Gugurnya Slamet Riyadi, Pahlawan Asal Kota Solo
Slamet hakikatnya adalah gambaran seorang pemuda tangguh, waktu itu umurnya genap 23 tahun, beliau wafat dengan membawa kesan kagum bagi yang menyaksikan kegigihannya dalam membela Negara, bagaimana tidak Slamet terus berjuang meski dadanya terkoyak-koyak peluru karena baju anti peluru yang ia pakai rupanya amatir, sehingga tak kuasa menahan muntahan peluru yang ditembakan pemberontak dari senjata jenis Jungle Carbine dan Owen Gun. Dalam akhir hayatnya Slamet terus adu tembak dengan pemberontak meski darahnya berceceran kemana-mana, ia menahan rasa sakitnya dengan morfin, sebelum akhirnya gugur karena kehabisan darah. Dan diantara yang kagum pada kegigihan Slamet dalam berjuang itu adalah teman seperjuangannya sendiri yaitu Alexander Evert Kawilarang, seorang yang kelak mendirikan Kopasus.
Slamet adalah nama kecilnya, begitulah teman-temanya memanggil, meskipun ada juga teman-temanya yang memanggilnya Riyadi (Rijadi ejaan lama), karena memang nama panjangnya adalah Ignatius Slamet Riyadi. Beliau dilahirkan di Kota Solo pada tanggal 26 Juli 1927, ayahnya Raden Ngabehi Prawiropralebdo, seorang perwira pada tentara kesultanan Surakarta, dan Soetati wanita bersahaja penjual buah.
Kisah keheroikan Slamet dalam perjuangan membela bangsanya itu, pada akhirnya mengantarkanya menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, sebab pada tahun 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan mengangkatnya sebagai pahlawan Nasional. Selain diangkat menjadi pahlawan Nasional Slamet Riyadi juga namanya diabdikan kedalam benda-benda milik republik ini, diantaranya Kapal Perang (KRI) KRI Slamet Riyadi, jalan Slamet Riyadi di Kota Solo, Patung Slamet Riyadi di jantung kota Solo dan lain sebagainya.
Gugurnya slamet Riyadi yang sangat heroik itu bermula dari pembangkangan sebagian kecil orang-orang Maluku Selatan, mereka memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS), pada tahun 1950, pembangkangan ini adalah buah dari hasutan Belanda, yang menghendaki Republik Indonesia terpecah-pecah.
Tidak mau tinggal diam atas pembangkangan yang dilakukan RMS, akhirnya pada tanggal 10 Juli 1950 pemerintah menugaskan Slamet Riyadi untuk melakukan penumpasan, Oprasi penumpasan itu dinamai dengan Operasi Senopati, Slamet dkk dikirim ke Ambon.
Pada tanggal 3 Oktober, pasukan Slamet, bersama dengan Kolonel Alexander Evert Kawilarang, ditugaskan untuk mengambil alih ibu kota pemberontak di New Victoria (Kini Kota Ambon). Riyadi dan Kawilarang memimpin tiga serangan, pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Riyadi merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau. Perjalanan yang memakan waktu selama sebulan. Dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Riyadi, seringkali membuat mereka terjepit.
Setibanya di New Victoria, pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi diserang oleh pasukan RMS. Namun, ia tidak mengetahui akhir pertempuran tersebut. Ketika Slamet Riyadi sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, pemberontak menembakinya. Peluru tersebut menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit dalam kapal perang milik Indonesia, Slamet bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Slamet Riyadi gugur pada malam itu juga, dan pertempuran berakhir di hari yang sama, dimana RMS dapat ditumpas. Kesuksesan Slamet Riyadi dalam menumpas RMS bersama anak buahnya, rupanya harus mengorbankan dirinya sendiri, bahkan ia menolak untuk diobati demi mendampingi anak buahnya dalam menumpas pemberontak, itulah hebatnya Slamet Riyadi.
Saat tidak bekerja di laut, Slamet tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sesekali ia juga bertemu dengan para pejuang bawah tanah. Pada 14 Februari 1945, setelah Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Riyadi beserta rekannya sesama pelaut meninggalkan asrama mereka dan mengambil senjata, Riyadi pulang ke Solo dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana. Ia tidak ditangkap oleh polisi militer Jepang atau unit lainnya selama masa pendudukan, yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah Jepang menyerah, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia; karena tidak mau dijajah kembali, rakyat Indonesia-pun melawan balik. Riyadi memulai kampanye gerilya melawan Belanda dan dengan cepat memperoleh kenaikan pangkat. Ia bertanggung jawab atas Resimen 26 di Surakarta. Selama Agresi Militer Belanda I, yaitu serangan umum yang dilancarkan oleh belanda pada pertengahan 1947, Riyadi memimpin pasukan Indonesia di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang; ia juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu.
