Kontroversi Asal-Usul Madrais, Nabi Pendiri Agama Djawa Soenda
Agama Djawa Soenda didalamnya memiliki ajaran utama, yaitu Syahadat. Namun Syahadat yang ada didalamnya berbeda dengan syahadatnya orang Islam. Syahadat Agama Djawa Soenda berbunyi “ tidak Ada tuhan melainkan Allah dan Madrais ialah Rosullah”. Rosullah menurut ajaran Madrais bukan berarti utusan Allah, tetapi Rosulullah artinya rasa sejati. Madrais artinya bukan nama orang tetapi hakikat dari nama tersebut ialah cahaya sejati[1].
Begitulah salah satu ajaran utama Agama Djawa Soenda, yaitu suatu pernyataan kesaksian diri bahwa Madrais adalah seorang Nabi, meskipun belakangan, oleh orang-orang dari ajaran itu makna Syahadat yang terkandung didalamnya sudah sengaja dikaburkan.
Agama Djawa Soenda yang didirikan pada 6 Oktober 1925 itu tidak hanya menuai kotroversi dari sisi ajarannya saja, melainkan juga dalam pribadi Pendirinya. Asal-usul Madrais saling tabrak antara pendapat satu dengan yang lainnya, ada yang menggap Madrais anak haram dari Bangsawan Kepangeranan Gebang, ada juga yang mengangap anak sah. Meskipun demikian keduanya sepakat bahwa Madrais Keturunan Sunan Gunung Jati.
Berikut adalah bahasan mengenai Kontroversi Asal-Usul Madrais[2];
Madrais adalah seorang keturunan bangsawan yang berasal dari keraton Gebang. Nama aslinya adalah Sadewa Alibassa Koesoema Widjajaningrat, tiga kata nama tambahan di belakangnya berasal dari nama ayahnya. Nama lain dari Madrais adalah Kusuma Adiningrat, Suryanata, Taswan dan juga Rama Panyipta, walaupun begitu ia lebih tersohor dengan nama Madrais.
Sadewa adalah putra dari Pangeran Gebang yang bernama Alibassa Koesoema Widjajaningrat bersama seorang perempuan bernama Nyi Kastewi asal Susukan Ciawigebang yang merupakan seorang keturunan dari Tumenggung Jayadipura dari Lebakwangi.
Madrais lahir pada tahun 1822, Sejak pertama kali melihat dunia, Madrais sudah menjadi seorang anak yatim karena Pangeran Alibassa telah meninggal jauh ketika Madrais masih berada di dalam kandungan Nyi Kastewi.
Madrais memiliki darah bangsawan. Ia adalah salah satu keturunan dari anggota Walisongo yang memiliki pengaruh yang sangat besar di tanah PaSoendan, yaitu Sunan Gunung Djati. Ia dikisahkan lahir dari keturunan Pangeran Pasarean, Pangeran ini merupakan salah satu anak dari Sunan Gunung Jati.
Baca Juga: Keturunan Sunan Gunung Jati Dari Istri-Istrinya
Kelahiran Madrais yang jauh dari Kematian ayahnya membuat status Madrais sebagai anak Pangeran Alibassa pun dipertanyakan oleh banyak orang, terutama oleh orang yang membencinya.
Sehubungan dengan hal itu, kontroversi pun bergulir dan masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang berseberangan pendapat, ada yang menganggap Madrais secara positif sebagai anak yang sah dari sang Pangeran Gebang namun adapula yang memandangnya secara negatif sehingga menyangsikan kebenarannya dan menyebut Madrais sebagai anak haram.
Isu negatif mengenai status Madrais itu berasal dari cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut mengenai hubungan terlarang yang terjalin di antara kedua orang tuanya, Pangeran Alibassa dan Nyi Kastewi.
Kisah keduanya bermula pada dasawarsa awal abad ke-19, saat kekuasaan Keraton Gebang masih tegak berdiri menguasai wilayah Ciawigebang.
Pada masa itu, setiap desa yang berada di bawah kekuasaan dan otoritas Kepangeranan Gebang diharuskan untuk mengutus salah satu warga laki-lakinya guna mengabdi dan melakukan berbagai macam pekerjaan di tempat atau kediaman sang penguasa di Keraton Gebang.
