuk Khapi dan yang Ma’asyiral Syekh Hatim. Sunan Kalijaga menerima permintaan Sunan Gunung Jati untuk berkhutbah dan menjadi Imam.
Ketika Sunan Kalijaga membaca Khutbah, nadanya seperti orang yang sedang menyanyikan kidung perkawinan. Sunan Kalijaga melakukan itu karena beliau sudah tahu bahwa bacaannya itu akan ada yang mencela.
Setelah selesai membaca khutbah lalu Pangeran Makdum membacakan Qomat, Sunan Kalijaga kemudian menjadi Imamnya, pada saat membaca surat al-fatihah, lagi-lagi lekuk-lekuk bacaannya itu bagaikan lagu, berlegak-legok sebagimana halnya lagu.
Diantara jamaah yang hadir taka da lainnya kecuali pangeran Makdum saja yang merasa terganggu. Juga kemudian ketika Sunan kalijaga sujud, sarungnya terangkat sehingga apa yang ada dibaliknya terlihat. Setelah mengucapkan salam akhir, Pangeran Makdum membaca Qomat lagi kemudian dilanjutkan lagi dengan Shalat Dzuhur.
Setelah selesai Shalat para Wali berkumpul diserambi masjid untuk membahas apa yang telah terjadi. Sunan Kudus berkata “Pangeran Makdum pasti tak akan menjadi Wali 9”.
Sunan Bonang berkata “Mudah-mudahan hal ini tidak akan dibiarkan terjadi lagi”. Sunan giri menyambung, “Kalaupun kelak masih akan terjadi, tapi di akhir zaman hal seperti ini tidak ada yang akan melakukannya lagi”.
Sunan Kalijaga berkata “Kepunahan yang utama, masa iya akan terjadi, kedengaranya seperti kesombongan saja dari sembilan wali di pulau jawa”.
Pangeran Kejaksan berkata “Elah Dalah, anda ini mengurusi orang lain serta kehendaknya yang maha kuasa, anda nanti bisa lepas kendali dan bertindak melebihi wali yang Sembilan. Adapun yang namanya wali itu, pada waktu Shalat tidak menghiraukan sikap orang lain kecuali memustakan diri kepada yang maha kuasa”.
Pangeran Makdum sudah menerima akan sabda para wali tersebut dan kemudian berkata “Hamba berterima kasih kepada tuan-tuan sekalian, hamba menerima akan nasib hamba yang tidak mempunyai harkat untuk menjadi wali” Lalu para wali berkata “Pangeran Makdum, anda sekarang batal menjadi wali, anda hanya akan menjadi mu’min yang utama”. Maka bubarlah para wali dari serambi masjid agung itu.
Demikianlah kisah mengenai batalnya Pangeran Makdum menjadi wali karena berburuk sangka terhadap bacaan Quran Sunan Kalijaga yang menggunakan langgam/lagu Jawa.
Peristiwa di atas mengingatkan penulis pada pristiwa peringatan maulid Nabi yang diadakan di Istana Negara Jakarta, dimana Qori yang diundang di Istana rupanya dengan sengaja membawakan langgam Jawa ketika membacakan ayat-ayat Al-Quran.
Bacaan tersebut pada kemudiannya ditentang oleh sebagian orang yang mengatasnamakan para ulama. Kejadian ini rupanya pernah terjadi di masa lalu. Begitulah cerita dunia, kisah kehidupannya sepertinya berulang-ulang saja.
Berikut ini adalah teks terjamah naskah Mertasinga yang membahas mengenai masalah di atas perhatikan dengan seksama;
Kepandaian Sunan Kalijaga dalam kidungan itu rupanya pernah membuat geger Cirebon, sebab suatu ketika, pada saat Sunan Kalijaga menjadi Imam Shalat Jumat di Masjid Agung Cirebon, beliau rupanya membacakan ayat-ayat suci al-Quran baik ketika Khutbah maupun Shalat menggunakan Langgam Jawa, perbuatan Sunan Kalijaga ini ternyata ditentang oleh Pangeran Makdum, akan tetapi penentangan Pangeran Makdum ini justru membuatnya gagal menjadi anggota Dewan Wali 9.
