Hukum Sunat, Pernikahan dan Kematian dalam Agama Djawa Soenda (ADS)
Sebagai sebuah agama mandiri tentunya Agama Djawa Soenda memiliki hukum-hukum tertentu didalamnya, termasuk tata cara pelaksanaanya. Menanggapi kondisi manusia yang sifatnya lahir, dewasa dan mati, maka dalam hukum agama ini juga mengenal hukum sunat, pernikahan dan kematian.
Sunat berkaitan dengan lahir, sebab manusia yang baru lahir identik dengan disunat, pernikahan identik dengan kedewasaan sebab pribadi manusia yang menikah harus betul-betul dewasa, sementara kematian identik dengan matinya raga manusia menuju alam lainnya, sebab itulah dalam agama Djawa Soenda dikenal hukum mengenai sunat, pernikahan, dan kematian, namun sebagai sebuah agama, praktik-praktik mengnai hukum dan pelaksanaan ketiganya tentunya berbeda dengan agama lainnya.
Tindakan itu sama sekali tidak dianjurkan dalam kepercayaan Madrais karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan sangat sempurna, tidak perlu lagi ada yang dikurangi ataupun ditambahkan. Jika manusia melakukan praktek sunat, yang berarti tidak menjaga kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Para penghayat Agama Djawa Sunda (ADS) meyakini bahwa Gusti Kang Sawiji-Wiji atau Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan seluruh alam beserta isinya itu dengan sangat lengkap dan sempurna.
Manusia, sebagai salah satu ciptaan-Nya, diharuskan untuk menjaga apa yang telah diciptakan oleh Penguasa Alam ini agar terus lestari, terjaga sepanjang masa. Karena pada hakikatnya, alam itu adalah ladang yang lapang bagi manusia untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, manusia tidak diperkenankan untuk mengganggu atau bahkan merusaknya. Sebagai salah satu ciptaan Tuhan, manusia telah dianugerahi kesempurnaan, baik itu secara fisik maupun psikis.
Dengan demikian, orang yang melakukan sunat dianggap sebagai orang yang tidak dapat bersyukur dan juga sangat kufur.
Setelah secara resmi diakui oleh pemerintah kolonial pada 1925, para pemimpin dan pengikut ADS terus mengembangkan tata cara budaya paguron spiritual secara serius, salah satu tata cara yang digubah adalah mengenai pernikahan.
Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1927, regulasi lengkap mengenai pernikahan dalam lingkungan komunitas adat ADS berhasil diterbitkan. Dalam hal ini, beberapa aspek pernikahan telah ditentukan dengan cukup spesifik dan jelas, seperti makna pernikahan, tujuan mulianya, persyaratannya, dan juga prosedural pelaksanaannya.
Dalam adat dan tradisi ADS, pernikahan itu bertumpu pada apa yang disebut sebagai awal tunggal akhir jadi sawiji (awalnya satu, akhirnya jadi menyatu). Artinya, setiap manusia itu pada mulanya tunggal (satu atau sendiri) sebagai hamba Tuhan dan tunggal hirup (hidup sendiri) tetapi kemudian pada akhirnya ia akan menyatu dengan pasangannya masing-masing dalam kehidupan melalui suatu hukum dan hubungan batin yang terjalin.
Dalam ajaran ADS, pernikahan itu bukanlah semata- mata untuk menunaikan ibadah dan rasa cinta kepada Tuhan semata, namun juga jalan untuk memelihara keturunan manusia, menjaga keadaan alam semesta dan jalan untuk meraih kesempurnaan hidup.
Agar tujuan-tujuan itu dapat tercapai, pernikahan hendaknya memiliki dasar cinta yang sejati dan hakiki. Kedua pasangan yang akan membina rumah tangga, hendaknya menikah karena suka sama suka dan benar-benar saling mencintai, bukan karena haus akan kepentingan biologis, material ataupun motivasi dan dorongan untuk melakukan tindakan yang tidak mulia.
