Sejarah Kesultanan Kasepuhan Cirebon
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam artikel “Kerajaan Cirebon, Masa Pendirian, Kejayaan dan Kemundurannya” diketahui bahwa selepas Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya dibebaskan dari sekapan Mataram.
Banten kemudian melantik kedua Pangeran tersebut menjadi Sultan Cirebon yang baru, akan tetapi karena keduanya diangkat menjadi Sultan maka sudah barang tentu Kerajaanpun terbelah menjadi dua. Kerajaan itu kemudian dikenal dengan nama Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai Sejarah Kasultanan Kasepuhan.
Baca Juga: Sejarah Kesultanan Kanoman
Pangeran Martawijaya merupakan Raja pertama Kesultanan Kasepuhan, dia mendapat gelar Sultan Sepuh I. Sultan Sepuh I menjadikan Keraton Pakungwati menjadi Keraton Kesultanan Kasepuhan.
Sultan Sepuh I tidak membangun keraton baru, melainkan hanya menempati keraton yang sudah ada. Hal ini diduga karena Sultan Sepuh I merupakan putra tertua Panembahan Ratu II sehingga dia paling berhak mewarisi tahta Kerajaan Islam Cirebon.
Keraton ini menjadi pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal Sultan dengan keluarganya. Keraton Kasepuhan yang merupakan perkembangan dari Keraton Pakungwati menempati lahan seluas kurang lebih 64.000 m2 yang memanjang dari utara ke selatan.
Komplek Keraton Kasepuhan dikelilingi tembok sebagai benteng pertahanan dan pemisah antara penghuni luar dengan keluarga keraton. Selain tembok, terdapat sungai Sipadu dan sungai Koyan yang membatasi komplek keraton dengan masyarakat luas.
Berbeda dengan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, Pangeran Wangsakerta justru tidak membangun keraton. Mungkin dikarenakan Pangeran Wangsakerta hanyalah saudara seayah, sehingga untuk sementara waktu dia tinggal di Keraton Kasepuhan.
Pangeran Wangsakerta juga hanya dianugerahi gelar Panembahan, berbeda dengan dua saudaranya yang bergelar Sultan.
Panembahan Cirebon menyadari dirinya diangkat sebagai sultan hanya untuk mengisi kekosongan kepemimpinan selama Panembahan Ratu II dan putranya tidak ada di Cirebon.
Tahun 1697 warga Cirebon kembali berduka karena pada saat itu Sultan Sepuh I meninggal dunia. Sultan meninggalkan dua putra yaitu Pangeran Dipati Anom sebagai putra pertama dan putra kedua Pangeran Aria Adiwijaya.
Kedua pangeran itu kelak akan menggatikan Sultan Sepuh I untuk memimpin Keraton Kasepuhan. Sayangnya sebelum meninggal Sultan Sepuh I belum sempat memilih penggatinya sehingga kedua putranya berseteru untuk menjadi sultan.
Kedua pangeran merasa berhak untuk menggantikan ayahnya memimpin Kesultanan Kasepuhan. Pangeran Dipati Anom merasa paling berhak untuk meneruskan tahta ayahnya karena dialah putra tertua dari Sultan Sepuh. Pemikiran ini ditolak oleh Pangeran Aria Adiwijaya, karena menurutnya dialah yang berhak mendapatkan tahta ayahnya. Akhirnya untuk meredakan perseteruan tersebut dilakukanlah perjanjian dengan ditengahi oleh VOC.
Perjanjian dilaksanakan di kota Batavia pada tanggal 4 Agustus 1699. Masalah utama dalam perjanjian ini adalah pembagian hak waris akan tahta Sultan Sepuh kepada kedua putranya.
Inti dari perjanjian ini hanya menekankan kembali perjanjian 8 September 1688 dan sedikit menambahkan tentang pergeseran sultan jika ada sultan yang meninggal.
Kedudukan Sultan Anom kini berubah menjadi peringkat pertama, Panembahan Ratu peringkat kedua dan untuk peringkat ketiga diduduki oleh Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Adiwijaya. Kedua putra Sultan Sepuh I bersama-sama menjalankan pemerintahan Kesultanan Kasepuhan.
Pangeran Dipati Anom sebagai kakak tertua mengalah dan Kesultanan Kasepuhan dipecah menjadi dua kesultanan pada tahun 1697. Kesultanan Kasepuhan dipimpin oleh Pangeran Dipati Anom dengan gelar Sultan Raja Tajularifin atau Sultan Sepuh II dan Kacirebonan, dipimpin oleh Pangeran Aria Adiwijaya bergelar Pangeran Aria Cirebon.
Terbaginya Kesultanan Kasepuhan menandakan cirebon mempunyai tiga kesultanan yaitu Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang secara bersamaan memimpin wilayah Cirebon.
