Sejarah Desa Babakan Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon
Sejarah Desa Babakan- Babakan adalah salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, desa ini merupakan desa yang paling maju secara pendidikan dan Ekonomi di Kecamatan Ciwaringin, mengingat di Desa ini terdapat puluhan Pesantren, di desa ini juga dapat dijumpai lembaga-lembaga pendidikan dari mulai TK hingga Perguruan Tinggi.
Sementara itu banyaknya santri baik yang datang dari Cirebon maupun luar Kota Cirebon ini yang kemudian menjadikan perputaran ekonomi di Desa itu menjadi Kencang, sebab menurut perkiraan, santri-santri yang modok maupun yang sekolah di Babakan ini jumlahnya kurang lebih 10.000 orang.
Babakan sebagai sebuah pemerintah desa didirikan pada tahun 1773, sebab pada tahun ini Babakan memisahkan diri dari desa Induknya yaitu Desa Budur.
Meskipun Babakan telah mempunyai pemerintahan sendiri akan tetapi desa Babakan baru memiliki Kuwu sendiri pada tahun 1798, sebelum tahun itu Babakan masih diperintah pejabat tertentu yang ditunjuk pemerintah Kolonial.
Kuwu Babakan pertama yang memerintah pada tahun 1798 itu adalah Kuwu Surmi, beliau menjabat sebagai Kuwu pertama desa itu hingga tahun 1830.
Sementara itu, ditinjau dari kemuculan Babakan sebagai sebuah wilayah yang ditempati manusia hingga kemudian dinamakan Babakan ternyata dikait-kaitkan dengan Syekh Siti Jenar, adapun Babakan menjelma menjadi sebuah perkampungan pesantren dihubung-hubungkan dengan penyebar Agama Islam yang bernama Kiai Jatira.
Menurut legendanya, dahulu Syekh Siti Jenar dalam rangka membangun Masjid Agung Cirebon mengambil pohon jatinya dari daerah yang Kini dinamai Desa Babakan, Pohon Jati tempat sisa-sisa tebangan Syekh Siti Jenar itu dikisahkan kemudian bertahan hidup hingga masa penjajahan Belanda. Sisa-sisa tebangan dalam bahasa Cirebon itu disebut Babakan, maka tempat dimana dahulu Syekh Siti Jenar menebang pohon Jati itu dikenal dengan nama “Babakan”.
Selepas peristiwa kedatangan Syekh Siti jenar di daerah itu, lambat laun sedikit demi sedikit masyarakat akhirnya menempati daerah babakan, meskipun demikian pada umumnya waktu itu Babakan masih dalam bentuk Hutan Jati.
Pada tahun 1705 sorang penyebar Agama Islam dari Desa Pamijahan Cirebon bernama Syekh Hasanudin memasuki Babakan, di Babakan Syekh Hasanudin sengaja membuat semacam pedukuhan, sebagai markas untuk menyebarkan Agama Islam kepada rakyat Budur yang kala itu masih menolak Islam.
Syekh Hasanudian membangun mushola dan pondok sederhana di babakan, uniknya letak Masjid yang didiriakan Syekh Hasanudin ini didepannya terdapat dua Pohon Jati yang dihubung-hubungkan dengan sisa-sia pohon Jati yang tidak ditebang Syekh Siti Jenar beratus-ratus tahun yang lalu.
Selain sebagi pengajar agama, Syekh Hasanudin juga dikisahkan bertani, dan selepas berdakwah dan bertani Syekh Hasanudin ini biasa merebahkan badanya dibawah pohon dua pohon Jati yang tumpuh tepat didepan Mushala, dari seringnya melakukan kegiatan itu, santri-santrinya kemudian memanggilnya Kiai Jatira, maksudnya Kia yang sering beristrahat di dua pohon jati. Dari situlah awal mula munculnya sebutak Kiai/Ki Jatira.
Pondok dan Mushala yang dibangun Kiai Jatira itu adalah cikal bakal dari berdirinya Pesantren Babakan, lambat laun pesantren yang didirikan Kiai Jatira itu kemudian makin maju saja, sebab banyak didatangi para santri untuk menutut ilmu Islam.