Hingga suatu waktu, dengan alasan yang masih kabur dan belum jelas, entah kenapa tidak ada pria dari daerah asal Nyi Kastewi, yaitu desa Susukan, yang bisa menunaikan tugas kerja bakti di Gebang. Jelas kelalaian ini bisa mengundang kemarahan penguasa Gebang pada seluruh masyarakat Susukan.
Oleh karena itu, guna mengantisipasi murka sang penguasa, kepala desa Susukan mengeluarkan keputusan yang tidak wajar dengan mengirim seorang janda cantik bernama Nyi Kastewi sebagai pengganti utusan desa yang berkewajiban mengabdi di keraton Gebang.
Selain sebagai pekerja yang memang rutin dikirim dalam jangka waktu tertentu, Nyi Kastewi juga berperan sebagai niat dan bukti dari permintaan maaf masyarakat Susukan terhadap Gebang.
Meski hal itu bisa dianggap sebagai kejadian yang aneh dan benar-benar di luar kebiasaan bagi seluruh khalayak masyarakat luas, nyatanya Pangeran Alibassa menerima permintaan maat tersebut dan sama sekali tidak mengeluarkan hukuman untuk masyarakat Susukan.
Di Gebang, Nyi Kastewi mendapat perlakuan yang istimewa dan berbeda. Tidak seperti abdi-abdi lainnya yang memang ditempatkan di sebuah ruangan khusus untuk para pekerja di luar istana, Nyi Kastewi justru ditempatkan di tempat tinggal wanita-wanita yang berada di lingkungan dalam keraton.
Hal itu bisa terjadi karena ternyata Pangeran Alibassa tertarik dan menaruh hati pada janda cantik nan anggun itu. Selang berapa lama, sang pangeran tidak dapat menahan diri lagi dan kemudian menyatakan isi hatinya.
Sebagai seorang abdi yang tidak memiliki daya sama sekali, Kastewi berada dalam posisi yang sangat sulit karena tidak bisa menolak mentah-mentah pernyataan penguasa Gebang itu. Setelah itu, hubungan di antara keduanya terus berjalan dan semakin erat.
Lama kelamaan, Pangeran Alibassa mulai tergoda dan terhanyut oleh lembutnya cinta Nyi Kastewi. Kecantikan dan pesona sang nyai Susukan dapat membuat jiwa Pangeran Gebang bergelora ganas sehingga kemudian ia berani merayu sang janda agar bersedia untuk memenuhi hasrat syahwatnya. Akhirnya, hubungan terlarang itu terjadi dan Kastewi pun mengandung.
Tindakan yang telah dilakukan oleh keduanya merupakan sebuah pelanggaran hukum dan hal yang sangat tercela di masa itu. Sesuai dengan hukum Islam yang digunakan dalam pengadilan, maka para pelaku tindakan asusila seperti yang telah dilakukan keduanya harus diganjar dengan hukuman yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Islam, yaitu hukum cambuk.
Untuk menghindari hukuman dan juga rasa malu dari rakyatnya, Alibassa pun segera memutar otak dan mencari siasat hingga akhirnya ia menemukan solusi berupa pernyataan kehamilan ajaib Nyi Kastewi. Melalui pernyataan yang dibumbui dengan bumbu mistis dan hal yang irasonal itu, keadaan Nyi Kastewi yang telah mengandung dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Gebang sebagai suatu hal yang menakjubkan.
Rencana tersebut dapat berjalan dengan baik karena sebelumnya Pangeran Alibassa telah memerintahkan Nyi Kastewi untuk bepergian ke sejumlah tempat yang angker dan melakukan ritual-ritual mistik disana sehingga memiliki kesan bahwa ia telah dihamili oleh kekuatan supranatural yang ada di tempat-tempat angker tersebut.
Sebagai perlindungan, agar Nyi Kastewi dan calon anaknya itu benar-benar terjaga dengan baik, maka pangeran Alibassa meminta salah satu bawahannya, Ki Sastrawardana yang merupakan kepala desa Cigugur, untuk menikahi Kastewi meskipun pada saat itu Ki Kuwu sebenarnya telah memiliki istri yang sah.
Terkait pandangan negatif terhadap status Madrais ini, Kartapradja mengungkapkan riwayat lain yang menyebutkan bahwa Madrais adalah anak dari seorang pangeran keturunan sultan di Cirebon dengan selirnya (istri yang dikawin sah tetapi diakui sebagai istri tak resmi) di salah suatu desa kecamatan Losari, Cirebon.