Sultan Sepuh II meninggal pada tahun 1723 dan digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Raja Jaenudin atau Sultan Sepuh III. Sultan Sepuh III menjabat menjadi sultan hingga tahun 1753.
Informasi yang menjelaskan bagaimana situasi dan kondisi baik keluarga Keraton maupun masyarakat Cirebon secara keseluruhan pada masa pemerintahan Sultan Sepuh II dan Sultan Sepuh III sangat minim. Keterbatasan sumber inilah, menjadikan informasi tentang masa pemerintahan Sultan Sepuh II dan III hanya gambaran secara umum saja.
Pangeran Aria Cirebon tidak hanya menjadi Sultan Kacirebonan karena pada tahu 1706 VOC mengangkat Pangeran Aria sebagai overseer (pengawas) bupati di Priangan.
VOC sengaja mengangkat Pangeran Aria untuk kepentingan kekuasaannya di Priangan serta memperkuat pengaruh dan kekuasaannya di Cirebon. Melalui besluit tertanggal 9 Februari 1790, Pangeran Aria diangkat sebagai pengawas dan bupati kompeni yang bertugas menertibkan administrasi pemerintahan, mengawasi produksi pertanian dan bertindak sebagai jaksa bersama-sama dengan Residen Cirebon.
Pangeran Aria dimanfaatkan oleh VOC untuk menjembatani misi VOC agar bisa menguasai wilayah Cirebon secara seutuhnya. Kesultanan Kacirebonan hanya bertahan sampai tahun 1723. Berakhirnya Kacirebonan ditandai dengan dibuangnya Pangeran Aria oleh VOC kerena terlampau banyak melakukan pelanggaran terhadap peraturan VOC.
Pangeran Aria dianggap terlibat dalam gerakan melawan VOC dan ingin menghianati VOC. Padahal semasa hidupnya Pangeran Aria banyak membantu VOC namun balasannya sungguh sangat ironis. Pangeran Aria tidak mempunyai putra sehingga VOC menghapuskan Kesultanan Kacirebonan dan daerah kekuasaannya dibagi antara Sultan Kasepuhan dan Kanoman.
Pada akhirnya di Cirebon kembali menjadi dua kesultanan, yaitu Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman. Kesultanan Kasepuhan terus dan masih ada hingga kini meskipun wujudnya hanya sebagai budaya yang perlu dilestarikan, tidak lagi sebagai pemerintahan yang berdaulat.
Baca Juga: Para Raja di Kesultanan Kasepuhan Cirebon
Banten kemudian melantik kedua Pangeran tersebut menjadi Sultan Cirebon yang baru, akan tetapi karena keduanya diangkat menjadi Sultan maka sudah barang tentu Kerajaanpun terbelah menjadi dua. Kerajaan itu kemudian dikenal dengan nama Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai Sejarah Kasultanan Kasepuhan.
Baca Juga: Sejarah Kesultanan Kanoman
Pangeran Martawijaya merupakan Raja pertama Kesultanan Kasepuhan, dia mendapat gelar Sultan Sepuh I. Sultan Sepuh I menjadikan Keraton Pakungwati menjadi Keraton Kesultanan Kasepuhan.
Sultan Sepuh I tidak membangun keraton baru, melainkan hanya menempati keraton yang sudah ada. Hal ini diduga karena Sultan Sepuh I merupakan putra tertua Panembahan Ratu II sehingga dia paling berhak mewarisi tahta Kerajaan Islam Cirebon.
Keraton ini menjadi pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal Sultan dengan keluarganya. Keraton Kasepuhan yang merupakan perkembangan dari Keraton Pakungwati menempati lahan seluas kurang lebih 64.000 m2 yang memanjang dari utara ke selatan.
Komplek Keraton Kasepuhan dikelilingi tembok sebagai benteng pertahanan dan pemisah antara penghuni luar dengan keluarga keraton. Selain tembok, terdapat sungai Sipadu dan sungai Koyan yang membatasi komplek keraton dengan masyarakat luas.
Berbeda dengan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, Pangeran Wangsakerta justru tidak membangun keraton. Mungkin dikarenakan Pangeran Wangsakerta hanyalah saudara seayah, sehingga untuk sementara waktu dia tinggal di Keraton Kasepuhan.
Pangeran Wangsakerta juga hanya dianugerahi gelar Panembahan, berbeda dengan dua saudaranya yang bergelar Sultan.
Panembahan Cirebon menyadari dirinya diangkat sebagai sultan hanya untuk mengisi kekosongan kepemimpinan selama Panembahan Ratu II dan putranya tidak ada di Cirebon.
Tahun 1697 warga Cirebon kembali berduka karena pada saat itu Sultan Sepuh I meninggal dunia. Sultan meninggalkan dua putra yaitu Pangeran Dipati Anom sebagai putra pertama dan putra kedua Pangeran Aria Adiwijaya.