Pada masa-masa selanjutnya, Kiai Jatira rupanya berkonflik dengan Belanda, Kiai Jatira dianggap merencanakan pemberontakan pada Belanda, sehingga untuk kemudian Belanda menyerang Pesantren dan membumi hanguskannya, peristiwa itu diperkirakann terjadi pada tahun 1718.
Menurut penduduk setempat, perang antara Belanda dan pengikut Kiai Jatira itu dikenal dengan nama “Perang Kiai Jatira” Dalam perang tersebut, Kiai Jatira dan beberapa santrinya selamat,dan mengungsi ke desa asalnya Kajen.
Setelah dirasa aman dari buruan Belanda, maka pada tahun 1721 Kiai Jatira datang lagi ke Babakan untuk meneruskan syiar Islamnya. Kedatangannya itu disambut gembira oleh masyarakat, kemudian tahun 1722 Kiai Jatira bersama-sama masyarakat membangun kembali pesantren yang telah hancur. Tempatnya dipindahkan kurang lebih ( ±) 400 Meter ke sebelah selatan dari pesantren yang lama.
Ketenaran dan keweibawaan Kiai Jatira melalui pesantren barunya itu kemudian tercium lagi oleh Belanda, Maka pada tahun 1751 serdadu Belanda kembali menyerang Pesantren Kiai Jatira. Alasan yang digunakan Belanda untuk membungkam para pengikut Kiai Jatira masih sama, yaitu memberontak pada Belanda.
Meskipun demikian, rencana Belanda untuk menyerang Pesantren ini rupanya telah ketahui oleh Kiai Jatira, sehingga sebelum Balanda datang terlebih dahulu Kiai Jatira membubarkan para santrinya, merekapun kemudian mengungsi lagi ke Desa Kajen, sambil menunggu situasi yang tepat untuk kembali lagi ke Babakan.
Setibanya di Babakan para serdadu Belanda rupanya mendapati pesantren dalam keadaan kosong, sehingga kemudian mereka melampiaskan kekeslanya dengan cara membakarnya, selepas itu mereka kemudian pulang kembali ke markasnya.
Waktu itu Kiai Jatirah sudah epuh sehingga ketika belau kembali lagi ke Kajen beliau sudah sakit-sakitan . Pada waktu sakit, beliau berpesan kepada keponakannya yang sekaligus menantunya yang bernama Nawawi untuk datang ke Babakan meneruskan perjuangannya mendirikan Pesantren dan mengajarkan agama Islam diwilayah itu. Pada tahun 1753 Kiai Jatira wafat dan dimakamkan di Desa kelahirannya sendiri yaitu di Desa Kajen Kecamatan Plumbon.
Pada tahun 1756, Kiai Nawawi berangkat ke Babakan, disana ia membangun sebuah mushala panggung yang sangat besar, bentuknya menyerupai masjid. Jaraknya kuang lebih (±) 300 meter ke arah selatan dari Pesantren Kiai Jatira yang kedua.
Pada tahun 1810, pada periode cucu Kiai Nawawi bernama Kiai Ismail, para santri mulai membangun tempatnya masing-masing yang dikenal dengan nama Pondokgede. Kiai Ismail wafat tahun 1916, pengasuh Pondokgede diteruskan oleh keponakannya yang juga menantunya bernama Kiai Muhamad Amin bin Irsyad yang dikenal dengan sebutan Kiai Amin Sepuh yang juga berasal dari Desa Pamijahan Kecamatan Plumbon.
Pada masa itu Pondokgede mencapai masa keemasan. Mushala yang dibangun Kiai Nawawi pada tahun 1769 resmi dijadikan masjid. Pondokgede akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatultholibin.
Keturunan Kiai dari Pondok Pesantren Raudlatultholibin itu, apakah dia anak-nak Kiai, menantu saudara dan lain sebagainya nantinya membangun beberapa pesantren di Babakan sehingga kemudian babakan menjelma menjadi kampung santri, Kini di Babakan diperkirakan terdapat lebih dari 37 Pesantren, baik pesantren kecil maupun pesantren besar.
Begitulah sejarah dari berdirinya desa Babakan Ciwaringin Cirebon, Desa yang kini terkenal karena didalamnya terdapat puluhan Pesantren yang mengajarkan nilai-nilai kesilaman secara hakiki. Hingga kini alumni Pesantren babakan sudah banyak menyebar di pelosok Indonesia, sebab santrinya dating dari berbagai kota, baik dari Jawa, luar Jawa bahkan ada juga yang dari luar Negara.