Setelah keduanya menjalin kasih dan kemudian sang selir mengandung, si pangeran pergi dan tidak pernah datang kembali ke rumah selirnya itu. Akibatnya, pangeran itu tidak tahu dan tidak mengenali anaknya, begitupun juga sebaliknya, Sadewa atau Madrais tidak mengetahui dengan benar siapa ayah kandungnya.
Isu Madrais sebagai anak haram tersebut mencuat ke permukaan ketika Madrais dan komunitas yang didirikannya dianggap sebagai kelompok yang memiliki ajaran yang anti- Islam. Padahal pada masa itu Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk sekitar Cigugur, bahkan sebagian besar pengikut Madrais pun berasal dari kalangan umat muslim yang memisahkan diri dan memilih untuk bergabung dengan Madrais.
Sementara itu, di sisi yang berlawanan, keturunan dan pengikut Madrais mempunyai uraian cerita yang benar-benar berbeda dengan versi yang pertama tadi.
Mereka mengklaim bahwa Madrais adalah anak sah dari pernikahan Ratu Kastewi yang merupakan keturunan kelima dari Tumenggung Jayadipura asal Susukan dengan Pangeran Alibassa yang merupakan salah satu bangsawan keturunan Kepangeranan Gebang.
Dalam penjabarannya, Djatikusumah menjelaskan bahwa Madrais tidak dilahirkan di Gebang, melainkan di Susukan Ciawigebang. Menurutnya, gejolak politik yang terjadi di wilayah Gebang dan Cirebon membuat Madrais berpisah dengan ayahnya (Pangeran Alibassa).
Sebagai penguasa Gebang yang telah menjadi musuh pemerintah kolonial Belanda, Alibassa dan keluarganya terus menjadi incaran pihak kolonial.
Untuk keamanan dan keselamatan istri beserta calon anaknya, Pangeran Alibassa menitipkan Madrais kepada Ki Sastrawardana di desa Cigugur dengan amanat bahwa ketika dewasa nanti Madrais harus bisa meneruskan perjuangan yang telah dilakukan oleh para leluhurnya.
Perbedaan persepsi di antara kedua kelompok tersebut merupakan hal yang wajar terjadi karena memang keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.
Pihak yang memercayai isu negatif di atas merupakan orang-orang yang tidak menyukai gerakan sosial keagamaan Madrais dan mereka memiliki kepentingan untuk menentang dan menghancurkannya.
Sementara itu, orang-orang yang menyukai dan bahkan menjadi pengikut Madrais merupakan pihak yang memercayai dan meyakini bahwa isu-isu positif selalu mengitari junjungannya tersebut.
Saat Madrais dititipkan kepada Ki Sastrawardana, Madrais kecil yang awalnya memiliki nama Sadewa pun diberi nama kecil Taswan. Ia tinggal dan hidup di daerah Cigugur sampai berusia10 tahun.
Setelah itu, ayah Nyi Kastewi atau kakeknya, mengambil alih tanggung jawab pengurusan Madrais dari Ki Kuwu Cigugur. Sebagai guru mengaji di Lebakwangi, kakeknya itu membesarkan Madrais dengan pendidikan dan nilai-nilai keagamaan yang kuat.
Pada saat ia tinggal di kediaman kakeknya itu, nama Muhammad Rais disematkan kepadanya. Namun karena nama itu terlalu panjang dan sulit disebutkan bila dijadikan nama panggilan, maka untuk mempermudah hal itu orang-orang di sekitarnya lebih sering menyingkat nama Muhammad Rais yang sangat islami itu menjadi Madrais.
Begitulah mengenai asal-usul Madrais sang Nabi Pendiri Agama Djawa Soenda, Agama itu sendiri nantinya didirikan oleh Madrais setalah ia menytakan diri keluar dari Islam, Agama Dajawa Soenda pada masa pemerintah Kolonial Belanda kedudukannya sama seperti agama-agama lainnya.
Baca Juga: Madrais Nabi Dari Cirebon, Pendiri Agama Djawa Soenda (ADS)
Didalam agama yang didirikan Madrais itu kelak melahirkan ajaran-ajaran yang sama sekali berbeda dengan agama yang dahulu dianutnya, diantaranya perbedaan dalam hukum sunat, pernikahan dan kematian.