Kisah mengenai peristiwa itu terekam dalam naskah Mertasinga Pupuh XLVII.01-XLVII.9, demikian kisahnya;
Dikisahkan para Wali akan melaksanakan Shalat di Masjid Agung. Yang membaca Adzan Datuk Khapi dan yang Ma’asyiral Syekh Hatim. Sunan Kalijaga menerima permintaan Sunan Gunung Jati untuk berkhutbah dan menjadi Imam.
Ketika Sunan Kalijaga membaca Khutbah, nadanya seperti orang yang sedang menyanyikan kidung perkawinan. Sunan Kalijaga melakukan itu karena beliau sudah tahu bahwa bacaannya itu akan ada yang mencela.
Setelah selesai membaca khutbah lalu Pangeran Makdum membacakan Qomat, Sunan Kalijaga kemudian menjadi Imamnya, pada saat membaca surat al-fatihah, lagi-lagi lekuk-lekuk bacaannya itu bagaikan lagu, berlegak-legok sebagimana halnya lagu.
Diantara jamaah yang hadir taka da lainnya kecuali pangeran Makdum saja yang merasa terganggu. Juga kemudian ketika Sunan kalijaga sujud, sarungnya terangkat sehingga apa yang ada dibaliknya terlihat. Setelah mengucapkan salam akhir, Pangeran Makdum membaca Qomat lagi kemudian dilanjutkan lagi dengan Shalat Dzuhur.
Setelah selesai Shalat para Wali berkumpul diserambi masjid untuk membahas apa yang telah terjadi. Sunan Kudus berkata “Pangeran Makdum pasti tak akan menjadi Wali 9”.
Sunan Bonang berkata “Mudah-mudahan hal ini tidak akan dibiarkan terjadi lagi”. Sunan giri menyambung, “Kalaupun kelak masih akan terjadi, tapi di akhir zaman hal seperti ini tidak ada yang akan melakukannya lagi”.
Sunan Kalijaga berkata “Kepunahan yang utama, masa iya akan terjadi, kedengaranya seperti kesombongan saja dari sembilan wali di pulau jawa”.
Pangeran Kejaksan berkata “Elah Dalah, anda ini mengurusi orang lain serta kehendaknya yang maha kuasa, anda nanti bisa lepas kendali dan bertindak melebihi wali yang Sembilan. Adapun yang namanya wali itu, pada waktu Shalat tidak menghiraukan sikap orang lain kecuali memustakan diri kepada yang maha kuasa”.
Pangeran Makdum sudah menerima akan sabda para wali tersebut dan kemudian berkata “Hamba berterima kasih kepada tuan-tuan sekalian, hamba menerima akan nasib hamba yang tidak mempunyai harkat untuk menjadi wali” Lalu para wali berkata “Pangeran Makdum, anda sekarang batal menjadi wali, anda hanya akan menjadi mu’min yang utama”. Maka bubarlah para wali dari serambi masjid agung itu.
Demikianlah kisah mengenai batalnya Pangeran Makdum menjadi wali karena berburuk sangka terhadap bacaan Quran Sunan Kalijaga yang menggunakan langgam/lagu Jawa.
Peristiwa di atas mengingatkan penulis pada pristiwa peringatan maulid Nabi yang diadakan di Istana Negara Jakarta, dimana Qori yang diundang di Istana rupanya dengan sengaja membawakan langgam Jawa ketika membacakan ayat-ayat Al-Quran.
Bacaan tersebut pada kemudiannya ditentang oleh sebagian orang yang mengatasnamakan para ulama. Kejadian ini rupanya pernah terjadi di masa lalu. Begitulah cerita dunia, kisah kehidupannya sepertinya berulang-ulang saja.
Berikut ini adalah teks terjamah naskah Mertasinga yang membahas mengenai masalah di atas perhatikan dengan seksama;
Posting Komentar untuk "Bacaan Quran Langgam Jawa Sunan Kalijaga dan Batalnya Pangeran Makdum Menjadi Wali"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.