Si Pitung Ternyata Krempeng dan Wafat Karena Telur Busuk
Kisah cerita si Pitung pernah dibuat film layar lebarnya pada tahun 1970 dengan judul “si Pitung” yang disutradarai oleh SM Ardan.
SM Ardan menggambarkan sosok si Pitung sebagai sosok yang bertubuh kekar dan gagah, sehingga peran si Pitung diberikan kepada Dicky Zulkarnaen, seorang aktor yang memerankan berbagai film Indonesia dari tahun 1961-1993.
Gambaran kegagahan fisik Si Pitung Dalam Filem ini ternyata bertolak belakang dengan kesakisan orang-orang yang pernah menjumapinya, sebab menurut orang yang pernah menjumpainya Si Pitung itu meskipun jagoan beliau ternyata krempeng, dalam kisah cerita yang sesungguhnya juga si Pitung bukan wafat karena peluru emas, tapi karena telur busuk.
Penjelasan mengenai kondisi fisik si Pitung yang dikisahkan Krempeng tersebut diungkapkan Tanu Trh dalam "Intisari"sebagaimana yang dikutip Alwi Shahab, 2008, ia melukiskan bahwa “si Pitung berdasarkan cerita ibunya yang pernah bertemu langsung dengannya. Menurut ibunya, si Pitung perawakannya kecil. Wajah si Pitung sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan”.
Sementara mengenai kabar wafatnya si Pitung yang disebabkan oleh telur busuk dikisahkan Soekanto, S.A dalam bukunya yang berjudul “Hanya Sekali Kita Mati” yang didalamnya berisi tentang hikayat/cerita si Pitung. Dalam buku tersebut dikisahkan bahwa;
Si Pitung adalah seorang anak yang dilahirkan dari pasangan Piun dan Pinah. Seperti anak-anak Betawi pada umumnya, ia diajari tata krama, dan belajar mengaji. Si Pitung juga belajar ilmu silat kepada H. Naipin, seorang ulama yang juga mengajari si Pitung mengaji.
Saat berusia remaja, si Pitung terlibat insiden perkelahian dengan preman-preman pasar yang juga berprofesi sebagai perampok. Setelah kejadian itu, si Pitung memutuskan untuk merampok rumah-rumah tuan tanah yang melakukan penindasan terhadap rakyat kecil. Dia dibantu oleh Ji‟ih dan juga Rais sebagai penghubung dia dengan kampungnya.
Sejak saat itu, si Pitung dan Ji‟ih melakukan aksi perampokan terhadap rumah orang-orang kaya dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin dan lemah yang saat itu sedang ditindas oleh pemerintahan Belanda. Si Pitung juga menjadi terkenal akan kehebatannya dalam ilmu silat dan juga tubuhnya yang kebal akan peluru.
Para tuan tanah dan orang-orang kaya yang memihak kepada Belanda pun menjadi tidak tentram dan melaporkan hal ini kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda pun mengutus Schout Heyne untuk menangkap si Pitung. Berbagai cara dipakai oleh Schout Heyne dan anak buahnya, namun gagal. Si Pitung dan kawan-kawannya selalu berhasil meloloskan diri.
Schout Heyne tidak kehilangan akal, dia mempunyai ide licik untuk menangkap si Pitung. Dia menyandera guru mengaji sekaligus guru silatnya, yaitu H. Naipin.
Heyne menyandera dan menyiksa H.Naipin dengan kejam. Dia dipaksa oleh Heyne untuk memberitahukan kelemahan si Pitung. Karena tidak tahan dengan siksaan yang berat, dengan terpaksa H. Naipin memberitahukan kelemahan si Pitung kepada Schout Heyne.
Setelah itu, Schout Heyne dan pasukannya menyergap si Pitung yang saat itu sedang bersembunyi di rumah kekasihnya, Aisah. Setelah itu, si Pitung dan kawan-kawannya terlibat pertarungan yang tidak seimbang.