Baca Juga: Hukum Sunat, Pernikahan dan Kematian dalam Agama Dajawa Soenda (ADS)
Daftar Bacaan:
[1]. Prof. Kamil Kartapraja. hlm 132 dalam Roro Sri Rejeki Waluyajati. Agama Djawa Soenda (ADS). Jurnal. Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2017
[2] Tendi. 2015. Sejarah Agama Djawa Soenda Di Cigugur Kuningan 1939-1964. Tesis. Sejarah Dan Peradaban Islam Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Begitulah salah satu ajaran utama Agama Djawa Soenda, yaitu suatu pernyataan kesaksian diri bahwa Madrais adalah seorang Nabi, meskipun belakangan, oleh orang-orang dari ajaran itu makna Syahadat yang terkandung didalamnya sudah sengaja dikaburkan.
Agama Djawa Soenda yang didirikan pada 6 Oktober 1925 itu tidak hanya menuai kotroversi dari sisi ajarannya saja, melainkan juga dalam pribadi Pendirinya. Asal-usul Madrais saling tabrak antara pendapat satu dengan yang lainnya, ada yang menggap Madrais anak haram dari Bangsawan Kepangeranan Gebang, ada juga yang mengangap anak sah. Meskipun demikian keduanya sepakat bahwa Madrais Keturunan Sunan Gunung Jati.
Berikut adalah bahasan mengenai Kontroversi Asal-Usul Madrais[2];
Madrais adalah seorang keturunan bangsawan yang berasal dari keraton Gebang. Nama aslinya adalah Sadewa Alibassa Koesoema Widjajaningrat, tiga kata nama tambahan di belakangnya berasal dari nama ayahnya. Nama lain dari Madrais adalah Kusuma Adiningrat, Suryanata, Taswan dan juga Rama Panyipta, walaupun begitu ia lebih tersohor dengan nama Madrais.
Sadewa adalah putra dari Pangeran Gebang yang bernama Alibassa Koesoema Widjajaningrat bersama seorang perempuan bernama Nyi Kastewi asal Susukan Ciawigebang yang merupakan seorang keturunan dari Tumenggung Jayadipura dari Lebakwangi.
Madrais lahir pada tahun 1822, Sejak pertama kali melihat dunia, Madrais sudah menjadi seorang anak yatim karena Pangeran Alibassa telah meninggal jauh ketika Madrais masih berada di dalam kandungan Nyi Kastewi.
Madrais memiliki darah bangsawan. Ia adalah salah satu keturunan dari anggota Walisongo yang memiliki pengaruh yang sangat besar di tanah PaSoendan, yaitu Sunan Gunung Djati. Ia dikisahkan lahir dari keturunan Pangeran Pasarean, Pangeran ini merupakan salah satu anak dari Sunan Gunung Jati.
Baca Juga: Keturunan Sunan Gunung Jati Dari Istri-Istrinya
Kelahiran Madrais yang jauh dari Kematian ayahnya membuat status Madrais sebagai anak Pangeran Alibassa pun dipertanyakan oleh banyak orang, terutama oleh orang yang membencinya.
Sehubungan dengan hal itu, kontroversi pun bergulir dan masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang berseberangan pendapat, ada yang menganggap Madrais secara positif sebagai anak yang sah dari sang Pangeran Gebang namun adapula yang memandangnya secara negatif sehingga menyangsikan kebenarannya dan menyebut Madrais sebagai anak haram.
Isu negatif mengenai status Madrais itu berasal dari cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut mengenai hubungan terlarang yang terjalin di antara kedua orang tuanya, Pangeran Alibassa dan Nyi Kastewi.
Kisah keduanya bermula pada dasawarsa awal abad ke-19, saat kekuasaan Keraton Gebang masih tegak berdiri menguasai wilayah Ciawigebang.
Pada masa itu, setiap desa yang berada di bawah kekuasaan dan otoritas Kepangeranan Gebang diharuskan untuk mengutus salah satu warga laki-lakinya guna mengabdi dan melakukan berbagai macam pekerjaan di tempat atau kediaman sang penguasa di Keraton Gebang.
Hingga suatu waktu, dengan alasan yang masih kabur dan belum jelas, entah kenapa tidak ada pria dari daerah asal Nyi Kastewi, yaitu desa Susukan, yang bisa menunaikan tugas kerja bakti di Gebang. Jelas kelalaian ini bisa mengundang kemarahan penguasa Gebang pada seluruh masyarakat Susukan.
Oleh karena itu, guna mengantisipasi murka sang penguasa, kepala desa Susukan mengeluarkan keputusan yang tidak wajar dengan mengirim seorang janda cantik bernama Nyi Kastewi sebagai pengganti utusan desa yang berkewajiban mengabdi di keraton Gebang.
