Nyi Ageng Serang, Panglima Laskar Merah Putih Penebas Kepala Belanda
Nyi Ageng Serang-Selain melahirkan pahlawan wanita yang lembut seperti Raden Ajeng Kartini, Jawa juga rupanya melahirkan pahlawan wanita yang garang seperti Singa Betina, pahlawan wanita itu bernama Nyi Ageng Serang. Beliau merupakan Panglima Perang Laskar Merah Putih, dari kudanya ia melesat menerobos barisan tentara Belanda sambil menebaskan pedang dan tombaknya, kemudian bergelimpangan tentara penjajah itu tanpa kepala, kisah perjuangannya itu terjadi pada tahun 1813-1825.
Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1752 di Serang yaitu suatu daerah yang kini masuk pada wilayah Kabupaten Purwodadi Jawa Tengah. Nama aslinya adalah Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Ayahnya merupakan kepala Pemerintahan di Serang, ayahnya merupakan seorang Ki Ageng (Semacam Camat Sekarang) bawahan Kesultanan Mataram.
Sejak kanak-kanak Nyi Ageng Serang meskipun wanita dididik oleh ayahnya dengan ilmu perang dan berkuda, maka ketika menginjak usia remja, ia sudah menjelma sebagai wanita yang pendai silat dan trampil dalam memainkan senjata serta tangkas dalam berkuda.
Pada saat kelahirannya (1752), di Kesultanan Mataram meletus pemberontakan besar yang digagas Pangeran Mangkubumi Mataram, perang ini bertujuan untuk membrangus Belanda yang kala itu sudah hampir menguasai Mataram, Paku Buwana I sudah bersekutu dengan Belanda. Pangeran Natapraja ayah dari Nyi Ageng Serang dalam upaya mebrangus Belanda itu turut ambil bagian didalamnya, sebab baginya Belanda harus disingkirkan dari bumi Mataram.
Usaha Mangkubumi dalam memersihkan Mataram dari pengaruh Belanda itu akhirnya kandas di meja perjanjian, meskipun demikian orang-orang yang masih setia dan sehaluan dengannya termasuk ayah Nyi Ageng Serang terus konsisten dalam menentang kehadiran Belanda di Bumi Mataram.
Tahun 1755 perang antara Mangkubumi dan Pakubuwana I yang dibekingi Belanda resmi berakhir di Meja Perjanjian, Mataram dibelah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta.Perjanjian ini dalam sejarah dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti.
Mangkubumi pada saat itu diangkat menjadi Sultan Yogyakarta I dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Ayah Nyi Ageng Serang yang dari semula mendukung Pangeran Mangkubumi semenjak perjanjian Giyanti ini terus setia pada Sultan barunya. Ia terus berjuang menantang Belanda, tapi kali ini wadah perlindungannya adalah Kesultanan Mataram Yogyakarta. Ayah Nyi Ageng Serang beserta keluarganya pada masa ini pindah ke Yogyakarta.
Pada tahun 1792 Sultan Hamengku Buwono I wafat, Selepas kemangkatan Sultan yang gigih melawan Belanda itu, Belanda mulai berulah lagi, mereka sedikit demi sedikit mempengaruhi para Sultan baru dan para petinggi kerajaan untuk tunduk di bawah Belanda dengan iming-iming kekayaan, selain itu Belanda juga mengompor-ngompori pemberontakan di tubuh Kesultanan Mataram Yogyakarta. Singkat cerita Kesultanan Yogyakarta kemudian mampu dikendalikan Belanda.
Pada tahun 1813, Yogyakarta meletus perang Sudara, Pangeran Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
Pada masa itu, munculah kemudian pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro tujuannya untuk menyingkirkan Belanda dan pengaruhnya dari Bumi Mataram. Pada masa ini Ayah dan Kakak Laki-Laki Nyi Ageng Serang sudah wafat terlebih dahulu, oleh karena itu melihat perjuangan Ayahnya dan kakanya Dahulu yang wafaat saat membela Pangeran Mangkubumi, Nyi Ageng Serang terjun kemedan juang untuk menumpas Belanda bersama Pangeran Diponegoro.