Baca Juga: Makam Kiyai Jatira Pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
Sementara itu banyaknya santri baik yang datang dari Cirebon maupun luar Kota Cirebon ini yang kemudian menjadikan perputaran ekonomi di Desa itu menjadi Kencang, sebab menurut perkiraan, santri-santri yang modok maupun yang sekolah di Babakan ini jumlahnya kurang lebih 10.000 orang.
Babakan sebagai sebuah pemerintah desa didirikan pada tahun 1773, sebab pada tahun ini Babakan memisahkan diri dari desa Induknya yaitu Desa Budur.
Meskipun Babakan telah mempunyai pemerintahan sendiri akan tetapi desa Babakan baru memiliki Kuwu sendiri pada tahun 1798, sebelum tahun itu Babakan masih diperintah pejabat tertentu yang ditunjuk pemerintah Kolonial.
Kuwu Babakan pertama yang memerintah pada tahun 1798 itu adalah Kuwu Surmi, beliau menjabat sebagai Kuwu pertama desa itu hingga tahun 1830.
Sementara itu, ditinjau dari kemuculan Babakan sebagai sebuah wilayah yang ditempati manusia hingga kemudian dinamakan Babakan ternyata dikait-kaitkan dengan Syekh Siti Jenar, adapun Babakan menjelma menjadi sebuah perkampungan pesantren dihubung-hubungkan dengan penyebar Agama Islam yang bernama Kiai Jatira.
Menurut legendanya, dahulu Syekh Siti Jenar dalam rangka membangun Masjid Agung Cirebon mengambil pohon jatinya dari daerah yang Kini dinamai Desa Babakan, Pohon Jati tempat sisa-sisa tebangan Syekh Siti Jenar itu dikisahkan kemudian bertahan hidup hingga masa penjajahan Belanda. Sisa-sisa tebangan dalam bahasa Cirebon itu disebut Babakan, maka tempat dimana dahulu Syekh Siti Jenar menebang pohon Jati itu dikenal dengan nama “Babakan”.
Selepas peristiwa kedatangan Syekh Siti jenar di daerah itu, lambat laun sedikit demi sedikit masyarakat akhirnya menempati daerah babakan, meskipun demikian pada umumnya waktu itu Babakan masih dalam bentuk Hutan Jati.
Pada tahun 1705 sorang penyebar Agama Islam dari Desa Pamijahan Cirebon bernama Syekh Hasanudin memasuki Babakan, di Babakan Syekh Hasanudin sengaja membuat semacam pedukuhan, sebagai markas untuk menyebarkan Agama Islam kepada rakyat Budur yang kala itu masih menolak Islam.
Syekh Hasanudian membangun mushola dan pondok sederhana di babakan, uniknya letak Masjid yang didiriakan Syekh Hasanudin ini didepannya terdapat dua Pohon Jati yang dihubung-hubungkan dengan sisa-sia pohon Jati yang tidak ditebang Syekh Siti Jenar beratus-ratus tahun yang lalu.
Selain sebagi pengajar agama, Syekh Hasanudin juga dikisahkan bertani, dan selepas berdakwah dan bertani Syekh Hasanudin ini biasa merebahkan badanya dibawah pohon dua pohon Jati yang tumpuh tepat didepan Mushala, dari seringnya melakukan kegiatan itu, santri-santrinya kemudian memanggilnya Kiai Jatira, maksudnya Kia yang sering beristrahat di dua pohon jati. Dari situlah awal mula munculnya sebutak Kiai/Ki Jatira.
Pondok dan Mushala yang dibangun Kiai Jatira itu adalah cikal bakal dari berdirinya Pesantren Babakan, lambat laun pesantren yang didirikan Kiai Jatira itu kemudian makin maju saja, sebab banyak didatangi para santri untuk menutut ilmu Islam.
Pada masa-masa selanjutnya, Kiai Jatira rupanya berkonflik dengan Belanda, Kiai Jatira dianggap merencanakan pemberontakan pada Belanda, sehingga untuk kemudian Belanda menyerang Pesantren dan membumi hanguskannya, peristiwa itu diperkirakann terjadi pada tahun 1718.