Selain sebagai pekerja yang memang rutin dikirim dalam jangka waktu tertentu, Nyi Kastewi juga berperan sebagai niat dan bukti dari permintaan maaf masyarakat Susukan terhadap Gebang.
Meski hal itu bisa dianggap sebagai kejadian yang aneh dan benar-benar di luar kebiasaan bagi seluruh khalayak masyarakat luas, nyatanya Pangeran Alibassa menerima permintaan maat tersebut dan sama sekali tidak mengeluarkan hukuman untuk masyarakat Susukan.
Di Gebang, Nyi Kastewi mendapat perlakuan yang istimewa dan berbeda. Tidak seperti abdi-abdi lainnya yang memang ditempatkan di sebuah ruangan khusus untuk para pekerja di luar istana, Nyi Kastewi justru ditempatkan di tempat tinggal wanita-wanita yang berada di lingkungan dalam keraton.
Hal itu bisa terjadi karena ternyata Pangeran Alibassa tertarik dan menaruh hati pada janda cantik nan anggun itu. Selang berapa lama, sang pangeran tidak dapat menahan diri lagi dan kemudian menyatakan isi hatinya.
Sebagai seorang abdi yang tidak memiliki daya sama sekali, Kastewi berada dalam posisi yang sangat sulit karena tidak bisa menolak mentah-mentah pernyataan penguasa Gebang itu. Setelah itu, hubungan di antara keduanya terus berjalan dan semakin erat.
Lama kelamaan, Pangeran Alibassa mulai tergoda dan terhanyut oleh lembutnya cinta Nyi Kastewi. Kecantikan dan pesona sang nyai Susukan dapat membuat jiwa Pangeran Gebang bergelora ganas sehingga kemudian ia berani merayu sang janda agar bersedia untuk memenuhi hasrat syahwatnya. Akhirnya, hubungan terlarang itu terjadi dan Kastewi pun mengandung.
Tindakan yang telah dilakukan oleh keduanya merupakan sebuah pelanggaran hukum dan hal yang sangat tercela di masa itu. Sesuai dengan hukum Islam yang digunakan dalam pengadilan, maka para pelaku tindakan asusila seperti yang telah dilakukan keduanya harus diganjar dengan hukuman yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Islam, yaitu hukum cambuk.
Untuk menghindari hukuman dan juga rasa malu dari rakyatnya, Alibassa pun segera memutar otak dan mencari siasat hingga akhirnya ia menemukan solusi berupa pernyataan kehamilan ajaib Nyi Kastewi. Melalui pernyataan yang dibumbui dengan bumbu mistis dan hal yang irasonal itu, keadaan Nyi Kastewi yang telah mengandung dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Gebang sebagai suatu hal yang menakjubkan.
Rencana tersebut dapat berjalan dengan baik karena sebelumnya Pangeran Alibassa telah memerintahkan Nyi Kastewi untuk bepergian ke sejumlah tempat yang angker dan melakukan ritual-ritual mistik disana sehingga memiliki kesan bahwa ia telah dihamili oleh kekuatan supranatural yang ada di tempat-tempat angker tersebut.
Sebagai perlindungan, agar Nyi Kastewi dan calon anaknya itu benar-benar terjaga dengan baik, maka pangeran Alibassa meminta salah satu bawahannya, Ki Sastrawardana yang merupakan kepala desa Cigugur, untuk menikahi Kastewi meskipun pada saat itu Ki Kuwu sebenarnya telah memiliki istri yang sah.
Terkait pandangan negatif terhadap status Madrais ini, Kartapradja mengungkapkan riwayat lain yang menyebutkan bahwa Madrais adalah anak dari seorang pangeran keturunan sultan di Cirebon dengan selirnya (istri yang dikawin sah tetapi diakui sebagai istri tak resmi) di salah suatu desa kecamatan Losari, Cirebon.
Setelah keduanya menjalin kasih dan kemudian sang selir mengandung, si pangeran pergi dan tidak pernah datang kembali ke rumah selirnya itu. Akibatnya, pangeran itu tidak tahu dan tidak mengenali anaknya, begitupun juga sebaliknya, Sadewa atau Madrais tidak mengetahui dengan benar siapa ayah kandungnya.