Kedua pangeran itu kelak akan menggatikan Sultan Sepuh I untuk memimpin Keraton Kasepuhan. Sayangnya sebelum meninggal Sultan Sepuh I belum sempat memilih penggatinya sehingga kedua putranya berseteru untuk menjadi sultan.
Kedua pangeran merasa berhak untuk menggantikan ayahnya memimpin Kesultanan Kasepuhan. Pangeran Dipati Anom merasa paling berhak untuk meneruskan tahta ayahnya karena dialah putra tertua dari Sultan Sepuh. Pemikiran ini ditolak oleh Pangeran Aria Adiwijaya, karena menurutnya dialah yang berhak mendapatkan tahta ayahnya. Akhirnya untuk meredakan perseteruan tersebut dilakukanlah perjanjian dengan ditengahi oleh VOC.
Perjanjian dilaksanakan di kota Batavia pada tanggal 4 Agustus 1699. Masalah utama dalam perjanjian ini adalah pembagian hak waris akan tahta Sultan Sepuh kepada kedua putranya.
Inti dari perjanjian ini hanya menekankan kembali perjanjian 8 September 1688 dan sedikit menambahkan tentang pergeseran sultan jika ada sultan yang meninggal.
Kedudukan Sultan Anom kini berubah menjadi peringkat pertama, Panembahan Ratu peringkat kedua dan untuk peringkat ketiga diduduki oleh Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Adiwijaya. Kedua putra Sultan Sepuh I bersama-sama menjalankan pemerintahan Kesultanan Kasepuhan.
Pangeran Dipati Anom sebagai kakak tertua mengalah dan Kesultanan Kasepuhan dipecah menjadi dua kesultanan pada tahun 1697. Kesultanan Kasepuhan dipimpin oleh Pangeran Dipati Anom dengan gelar Sultan Raja Tajularifin atau Sultan Sepuh II dan Kacirebonan, dipimpin oleh Pangeran Aria Adiwijaya bergelar Pangeran Aria Cirebon.
Terbaginya Kesultanan Kasepuhan menandakan cirebon mempunyai tiga kesultanan yaitu Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang secara bersamaan memimpin wilayah Cirebon.
Sultan Sepuh II meninggal pada tahun 1723 dan digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Raja Jaenudin atau Sultan Sepuh III. Sultan Sepuh III menjabat menjadi sultan hingga tahun 1753.
Informasi yang menjelaskan bagaimana situasi dan kondisi baik keluarga Keraton maupun masyarakat Cirebon secara keseluruhan pada masa pemerintahan Sultan Sepuh II dan Sultan Sepuh III sangat minim. Keterbatasan sumber inilah, menjadikan informasi tentang masa pemerintahan Sultan Sepuh II dan III hanya gambaran secara umum saja.
Pangeran Aria Cirebon tidak hanya menjadi Sultan Kacirebonan karena pada tahu 1706 VOC mengangkat Pangeran Aria sebagai overseer (pengawas) bupati di Priangan.
VOC sengaja mengangkat Pangeran Aria untuk kepentingan kekuasaannya di Priangan serta memperkuat pengaruh dan kekuasaannya di Cirebon. Melalui besluit tertanggal 9 Februari 1790, Pangeran Aria diangkat sebagai pengawas dan bupati kompeni yang bertugas menertibkan administrasi pemerintahan, mengawasi produksi pertanian dan bertindak sebagai jaksa bersama-sama dengan Residen Cirebon.
Pangeran Aria dimanfaatkan oleh VOC untuk menjembatani misi VOC agar bisa menguasai wilayah Cirebon secara seutuhnya. Kesultanan Kacirebonan hanya bertahan sampai tahun 1723. Berakhirnya Kacirebonan ditandai dengan dibuangnya Pangeran Aria oleh VOC kerena terlampau banyak melakukan pelanggaran terhadap peraturan VOC.
Pangeran Aria dianggap terlibat dalam gerakan melawan VOC dan ingin menghianati VOC. Padahal semasa hidupnya Pangeran Aria banyak membantu VOC namun balasannya sungguh sangat ironis. Pangeran Aria tidak mempunyai putra sehingga VOC menghapuskan Kesultanan Kacirebonan dan daerah kekuasaannya dibagi antara Sultan Kasepuhan dan Kanoman.
Pada akhirnya di Cirebon kembali menjadi dua kesultanan, yaitu Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman. Kesultanan Kasepuhan terus dan masih ada hingga kini meskipun wujudnya hanya sebagai budaya yang perlu dilestarikan, tidak lagi sebagai pemerintahan yang berdaulat.
Baca Juga: Para Raja di Kesultanan Kasepuhan Cirebon
Posting Komentar untuk "Sejarah Kesultanan Kasepuhan Cirebon"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.