Satu-persatu kawan-kawan si Pitung mulai roboh, yang tersisa tinggal si Pitung seorang. Lalu salah seorang dari pasukan Schout Heyne melemparkan telur busuk kepada si Pitung, disertai dengan tembakan kearah si Pitung. Kali ini, tubuhnya tidak kebal peluru lagi karena sudah dilempari telur busuk. Si Pitung pun tewas seketika.
Setelah itu, mayat si Pitung diseret dibawa oleh pasukan Schout Heyne, olehnya tidak ada seorang pun yang diperbolehkan menyentuh mayat si Pitung, karena mereka takut, warga akan menghidupkan kembali si Pitung dari kematiannya. Padahal niat warga hanya ingin menguburkan jasadnya secara islami. Bahkan jasad si Pitung yang sudah tidak bergerak, masih saja di tembaki oleh tentara Belanda. Mereka sangat takut apabila si Pitung bangkit lagi dari kematiannya. Padahal hal itu tidak akan terjadi.
Walaupun pada dasarnya si Pitung itu adalah perampok, namun yang dia lakukan adalah demi rakyat yang kesusahan karena penjajahan pemerintahan Belanda saat itu. Mereka tidak akan melupakan jasa-jasa si Pitung yang rela menempuh bahaya, demi membela mereka.
Berdasarkan penjelasan dari saksi mata dan kisah cerita si pitung menurut cerita tulis yang kemudian dibukukan oleh Soekanto, S.A. itu, dapatlah kita pahami bahwa rupanya gambaran si Pitung yang dikisahkan dalam filem “si Pitung” sedikit jauh dari Panggang.
Dalam filem si Pitung digambarkan gagah, sementara faktanya kerempeng. Dalam filem si Pitung terbunuh karena peluru emas setelah jimatnya dicuri teman seperguruannya sementara dalam cerita rakyat si Pitung terbunuh karena dilempari telur busuk kemudian di tembak.
Meskipun demikian penulis tentu tidak menyalahkan filem si Pitung karena memang sebuah filem itukan punya tujuan komersil, jadi jagoan itu bagamanapun harus ditampilkan segagah mungkin supaya dapat menarik penonton.
SM Ardan menggambarkan sosok si Pitung sebagai sosok yang bertubuh kekar dan gagah, sehingga peran si Pitung diberikan kepada Dicky Zulkarnaen, seorang aktor yang memerankan berbagai film Indonesia dari tahun 1961-1993.
Gambaran kegagahan fisik Si Pitung Dalam Filem ini ternyata bertolak belakang dengan kesakisan orang-orang yang pernah menjumapinya, sebab menurut orang yang pernah menjumpainya Si Pitung itu meskipun jagoan beliau ternyata krempeng, dalam kisah cerita yang sesungguhnya juga si Pitung bukan wafat karena peluru emas, tapi karena telur busuk.
Penjelasan mengenai kondisi fisik si Pitung yang dikisahkan Krempeng tersebut diungkapkan Tanu Trh dalam "Intisari"sebagaimana yang dikutip Alwi Shahab, 2008, ia melukiskan bahwa “si Pitung berdasarkan cerita ibunya yang pernah bertemu langsung dengannya. Menurut ibunya, si Pitung perawakannya kecil. Wajah si Pitung sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan”.
Sementara mengenai kabar wafatnya si Pitung yang disebabkan oleh telur busuk dikisahkan Soekanto, S.A dalam bukunya yang berjudul “Hanya Sekali Kita Mati” yang didalamnya berisi tentang hikayat/cerita si Pitung. Dalam buku tersebut dikisahkan bahwa;
Si Pitung adalah seorang anak yang dilahirkan dari pasangan Piun dan Pinah. Seperti anak-anak Betawi pada umumnya, ia diajari tata krama, dan belajar mengaji. Si Pitung juga belajar ilmu silat kepada H. Naipin, seorang ulama yang juga mengajari si Pitung mengaji.