Setelah itu, kedua calon pengantin diharuskan meminta persetujuan kepada kedua orang tuanya masing-masing. Ketika sudah disetujui, maka mereka akan diwajibkan menjalani tradisi masar, yaitu masa saling mengenal yang sekurang-kurangnya adalah 100 hari. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kedua calon pasangan yang akan menikah itu jimah, tidak lagi berubah pikiran.
Masa-masa masar (pertunangan) semacam ini lebih baik dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, seperti bulan Syawal, Apit (Zulqaidah), Rayagung (Zulhijjah), Syuro (Muharram) dan Sapar. Maksudnya, agar pernikahan bisa dilaksanakan pada bulan Mulud (Rabiul Awal), yaitu bulan yang menurut ADS adalah bulan yang paling baik bagi kedua pasangan calon mempelai untuk menikah, menyatukan hati mereka dalam sebuah mahligai rumah tangga secara resmi.
Para penghayat kepercayaan ADS, tidak diperkenankan untuk mengikat janji suci perkawinan di depan seorang penghulu yang resmi ditunjuk pemerintah karena pemimpin upacara pernikahannya adalah penggawa khusus yang telah ditentukan oleh pimpinan ADS.
Pernikahan yang telah terbina itu biasanya bersifat langgeng karena dalam ADS tidak ada kata berpisah. Indrawardana menyebutkan bahwa orang yang telah menikah dalam lingkungan komunitas penghayat ADS, tidak diperkenankan sama sekali untuk bercerai sebab janji yang telah mereka ikrarkan untuk menikah adalah janji untuk selalu menjunjung kebersamaan, baik itu dalam suka maupun duka.
Salah satu ajaran uniknya adalah ketika ada seorang pengikut ADS yang akan meninggal, maka kawan-kawan yang menemaninya diharuskan untuk membantu kawannya yang sedang menghadapi sakaratul maut itu dengan mengatakan, “wajoh lawan”, yang artinya adalah “ayo lawan”.
Hal itu dilakukan sebagai motivasi agar orang yang hendak meninggal itu dapat menahan ajal dan tidak jadi meninggal. Namun jika ternyata orang tersebut malah meninggal dan tidak bisa memperlambat waktu meninggalnya itu, maka teman-teman yang menemaninya akan mengatakan, “hih, bet olehan”, yang artinya adalah “lo, tukang kalah”.
Setelah itu, mayat orang yang meninggal itu pun akan segera diurus penguburannya sesuai dengan ajaran yang digubah oleh sang pemimpin komunitas.
Setiap warga pengikut Agama Djawa Sunda (ADS) yang meninggal dunia, jenazahnya dibungkus dengan kain hitam, dimasukkan ke dalam peti mati kayu jati. Setelah dimasukkan ke dalam liang kubur, tempat peristirahatan jenazah itu ditaburi dengan arang, kapur dan beras di sekitar peti mati.
Posisi orang yang meninggal itu diatur dengan sedemikian rupa, dimana posisi kaki dan tangannya harus agak terlipat (mentongkrong), dan sebisanya makam dari jenazah itu tidak berada satu tempat dengan pemakaman umat beragama lain.
Segala barang yang ditaburkan dan hal yang dilakuan di dalam prosesi itu bukanlah sesuatu yang remeh dan sepele karena bagi mereka memiliki makna-makna yang sangat dalam.
Secara simbolis, kain hitam adalah lambang kegelapan, sebab dalam kepercayaan aliran kebatinan ini, orang mati dianggap sebagai orang yang pulang ke alam kegelapan. Untuk peti mati yang harus dibuat dari kayu jati, adalah simbol rasa sejati yang merupakan asal manusia.
Adapun beras yang ditaburkan merupakan perlambang dari hidup manusia yang memang sangat bergantung pada hasil bumi tanah tropis itu. Sedangkan arang merupakan simbol agar arwah yang telah meninggal dunia itu tidak lagi mengganggu orang-orang yang masih hidup di dunia.
Setelah meninggal dunia, manusia dipercaya telah kembali ke alam kegelapan karena di ruang tersebut tidak akan diketemukan satu kehidupan pun.