Isu Madrais sebagai anak haram tersebut mencuat ke permukaan ketika Madrais dan komunitas yang didirikannya dianggap sebagai kelompok yang memiliki ajaran yang anti- Islam. Padahal pada masa itu Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk sekitar Cigugur, bahkan sebagian besar pengikut Madrais pun berasal dari kalangan umat muslim yang memisahkan diri dan memilih untuk bergabung dengan Madrais.
Sementara itu, di sisi yang berlawanan, keturunan dan pengikut Madrais mempunyai uraian cerita yang benar-benar berbeda dengan versi yang pertama tadi.
Mereka mengklaim bahwa Madrais adalah anak sah dari pernikahan Ratu Kastewi yang merupakan keturunan kelima dari Tumenggung Jayadipura asal Susukan dengan Pangeran Alibassa yang merupakan salah satu bangsawan keturunan Kepangeranan Gebang.
Dalam penjabarannya, Djatikusumah menjelaskan bahwa Madrais tidak dilahirkan di Gebang, melainkan di Susukan Ciawigebang. Menurutnya, gejolak politik yang terjadi di wilayah Gebang dan Cirebon membuat Madrais berpisah dengan ayahnya (Pangeran Alibassa).
Sebagai penguasa Gebang yang telah menjadi musuh pemerintah kolonial Belanda, Alibassa dan keluarganya terus menjadi incaran pihak kolonial.
Untuk keamanan dan keselamatan istri beserta calon anaknya, Pangeran Alibassa menitipkan Madrais kepada Ki Sastrawardana di desa Cigugur dengan amanat bahwa ketika dewasa nanti Madrais harus bisa meneruskan perjuangan yang telah dilakukan oleh para leluhurnya.
Perbedaan persepsi di antara kedua kelompok tersebut merupakan hal yang wajar terjadi karena memang keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.
Pihak yang memercayai isu negatif di atas merupakan orang-orang yang tidak menyukai gerakan sosial keagamaan Madrais dan mereka memiliki kepentingan untuk menentang dan menghancurkannya.
Sementara itu, orang-orang yang menyukai dan bahkan menjadi pengikut Madrais merupakan pihak yang memercayai dan meyakini bahwa isu-isu positif selalu mengitari junjungannya tersebut.
Saat Madrais dititipkan kepada Ki Sastrawardana, Madrais kecil yang awalnya memiliki nama Sadewa pun diberi nama kecil Taswan. Ia tinggal dan hidup di daerah Cigugur sampai berusia10 tahun.
Setelah itu, ayah Nyi Kastewi atau kakeknya, mengambil alih tanggung jawab pengurusan Madrais dari Ki Kuwu Cigugur. Sebagai guru mengaji di Lebakwangi, kakeknya itu membesarkan Madrais dengan pendidikan dan nilai-nilai keagamaan yang kuat.
Pada saat ia tinggal di kediaman kakeknya itu, nama Muhammad Rais disematkan kepadanya. Namun karena nama itu terlalu panjang dan sulit disebutkan bila dijadikan nama panggilan, maka untuk mempermudah hal itu orang-orang di sekitarnya lebih sering menyingkat nama Muhammad Rais yang sangat islami itu menjadi Madrais.
Begitulah mengenai asal-usul Madrais sang Nabi Pendiri Agama Djawa Soenda, Agama itu sendiri nantinya didirikan oleh Madrais setalah ia menytakan diri keluar dari Islam, Agama Dajawa Soenda pada masa pemerintah Kolonial Belanda kedudukannya sama seperti agama-agama lainnya.
Baca Juga: Madrais Nabi Dari Cirebon, Pendiri Agama Djawa Soenda (ADS)
Didalam agama yang didirikan Madrais itu kelak melahirkan ajaran-ajaran yang sama sekali berbeda dengan agama yang dahulu dianutnya, diantaranya perbedaan dalam hukum sunat, pernikahan dan kematian.
Baca Juga: Hukum Sunat, Pernikahan dan Kematian dalam Agama Dajawa Soenda (ADS)
Daftar Bacaan:
[1]. Prof. Kamil Kartapraja. hlm 132 dalam Roro Sri Rejeki Waluyajati. Agama Djawa Soenda (ADS). Jurnal. Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2017
[2] Tendi. 2015. Sejarah Agama Djawa Soenda Di Cigugur Kuningan 1939-1964. Tesis. Sejarah Dan Peradaban Islam Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Posting Komentar untuk "Kontroversi Asal-Usul Madrais, Nabi Pendiri Agama Djawa Soenda "
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.