Rahasia Dibalik Kumis Sultan Aceh Terakhir
Kumis bagi kebudayaan kerajaan tertentu memiliki makna dan filosofisnya tersendiri. Kumisnya orang terpandang sekelas Raja tentu berbeda dengan kumisnya rakyat jelata. Karena Kumisnya Raja atau orang-orang terpandang mempunyai gaya standar yang berlaku mengikat sehingga kemudian menjadi ciri khas tersendiri bagi Raja/Bangsawan yang bersangkutan. Begitupun dengan kumisnya Sultan Aceh terakhir, tentunya memiliki makna dan filosofisnya tersendiri.
Jika kita melihat kembali ke sejarah riwayat Kesultanan Aceh, diketahui bahwa Kesultanan ini merupakan Vazal (Bagian/Sekutu) dari Kekhalifahan Turki Ustmani.
Segala macam yang berbau kekhalifahan rupanya diterapkan secara ketat di Aceh, seperti Bendera Aceh yang dikenal dengan Alam Peudang itu, ternyata merupakan bendera Turki Ustmani yang dimodifikasi. Soal bendera ini menandakan bahwa Kesultanan Aceh merupakan bagian atau Vazal dari Kekhalifahan Turki Ustmani.
Berkat bendera inilah konon pada abad 17-18 Belanda bahkan Potrugis tidak berani menggangu Aceh. Mengingat dibalik Aceh ada Turki Ustmani yang kala itu merupakan salah satu negara super power di dunia.
Tidak berhenti sampai bendera saja, gaya berpakian Para Sultan di Aceh ini juga kalau diamati-amati berkiblat pada gaya pakaian para Khalifah Turki Ustmani, mulai dari Kopyah (Songkok), sampai pada Pakaian yang dipakai Khalifah Turki Ustmani abad 19-20 rupanya diaplikasikan dalam tata busana para Sultan di Kesultanan Aceh pada abad-abad tersebut.
Penulis menduga, Kumis Sultan terakhir Aceh yaitu Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat yang bertahta pada tahun 1874-1903 sebagaimana tampak jelas dalam dokumentasi foto Kolonial Belanda itu merupakan bagian dari tata busana dan tata rias Sultan Aceh yang berpatokan pada standarisasi penampilan para Khalifah di Kekhalifahan Turki Ustmani abad ke 19-20.
Untuk melihat bagaimana perbandingan dari penampilan dan tata busana Khalifah dan Sultan Aceh, penulis ajukan dua perbandingan foto berikut ini:
Dalam gambar di atas, tampak jelas bagaimana penempilan Khalifah Abdul Hamid II yang bertahta pada 1842–1918 serta Khalifah Muhamad V yang bertahta pada 1909 –1918 dengan Sultan Muhammad Daud Syah yang bertahta pada 1874-1903.
Jika dibandingkan, maka dapatlah dipahami bahwa tata busana Sultan Aceh rupanya mengikuti gaya para Khalifah Turki, mulai dari Songkok, pakaian, bahkan potongan kumisnya pun identik sama, hanya saja memang terdapat sedikit perbedaan.
Meskipun demikian, perbedaan tersebut hanya sedikit saja. Yaitu ada sedikit modifikasi penyesuaikan dengan nilai-nilai budaya di Aceh.
Seperti penggunaan songkok yang bercorak flaura serta dalam pemakaiannya yang dimiringkan, pakean penobatan yang polos, sampai pada bentuk kumis yang kurang tebal, soal tebal atau tipisnya kumis ini kemungkinan hanya karena faktor gen saja. Tapi pada intinya semuanya identik sama.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapatlah dipahami bahwa gaya busana, dan gaya penampilan Sultan Aceh termasuk didalamnya gaya kumisnya merupakan pengakuan kesultanan Aceh pada dunia bahwa kedudukan kesultanan tersebut termasuk didalamnya gaya busana dan penampilan para Sultannya bernaung dibawah Kekhalifahan Turki Ustmani.
Jika kita melihat kembali ke sejarah riwayat Kesultanan Aceh, diketahui bahwa Kesultanan ini merupakan Vazal (Bagian/Sekutu) dari Kekhalifahan Turki Ustmani.
Segala macam yang berbau kekhalifahan rupanya diterapkan secara ketat di Aceh, seperti Bendera Aceh yang dikenal dengan Alam Peudang itu, ternyata merupakan bendera Turki Ustmani yang dimodifikasi. Soal bendera ini menandakan bahwa Kesultanan Aceh merupakan bagian atau Vazal dari Kekhalifahan Turki Ustmani.
Berkat bendera inilah konon pada abad 17-18 Belanda bahkan Potrugis tidak berani menggangu Aceh. Mengingat dibalik Aceh ada Turki Ustmani yang kala itu merupakan salah satu negara super power di dunia.
Tidak berhenti sampai bendera saja, gaya berpakian Para Sultan di Aceh ini juga kalau diamati-amati berkiblat pada gaya pakaian para Khalifah Turki Ustmani, mulai dari Kopyah (Songkok), sampai pada Pakaian yang dipakai Khalifah Turki Ustmani abad 19-20 rupanya diaplikasikan dalam tata busana para Sultan di Kesultanan Aceh pada abad-abad tersebut.
Penulis menduga, Kumis Sultan terakhir Aceh yaitu Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat yang bertahta pada tahun 1874-1903 sebagaimana tampak jelas dalam dokumentasi foto Kolonial Belanda itu merupakan bagian dari tata busana dan tata rias Sultan Aceh yang berpatokan pada standarisasi penampilan para Khalifah di Kekhalifahan Turki Ustmani abad ke 19-20.
Untuk melihat bagaimana perbandingan dari penampilan dan tata busana Khalifah dan Sultan Aceh, penulis ajukan dua perbandingan foto berikut ini:
Dalam gambar di atas, tampak jelas bagaimana penempilan Khalifah Abdul Hamid II yang bertahta pada 1842–1918 serta Khalifah Muhamad V yang bertahta pada 1909 –1918 dengan Sultan Muhammad Daud Syah yang bertahta pada 1874-1903.
Jika dibandingkan, maka dapatlah dipahami bahwa tata busana Sultan Aceh rupanya mengikuti gaya para Khalifah Turki, mulai dari Songkok, pakaian, bahkan potongan kumisnya pun identik sama, hanya saja memang terdapat sedikit perbedaan.
Meskipun demikian, perbedaan tersebut hanya sedikit saja. Yaitu ada sedikit modifikasi penyesuaikan dengan nilai-nilai budaya di Aceh.
Seperti penggunaan songkok yang bercorak flaura serta dalam pemakaiannya yang dimiringkan, pakean penobatan yang polos, sampai pada bentuk kumis yang kurang tebal, soal tebal atau tipisnya kumis ini kemungkinan hanya karena faktor gen saja. Tapi pada intinya semuanya identik sama.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapatlah dipahami bahwa gaya busana, dan gaya penampilan Sultan Aceh termasuk didalamnya gaya kumisnya merupakan pengakuan kesultanan Aceh pada dunia bahwa kedudukan kesultanan tersebut termasuk didalamnya gaya busana dan penampilan para Sultannya bernaung dibawah Kekhalifahan Turki Ustmani.
Posting Komentar untuk "Rahasia Dibalik Kumis Sultan Aceh Terakhir"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.