Kelanjutan nasib dari manusia yang telah berada di jagat peteng itu ditentukan oleh tindakan dan perbuatan yang dilakukannya semasa hidup di dunia. Apabila hidupnya dipenuhi dengan pelbagai macam perilaku positif, maka ia dapat kembali ke asalnya yakni rasa sejati.
Namun sebaliknya, apabila selama di dunia ia tidak pernah mau berpikir dan tidak melakukan kebaikan, maka posisi arwah orang yang meninggal itu tidak pernah tenang dan akan terus bergenyatangan untuk mengganggu orang-orang yang masih hidup. Agar hal itu tidak terjadi, maka dalam pandangan ajaran mereka, jenazah orang yang meninggal itu harus dikuburkan dengan taburan arang.
Setelah prosesi penguburan selesai, maka keluarga yang ditinggal mati dibawa ke gedung Paseban Tri Panca Tunggal dan disuruh untuk menghangatkan diri (siduru atau nabun) di depan Hawu Ageung yang berada di dalam keraton Madrais.
Tujuan dari tindakan itu adalah untuk mensucikan orang yang meninggal tadi agar rohnya dapat pergi dengan tenang dan lancar, serta agar arwahnya itu tidak dapat menganggu orang yang masih hidup.
Demikianlah hukum dan tata cara pelaksanaa sunat, pernikahan dan kematian didalam Agama Djawa Soenda yang dibawa oleh Madrais. Untuk dapat mengenal lebih dalam mengenai siapa itu Madrais dan bagaimana mula-mula ia mendirikan ADS, dapat anda baca dalam artil kami selanjutnya yang berjudul “Madrais Nabi Dari Cirebon, Pendiri Agama Djawa Soenda (ADS)"
Sunat berkaitan dengan lahir, sebab manusia yang baru lahir identik dengan disunat, pernikahan identik dengan kedewasaan sebab pribadi manusia yang menikah harus betul-betul dewasa, sementara kematian identik dengan matinya raga manusia menuju alam lainnya, sebab itulah dalam agama Djawa Soenda dikenal hukum mengenai sunat, pernikahan, dan kematian, namun sebagai sebuah agama, praktik-praktik mengnai hukum dan pelaksanaan ketiganya tentunya berbeda dengan agama lainnya.
Hukum Sunat Dalam Agama Djawa Soenda
Mengnai Sunat, atau memotong sebagaian kulit kemaluan dalam Agama Djawa Soenda tidak diperkenankan oleh pemimpinnya untuk melakukannya. Sunat (khitan) dalam kepercayaan Madrais adalah sama halnya dengan menghilangkan sebagian anggota tubuh manusia.Tindakan itu sama sekali tidak dianjurkan dalam kepercayaan Madrais karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan sangat sempurna, tidak perlu lagi ada yang dikurangi ataupun ditambahkan. Jika manusia melakukan praktek sunat, yang berarti tidak menjaga kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Para penghayat Agama Djawa Sunda (ADS) meyakini bahwa Gusti Kang Sawiji-Wiji atau Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan seluruh alam beserta isinya itu dengan sangat lengkap dan sempurna.
Manusia, sebagai salah satu ciptaan-Nya, diharuskan untuk menjaga apa yang telah diciptakan oleh Penguasa Alam ini agar terus lestari, terjaga sepanjang masa. Karena pada hakikatnya, alam itu adalah ladang yang lapang bagi manusia untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, manusia tidak diperkenankan untuk mengganggu atau bahkan merusaknya. Sebagai salah satu ciptaan Tuhan, manusia telah dianugerahi kesempurnaan, baik itu secara fisik maupun psikis.
Dengan demikian, orang yang melakukan sunat dianggap sebagai orang yang tidak dapat bersyukur dan juga sangat kufur.
Hukum Pernikahan Dalam Agama Djawa Soenda
Agama Djawa Sunda (ADS) memiliki tata cara tersendiri yang khas dalam pelaksanaan perayaan dan upacara pernikahan.Setelah secara resmi diakui oleh pemerintah kolonial pada 1925, para pemimpin dan pengikut ADS terus mengembangkan tata cara budaya paguron spiritual secara serius, salah satu tata cara yang digubah adalah mengenai pernikahan.
Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1927, regulasi lengkap mengenai pernikahan dalam lingkungan komunitas adat ADS berhasil diterbitkan. Dalam hal ini, beberapa aspek pernikahan telah ditentukan dengan cukup spesifik dan jelas, seperti makna pernikahan, tujuan mulianya, persyaratannya, dan juga prosedural pelaksanaannya.
Dalam adat dan tradisi ADS, pernikahan itu bertumpu pada apa yang disebut sebagai awal tunggal akhir jadi sawiji (awalnya satu, akhirnya jadi menyatu). Artinya, setiap manusia itu pada mulanya tunggal (satu atau sendiri) sebagai hamba Tuhan dan tunggal hirup (hidup sendiri) tetapi kemudian pada akhirnya ia akan menyatu dengan pasangannya masing-masing dalam kehidupan melalui suatu hukum dan hubungan batin yang terjalin.
Dalam ajaran ADS, pernikahan itu bukanlah semata- mata untuk menunaikan ibadah dan rasa cinta kepada Tuhan semata, namun juga jalan untuk memelihara keturunan manusia, menjaga keadaan alam semesta dan jalan untuk meraih kesempurnaan hidup.
Agar tujuan-tujuan itu dapat tercapai, pernikahan hendaknya memiliki dasar cinta yang sejati dan hakiki. Kedua pasangan yang akan membina rumah tangga, hendaknya menikah karena suka sama suka dan benar-benar saling mencintai, bukan karena haus akan kepentingan biologis, material ataupun motivasi dan dorongan untuk melakukan tindakan yang tidak mulia.
Setelah itu, kedua calon pengantin diharuskan meminta persetujuan kepada kedua orang tuanya masing-masing. Ketika sudah disetujui, maka mereka akan diwajibkan menjalani tradisi masar, yaitu masa saling mengenal yang sekurang-kurangnya adalah 100 hari. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kedua calon pasangan yang akan menikah itu jimah, tidak lagi berubah pikiran.
Masa-masa masar (pertunangan) semacam ini lebih baik dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, seperti bulan Syawal, Apit (Zulqaidah), Rayagung (Zulhijjah), Syuro (Muharram) dan Sapar. Maksudnya, agar pernikahan bisa dilaksanakan pada bulan Mulud (Rabiul Awal), yaitu bulan yang menurut ADS adalah bulan yang paling baik bagi kedua pasangan calon mempelai untuk menikah, menyatukan hati mereka dalam sebuah mahligai rumah tangga secara resmi.
Para penghayat kepercayaan ADS, tidak diperkenankan untuk mengikat janji suci perkawinan di depan seorang penghulu yang resmi ditunjuk pemerintah karena pemimpin upacara pernikahannya adalah penggawa khusus yang telah ditentukan oleh pimpinan ADS.
Pernikahan yang telah terbina itu biasanya bersifat langgeng karena dalam ADS tidak ada kata berpisah. Indrawardana menyebutkan bahwa orang yang telah menikah dalam lingkungan komunitas penghayat ADS, tidak diperkenankan sama sekali untuk bercerai sebab janji yang telah mereka ikrarkan untuk menikah adalah janji untuk selalu menjunjung kebersamaan, baik itu dalam suka maupun duka.
Hukum Kematian Dalam Agama Djawa Soenda
Untuk pengurusan orang-orang yang hendak meninggal dan juga pengurusan jenazahnya, Agama Djawa Sunda (ADS) memiliki tata caranya sendiri. Adat tradisinya yang khas membuat tata cara pengurusan hal-hal yang berhubungan dengan kematian para pengikutnya inipun berbeda dari tata cara yang umumnya dilakukan di wilayah Cigugur dan Kuningan yang didominasi oleh tradisi Islam.Salah satu ajaran uniknya adalah ketika ada seorang pengikut ADS yang akan meninggal, maka kawan-kawan yang menemaninya diharuskan untuk membantu kawannya yang sedang menghadapi sakaratul maut itu dengan mengatakan, “wajoh lawan”, yang artinya adalah “ayo lawan”.