Nyi Ageng Serang dalam perjuangan ini menjadi Panglima Perang diwilayah Serang, para tentaranya itu ia namakan Laskar Gula Kelapa, atau Laskar merah putih, karena memang tentara dibawah komandonya ini mempunyai ciri khas membawa bendera atau umbul-umbul yang berwarna merah [Gula] putih [Kelapa].
Kisah keheroikan Nyi Ageng Serang dalam menggempur Belanda menjadi legenda tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta, dikisahkan bahwa ketika Nyi ageng Serang dalam pertempuran melawan Belanda disuatu daerah terpencil, Nyi Ageng Serang memacu kudanya kencang-kecang kemudian menebaskan pedangnya pada segerombolan tetara Belanda dibawahnya, hingga beberapa kepala serdadu Belanda itu lepas dari badannya. Orang-orang Yogyakarta kala itumemberi gelar Nyi Ageng Serang ini dengan sebutan “Djayeng Sekar” maksudnya pendekar perempuan.
Dalam menjalankan perjuangannya sebagai seorang Panglima perang Nyi Ageng Serang ini dibantu oleh suaminya, akan tetapi Suaminya kemudian wafat dalam suatu pertempuran dengan Belanda pada 1825.
Nyi Ageng Serang terus melancarkan perlawanan terhadap Belanda bahkan ketika umurnya mencapai 60 tahun, ia dikisahkan tetap pandai bermain senjata di atas kuda, namun dalam kondisi yang sudah tua itu Nyi Ageng Serang kemudian terserang sakit, beliau kemudian wafat pada umur 75 tahun yaitu tepatnya pada tahun 1828, dua tahun sebelum berakhirnya perang Pangeran Diponegoro pada 1830.
Guna menghormati jasa-jasa perjuangannya dalam menentang Belanda, pemerintah kemudian menetapkannya sebagai pahlawan Nasioanl Indonesia. Penetepan itu terjadi pada tanggal 13 Desember 1974 dengan Keppres RI No. 084/TK/Tahun 1974.
Selain penghargaan berupa penetapan sebagai Pahlawan Nasional, Nyi Ageng Serang juga, dijadikan sebagai monumen kebanggaan masyarakat Yogyakarta, monument Nyi Ageng Serang dapat dijumpai di Gadingan, Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Monumen Monumen itu berbentuk patung Nyi Agneg Serang yang menaiki Kuda dengan menengteng Tombak ditangannya.
Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1752 di Serang yaitu suatu daerah yang kini masuk pada wilayah Kabupaten Purwodadi Jawa Tengah. Nama aslinya adalah Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Ayahnya merupakan kepala Pemerintahan di Serang, ayahnya merupakan seorang Ki Ageng (Semacam Camat Sekarang) bawahan Kesultanan Mataram.
Sejak kanak-kanak Nyi Ageng Serang meskipun wanita dididik oleh ayahnya dengan ilmu perang dan berkuda, maka ketika menginjak usia remja, ia sudah menjelma sebagai wanita yang pendai silat dan trampil dalam memainkan senjata serta tangkas dalam berkuda.
Pada saat kelahirannya (1752), di Kesultanan Mataram meletus pemberontakan besar yang digagas Pangeran Mangkubumi Mataram, perang ini bertujuan untuk membrangus Belanda yang kala itu sudah hampir menguasai Mataram, Paku Buwana I sudah bersekutu dengan Belanda. Pangeran Natapraja ayah dari Nyi Ageng Serang dalam upaya mebrangus Belanda itu turut ambil bagian didalamnya, sebab baginya Belanda harus disingkirkan dari bumi Mataram.
Usaha Mangkubumi dalam memersihkan Mataram dari pengaruh Belanda itu akhirnya kandas di meja perjanjian, meskipun demikian orang-orang yang masih setia dan sehaluan dengannya termasuk ayah Nyi Ageng Serang terus konsisten dalam menentang kehadiran Belanda di Bumi Mataram.
Tahun 1755 perang antara Mangkubumi dan Pakubuwana I yang dibekingi Belanda resmi berakhir di Meja Perjanjian, Mataram dibelah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta.Perjanjian ini dalam sejarah dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti.