Pada bulan September 1948, Slamet Riyadi dipromosikan dan diserahi kontrol atas empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. Dua bulan kemudian, Belanda melancarkan serangan kedua, kali ini menyasar kota Yogyakarta, yang saat itu menjadi ibu kota negara. Meskipun Riyadi dan pasukannya melancarkan serangan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten, tentara Belanda akhirnya berhasil memasuki kota. Dengan menerapkan kebijakan "berpencar dan menaklukkan", Riyadi mampu menghalau tentara Belanda dalam waktu empat hari. Setelah itu, Riyadi dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Angkatan Perang Ratu Adil bentukan Raymond Westerling.
Barulah kemudian pada 10 Juli 1950 ia ditugaskan ke Ambon untuk menumpas RMS dan disinilah akhir hayatnnya, Slamet wafat pada peristiwa penumpasan RMS, tepanya pada tanggal 4 bulan November tahun 1950, Slamet kemudian dimakakmkan di Ambon.
Potret Slamet Riyadi |
Kisah keheroikan Slamet dalam perjuangan membela bangsanya itu, pada akhirnya mengantarkanya menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, sebab pada tahun 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan mengangkatnya sebagai pahlawan Nasional. Selain diangkat menjadi pahlawan Nasional Slamet Riyadi juga namanya diabdikan kedalam benda-benda milik republik ini, diantaranya Kapal Perang (KRI) KRI Slamet Riyadi, jalan Slamet Riyadi di Kota Solo, Patung Slamet Riyadi di jantung kota Solo dan lain sebagainya.
Patung Slamet Riyadi Solo/Surakarta |
Tidak mau tinggal diam atas pembangkangan yang dilakukan RMS, akhirnya pada tanggal 10 Juli 1950 pemerintah menugaskan Slamet Riyadi untuk melakukan penumpasan, Oprasi penumpasan itu dinamai dengan Operasi Senopati, Slamet dkk dikirim ke Ambon.
Pada tanggal 3 Oktober, pasukan Slamet, bersama dengan Kolonel Alexander Evert Kawilarang, ditugaskan untuk mengambil alih ibu kota pemberontak di New Victoria (Kini Kota Ambon). Riyadi dan Kawilarang memimpin tiga serangan, pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Riyadi merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau. Perjalanan yang memakan waktu selama sebulan. Dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Riyadi, seringkali membuat mereka terjepit.
Pendaratan Pasukan Slamet Riyadi di Ambon |
Riwayat Perjuangan Slamet Riyadi Sebelum Peristiwa Penumpasan RMS
Slamet menempuh pendidikan di sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche Schooll Ardjoeno, sebuah sekolah swasta yang dimiliki dan dikelola oleh kelompok agamawan Belanda. Saat bersekolah di Sekolah Menengah Mangkoenegaran, ia memperoleh nama belakang Riyadi karena ada banyak siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut. Ia juga melanjutkan sekolah menengahnya di lembaga pendidikan itu juga, setelah tamat sekolah menengah, Jepang datang dan saat Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, ia melanjutkan pendidikannya ke akademi pelaut di Jakarta. Setelah lulus, ia bekerja sebagai navigator di sebuah kapal laut.Saat tidak bekerja di laut, Slamet tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sesekali ia juga bertemu dengan para pejuang bawah tanah. Pada 14 Februari 1945, setelah Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Riyadi beserta rekannya sesama pelaut meninggalkan asrama mereka dan mengambil senjata, Riyadi pulang ke Solo dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana. Ia tidak ditangkap oleh polisi militer Jepang atau unit lainnya selama masa pendudukan, yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah Jepang menyerah, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia; karena tidak mau dijajah kembali, rakyat Indonesia-pun melawan balik. Riyadi memulai kampanye gerilya melawan Belanda dan dengan cepat memperoleh kenaikan pangkat. Ia bertanggung jawab atas Resimen 26 di Surakarta. Selama Agresi Militer Belanda I, yaitu serangan umum yang dilancarkan oleh belanda pada pertengahan 1947, Riyadi memimpin pasukan Indonesia di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang; ia juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu.
Pada bulan September 1948, Slamet Riyadi dipromosikan dan diserahi kontrol atas empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. Dua bulan kemudian, Belanda melancarkan serangan kedua, kali ini menyasar kota Yogyakarta, yang saat itu menjadi ibu kota negara. Meskipun Riyadi dan pasukannya melancarkan serangan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten, tentara Belanda akhirnya berhasil memasuki kota. Dengan menerapkan kebijakan "berpencar dan menaklukkan", Riyadi mampu menghalau tentara Belanda dalam waktu empat hari. Setelah itu, Riyadi dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Angkatan Perang Ratu Adil bentukan Raymond Westerling.
Barulah kemudian pada 10 Juli 1950 ia ditugaskan ke Ambon untuk menumpas RMS dan disinilah akhir hayatnnya, Slamet wafat pada peristiwa penumpasan RMS, tepanya pada tanggal 4 bulan November tahun 1950, Slamet kemudian dimakakmkan di Ambon.
Posting Komentar untuk "Gugurnya Slamet Riyadi, Pahlawan Asal Kota Solo"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.