Hal itu dilakukan sebagai motivasi agar orang yang hendak meninggal itu dapat menahan ajal dan tidak jadi meninggal. Namun jika ternyata orang tersebut malah meninggal dan tidak bisa memperlambat waktu meninggalnya itu, maka teman-teman yang menemaninya akan mengatakan, “hih, bet olehan”, yang artinya adalah “lo, tukang kalah”.
Setelah itu, mayat orang yang meninggal itu pun akan segera diurus penguburannya sesuai dengan ajaran yang digubah oleh sang pemimpin komunitas.
Setiap warga pengikut Agama Djawa Sunda (ADS) yang meninggal dunia, jenazahnya dibungkus dengan kain hitam, dimasukkan ke dalam peti mati kayu jati. Setelah dimasukkan ke dalam liang kubur, tempat peristirahatan jenazah itu ditaburi dengan arang, kapur dan beras di sekitar peti mati.
Posisi orang yang meninggal itu diatur dengan sedemikian rupa, dimana posisi kaki dan tangannya harus agak terlipat (mentongkrong), dan sebisanya makam dari jenazah itu tidak berada satu tempat dengan pemakaman umat beragama lain.
Segala barang yang ditaburkan dan hal yang dilakuan di dalam prosesi itu bukanlah sesuatu yang remeh dan sepele karena bagi mereka memiliki makna-makna yang sangat dalam.
Secara simbolis, kain hitam adalah lambang kegelapan, sebab dalam kepercayaan aliran kebatinan ini, orang mati dianggap sebagai orang yang pulang ke alam kegelapan. Untuk peti mati yang harus dibuat dari kayu jati, adalah simbol rasa sejati yang merupakan asal manusia.
Adapun beras yang ditaburkan merupakan perlambang dari hidup manusia yang memang sangat bergantung pada hasil bumi tanah tropis itu. Sedangkan arang merupakan simbol agar arwah yang telah meninggal dunia itu tidak lagi mengganggu orang-orang yang masih hidup di dunia.
Setelah meninggal dunia, manusia dipercaya telah kembali ke alam kegelapan karena di ruang tersebut tidak akan diketemukan satu kehidupan pun.
Kelanjutan nasib dari manusia yang telah berada di jagat peteng itu ditentukan oleh tindakan dan perbuatan yang dilakukannya semasa hidup di dunia. Apabila hidupnya dipenuhi dengan pelbagai macam perilaku positif, maka ia dapat kembali ke asalnya yakni rasa sejati.
Namun sebaliknya, apabila selama di dunia ia tidak pernah mau berpikir dan tidak melakukan kebaikan, maka posisi arwah orang yang meninggal itu tidak pernah tenang dan akan terus bergenyatangan untuk mengganggu orang-orang yang masih hidup. Agar hal itu tidak terjadi, maka dalam pandangan ajaran mereka, jenazah orang yang meninggal itu harus dikuburkan dengan taburan arang.
Setelah prosesi penguburan selesai, maka keluarga yang ditinggal mati dibawa ke gedung Paseban Tri Panca Tunggal dan disuruh untuk menghangatkan diri (siduru atau nabun) di depan Hawu Ageung yang berada di dalam keraton Madrais.
Tujuan dari tindakan itu adalah untuk mensucikan orang yang meninggal tadi agar rohnya dapat pergi dengan tenang dan lancar, serta agar arwahnya itu tidak dapat menganggu orang yang masih hidup.
Demikianlah hukum dan tata cara pelaksanaa sunat, pernikahan dan kematian didalam Agama Djawa Soenda yang dibawa oleh Madrais. Untuk dapat mengenal lebih dalam mengenai siapa itu Madrais dan bagaimana mula-mula ia mendirikan ADS, dapat anda baca dalam artil kami selanjutnya yang berjudul “Madrais Nabi Dari Cirebon, Pendiri Agama Djawa Soenda (ADS)"
Posting Komentar untuk "Hukum Sunat, Pernikahan dan Kematian dalam Agama Djawa Soenda (ADS)"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.