Menurut penduduk setempat, perang antara Belanda dan pengikut Kiai Jatira itu dikenal dengan nama “Perang Kiai Jatira” Dalam perang tersebut, Kiai Jatira dan beberapa santrinya selamat,dan mengungsi ke desa asalnya Kajen.
Setelah dirasa aman dari buruan Belanda, maka pada tahun 1721 Kiai Jatira datang lagi ke Babakan untuk meneruskan syiar Islamnya. Kedatangannya itu disambut gembira oleh masyarakat, kemudian tahun 1722 Kiai Jatira bersama-sama masyarakat membangun kembali pesantren yang telah hancur. Tempatnya dipindahkan kurang lebih ( ±) 400 Meter ke sebelah selatan dari pesantren yang lama.
Ketenaran dan keweibawaan Kiai Jatira melalui pesantren barunya itu kemudian tercium lagi oleh Belanda, Maka pada tahun 1751 serdadu Belanda kembali menyerang Pesantren Kiai Jatira. Alasan yang digunakan Belanda untuk membungkam para pengikut Kiai Jatira masih sama, yaitu memberontak pada Belanda.
Meskipun demikian, rencana Belanda untuk menyerang Pesantren ini rupanya telah ketahui oleh Kiai Jatira, sehingga sebelum Balanda datang terlebih dahulu Kiai Jatira membubarkan para santrinya, merekapun kemudian mengungsi lagi ke Desa Kajen, sambil menunggu situasi yang tepat untuk kembali lagi ke Babakan.
Setibanya di Babakan para serdadu Belanda rupanya mendapati pesantren dalam keadaan kosong, sehingga kemudian mereka melampiaskan kekeslanya dengan cara membakarnya, selepas itu mereka kemudian pulang kembali ke markasnya.
Waktu itu Kiai Jatirah sudah epuh sehingga ketika belau kembali lagi ke Kajen beliau sudah sakit-sakitan . Pada waktu sakit, beliau berpesan kepada keponakannya yang sekaligus menantunya yang bernama Nawawi untuk datang ke Babakan meneruskan perjuangannya mendirikan Pesantren dan mengajarkan agama Islam diwilayah itu. Pada tahun 1753 Kiai Jatira wafat dan dimakamkan di Desa kelahirannya sendiri yaitu di Desa Kajen Kecamatan Plumbon.
Pada tahun 1756, Kiai Nawawi berangkat ke Babakan, disana ia membangun sebuah mushala panggung yang sangat besar, bentuknya menyerupai masjid. Jaraknya kuang lebih (±) 300 meter ke arah selatan dari Pesantren Kiai Jatira yang kedua.
Pada tahun 1810, pada periode cucu Kiai Nawawi bernama Kiai Ismail, para santri mulai membangun tempatnya masing-masing yang dikenal dengan nama Pondokgede. Kiai Ismail wafat tahun 1916, pengasuh Pondokgede diteruskan oleh keponakannya yang juga menantunya bernama Kiai Muhamad Amin bin Irsyad yang dikenal dengan sebutan Kiai Amin Sepuh yang juga berasal dari Desa Pamijahan Kecamatan Plumbon.
Pada masa itu Pondokgede mencapai masa keemasan. Mushala yang dibangun Kiai Nawawi pada tahun 1769 resmi dijadikan masjid. Pondokgede akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatultholibin.
Keturunan Kiai dari Pondok Pesantren Raudlatultholibin itu, apakah dia anak-nak Kiai, menantu saudara dan lain sebagainya nantinya membangun beberapa pesantren di Babakan sehingga kemudian babakan menjelma menjadi kampung santri, Kini di Babakan diperkirakan terdapat lebih dari 37 Pesantren, baik pesantren kecil maupun pesantren besar.
Begitulah sejarah dari berdirinya desa Babakan Ciwaringin Cirebon, Desa yang kini terkenal karena didalamnya terdapat puluhan Pesantren yang mengajarkan nilai-nilai kesilaman secara hakiki. Hingga kini alumni Pesantren babakan sudah banyak menyebar di pelosok Indonesia, sebab santrinya dating dari berbagai kota, baik dari Jawa, luar Jawa bahkan ada juga yang dari luar Negara.
Baca Juga: Makam Kiyai Jatira Pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
Gaweane isun cah
BalasHapus