Saat berusia remaja, si Pitung terlibat insiden perkelahian dengan preman-preman pasar yang juga berprofesi sebagai perampok. Setelah kejadian itu, si Pitung memutuskan untuk merampok rumah-rumah tuan tanah yang melakukan penindasan terhadap rakyat kecil. Dia dibantu oleh Ji‟ih dan juga Rais sebagai penghubung dia dengan kampungnya.
Sejak saat itu, si Pitung dan Ji‟ih melakukan aksi perampokan terhadap rumah orang-orang kaya dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin dan lemah yang saat itu sedang ditindas oleh pemerintahan Belanda. Si Pitung juga menjadi terkenal akan kehebatannya dalam ilmu silat dan juga tubuhnya yang kebal akan peluru.
Para tuan tanah dan orang-orang kaya yang memihak kepada Belanda pun menjadi tidak tentram dan melaporkan hal ini kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda pun mengutus Schout Heyne untuk menangkap si Pitung. Berbagai cara dipakai oleh Schout Heyne dan anak buahnya, namun gagal. Si Pitung dan kawan-kawannya selalu berhasil meloloskan diri.
Schout Heyne tidak kehilangan akal, dia mempunyai ide licik untuk menangkap si Pitung. Dia menyandera guru mengaji sekaligus guru silatnya, yaitu H. Naipin.
Heyne menyandera dan menyiksa H.Naipin dengan kejam. Dia dipaksa oleh Heyne untuk memberitahukan kelemahan si Pitung. Karena tidak tahan dengan siksaan yang berat, dengan terpaksa H. Naipin memberitahukan kelemahan si Pitung kepada Schout Heyne.
Setelah itu, Schout Heyne dan pasukannya menyergap si Pitung yang saat itu sedang bersembunyi di rumah kekasihnya, Aisah. Setelah itu, si Pitung dan kawan-kawannya terlibat pertarungan yang tidak seimbang.
Satu-persatu kawan-kawan si Pitung mulai roboh, yang tersisa tinggal si Pitung seorang. Lalu salah seorang dari pasukan Schout Heyne melemparkan telur busuk kepada si Pitung, disertai dengan tembakan kearah si Pitung. Kali ini, tubuhnya tidak kebal peluru lagi karena sudah dilempari telur busuk. Si Pitung pun tewas seketika.
Setelah itu, mayat si Pitung diseret dibawa oleh pasukan Schout Heyne, olehnya tidak ada seorang pun yang diperbolehkan menyentuh mayat si Pitung, karena mereka takut, warga akan menghidupkan kembali si Pitung dari kematiannya. Padahal niat warga hanya ingin menguburkan jasadnya secara islami. Bahkan jasad si Pitung yang sudah tidak bergerak, masih saja di tembaki oleh tentara Belanda. Mereka sangat takut apabila si Pitung bangkit lagi dari kematiannya. Padahal hal itu tidak akan terjadi.
Walaupun pada dasarnya si Pitung itu adalah perampok, namun yang dia lakukan adalah demi rakyat yang kesusahan karena penjajahan pemerintahan Belanda saat itu. Mereka tidak akan melupakan jasa-jasa si Pitung yang rela menempuh bahaya, demi membela mereka.
Cover Filem Si Pitung |
Dalam filem si Pitung digambarkan gagah, sementara faktanya kerempeng. Dalam filem si Pitung terbunuh karena peluru emas setelah jimatnya dicuri teman seperguruannya sementara dalam cerita rakyat si Pitung terbunuh karena dilempari telur busuk kemudian di tembak.
Meskipun demikian penulis tentu tidak menyalahkan filem si Pitung karena memang sebuah filem itukan punya tujuan komersil, jadi jagoan itu bagamanapun harus ditampilkan segagah mungkin supaya dapat menarik penonton.
Penulis : Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Posting Komentar untuk "Si Pitung Ternyata Krempeng dan Wafat Karena Telur Busuk"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.