Mangkubumi pada saat itu diangkat menjadi Sultan Yogyakarta I dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Ayah Nyi Ageng Serang yang dari semula mendukung Pangeran Mangkubumi semenjak perjanjian Giyanti ini terus setia pada Sultan barunya. Ia terus berjuang menantang Belanda, tapi kali ini wadah perlindungannya adalah Kesultanan Mataram Yogyakarta. Ayah Nyi Ageng Serang beserta keluarganya pada masa ini pindah ke Yogyakarta.
Pada tahun 1792 Sultan Hamengku Buwono I wafat, Selepas kemangkatan Sultan yang gigih melawan Belanda itu, Belanda mulai berulah lagi, mereka sedikit demi sedikit mempengaruhi para Sultan baru dan para petinggi kerajaan untuk tunduk di bawah Belanda dengan iming-iming kekayaan, selain itu Belanda juga mengompor-ngompori pemberontakan di tubuh Kesultanan Mataram Yogyakarta. Singkat cerita Kesultanan Yogyakarta kemudian mampu dikendalikan Belanda.
Pada tahun 1813, Yogyakarta meletus perang Sudara, Pangeran Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
Pada masa itu, munculah kemudian pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro tujuannya untuk menyingkirkan Belanda dan pengaruhnya dari Bumi Mataram. Pada masa ini Ayah dan Kakak Laki-Laki Nyi Ageng Serang sudah wafat terlebih dahulu, oleh karena itu melihat perjuangan Ayahnya dan kakanya Dahulu yang wafaat saat membela Pangeran Mangkubumi, Nyi Ageng Serang terjun kemedan juang untuk menumpas Belanda bersama Pangeran Diponegoro.
Nyi Ageng Serang dalam perjuangan ini menjadi Panglima Perang diwilayah Serang, para tentaranya itu ia namakan Laskar Gula Kelapa, atau Laskar merah putih, karena memang tentara dibawah komandonya ini mempunyai ciri khas membawa bendera atau umbul-umbul yang berwarna merah [Gula] putih [Kelapa].
Kisah keheroikan Nyi Ageng Serang dalam menggempur Belanda menjadi legenda tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta, dikisahkan bahwa ketika Nyi ageng Serang dalam pertempuran melawan Belanda disuatu daerah terpencil, Nyi Ageng Serang memacu kudanya kencang-kecang kemudian menebaskan pedangnya pada segerombolan tetara Belanda dibawahnya, hingga beberapa kepala serdadu Belanda itu lepas dari badannya. Orang-orang Yogyakarta kala itumemberi gelar Nyi Ageng Serang ini dengan sebutan “Djayeng Sekar” maksudnya pendekar perempuan.
Dalam menjalankan perjuangannya sebagai seorang Panglima perang Nyi Ageng Serang ini dibantu oleh suaminya, akan tetapi Suaminya kemudian wafat dalam suatu pertempuran dengan Belanda pada 1825.
Nyi Ageng Serang terus melancarkan perlawanan terhadap Belanda bahkan ketika umurnya mencapai 60 tahun, ia dikisahkan tetap pandai bermain senjata di atas kuda, namun dalam kondisi yang sudah tua itu Nyi Ageng Serang kemudian terserang sakit, beliau kemudian wafat pada umur 75 tahun yaitu tepatnya pada tahun 1828, dua tahun sebelum berakhirnya perang Pangeran Diponegoro pada 1830.
Guna menghormati jasa-jasa perjuangannya dalam menentang Belanda, pemerintah kemudian menetapkannya sebagai pahlawan Nasioanl Indonesia. Penetepan itu terjadi pada tanggal 13 Desember 1974 dengan Keppres RI No. 084/TK/Tahun 1974.
Selain penghargaan berupa penetapan sebagai Pahlawan Nasional, Nyi Ageng Serang juga, dijadikan sebagai monumen kebanggaan masyarakat Yogyakarta, monument Nyi Ageng Serang dapat dijumpai di Gadingan, Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Monumen Monumen itu berbentuk patung Nyi Agneg Serang yang menaiki Kuda dengan menengteng Tombak ditangannya.
Monumen Nyi Ageng Serang |
Posting Komentar untuk "Nyi Ageng Serang, Panglima Laskar Merah Putih Penebas Kepala Belanda"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.