Riwayat Hidup Gus Dur
Gus Dur atau Abdurahman Wahid adalah Kiai kenamaan, mantan ketua PBNU sekaligus juga mantan Presiden RI ke 4. Gus Dur dilahirkan di Desa Denayar kota Jombang-Jawa Timur pada 4 sya’ban atau 7 september 1940.
Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara, hasil pernikahan Wahid Hasyim dan Sholichah (putri Kiai Bisri Syansuri). Wahid Hasyim adalah menteri Agama RI pertama rezim Soekarno dan aktif dalam panitia sembilan perumusan piagam Jakarta. Adapun kakek Gus Dur adalah pendidiri NU yaitu KH Hasyim Asy’ari, salah satu organisasi keagamaan Islam ternama dengan jumlah pengikut terbesar di Indonesia bahkan di dunia.
Masa kanak-kanak Gus Dur dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan pesantren milik kakeknya Kiai Bisri Syansuri (pendiri pondok pesantren Denanyar).
Berkat bimbingan ibunya, Gus Dur pada usia 4 tahun telah mampu membaca al Qur’an beserta ilmu tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan pesantren yang terbiasa dengan kitab-kitab kuning yang berbahasa arab tanpa sakal dan arti Indonesia maupun Jawa. Kemudian di usia 4 tahun, Gus Dur tinggal bersama ayahnya di Menteng Jakarta Pusat, ketika itu Wahid Hasyim dipercaya mengepalai Shumubu (kantor urusan agama) atas permintaan pemerintah Jepang.
Tempat Wahid Hasyim di Matraman sering dikunjungi tamu-tamu Eropa, Belanda, Jerman dan kalangan aktivis mahasiswa serta berbagi lapisan mayarakat. Dengan demikian Gus Dur sejak kecil telah diperkenalkan dengan tokoh-tokoh besar, dan ayahnya selalu menganjurkan kepada anak-anaknya untuk giat membaca tanpa membatasi buku apa yang dibaca. Sebagian jenjang pendidikan formal Abdurrahman Wahid banyak dihabiskan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang di sebut dengan sekolah-sekolah “sekuler”.
Setelah ayahnya meninggal, Ibunya mengambil alih pimpinan keluarga dan membesarkan enam anak-anaknya. Pada tahun 1954 Gus Dur melanjutkan sekolah di SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama), tinggal bersama keluarga Kiai Haji Junaidi (teman ayahnya dan seorang aktivis Majlis Tarjih).
Di Desa Kauman Yogyakarta, untuk melengkapi pendidikan agama dan guna memperdalam ilmu bahasa arab maka ia mengatur jadwalnya seminggu 3 kali untuk ngaji dengan Kiai Ali Ma’shum di pondok Al Munawir Krapyak.
Setelah menamatkan SMEP 1957, Kiai Bisri Sansuri memindahkan Gus Dur–hal ini disebabkan hobinya menonton film yang tidak ketulungan-untuk diPondokkan di Magelang yang terletak di sebelah utara Yogyakarta dan berada dalam asuhan dan bimbingan Kiai Khudhori pengasuh pondok pesantren Tegalrejo.38 Berbeda dengan santri biasa yang menyelesaikan pelajaran selama 4 tahun tetapi dengan kecerdasan yang dimiliki, Gus Dur mampu menyelesaikan pelajaran dengan waktu yang relatif cepat yaitu: dalam 2 tahun saja.39 Dari Kiai Khudhorilah ia banyak belajar dunia mistik dan tasawuf.
Pada tahun 1959 Gus Dur dipangil oleh pamanya: Kia Haji Fatah, untuk membantu mengelola Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang sampai tahun 1963. Selama kurun waktu itu ia menyempatkan belajar secara teratur dengan kakeknya: Kiai Bisri Sansuri dan mendapatkan bimbingan dari Kiai Wahab Chasbullah. Pada tahun pertamanya di Tambak Beras, ia mendapatkan kepercayaan untuk mengajar di pondok ini dan sekaligus dipercaya menjadi kepala sekolah modern yang dibangun dalam area pondok pesantren. Untuk mengisi waktu libur kadang-kadang Gus Dur pergi ke Yogyakarta dan tinggal di rumah Kiai Ali Maksum untuk belajar agama.
Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid tertarik mengambil beasiswa untuk belajar di Universitas “al Azhar” Kairo (Mesir). Namun dikampus ini Gusdur tidak menyelesikan kuliahnya, Gus Dur Dari Al-Azhar pindah ke Universitas Baqdad di Irak dan memilih fakultas sastra. Pada pertengahan tahun 1970, Gus Dur menyelesaikan studi empat tahunnya di Universitas Baghdad dan pindah ke Eropa.
Ketika itu beliau berharap akan bisa memperoleh tempat bagi studinya lebih lanjut dan kemudian akan mengajak Nuriyah (istri Gus Dur) tinggal bersamanya di Eropa. Namun, kekecewaanlah yang diperoleh karena kemudian diketahuinya bahwa di Leiden dan juga di seluruh Eropa, studinya di Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan.
Beliau berkelana selama hampir setahun di Eropa dan kemudian kembali ke Tanah Air pada pertengahan tahun 1971 dengan tangan kosong.
Gus Dur akhirnya tinggal enam bulan di Belanda. Beliau menghabiskan banyak waktunya utuk mencari tahu, kesempatan untuk bisa belajar di Leiden dan Universitas-universitas di kota-kota yang berdekatan dengan Belanda dan Jerman. Dari Belanda beliau pindah ke Jerman dan tinggal disini selama empat bulan. Kemudian beliau tinggal di Perancis selama dua bulan. Setelah itu beliau kembali ke Tanah Air.
Pada tahun 1984 muktamar ke-27 Situbondo menetapkan Gus Dur sebagi ketua tanfidziah PBNU dan dipercaya lagi menjadi ketua PBNU untuk muktamar ke- 28 tasikmalaya dan muktamar ke- 29 Yogyakarta. Tiga kali berturut-turut menjabat ketua PBNU menunjukkan ia seorang kiai yang cerdas, progresif dan karismatik di kalangan warga Nahdiyin khususnya kaum muda NU.
Gus Dur mempelopori agar NU kembali ke kandangnya (NU bukan lagi organisasi politik namun tidak lebih sebagai lembaga keagamaan dan tidak melarang jama’ahnya berpolitik). Bagi kalangan muda NU, Gus Dur dianggap sebagai tokoh yang mampu membebaskan dari ortodoksi dan konservatisme keagamaan, yang sebagian besar ada pada kalangan tua Nahdiyin.
Banyak kalangan yang menaruh harapan besar dengan terpilihnya Gus Dur menjadi ketua PBNU, kemampuannya untuk menjembatani kalangan muda dan tua serta hubungan NU dengan pemerintah dan LSM. Selain itu dengan ide–idenya yang cemerlang dan progresif mengilhami generasi muda NU untuk progres.
Pada tahun 1990 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menawari Gus Dur untuk masuk dalam lembaga ini, namun ia menolak dan justru mendirikan forum demokrasi, dan menuding ICMI sebagai lembaga bikinan penguasa yang berbau sektarian.
Keseriuannya dalam penegaan demokrasi dan pembelaan terhadap kaum minoritas semakin kelihatan nyata. Hal ini nampak jelas atas tindakan Gus Dur pada awal 90-an yang mengkritik atas kebijakan-kebijakan rezim Soeharto yang tidak demokratis dan otoriter.
Pada tahun 1998 bertempat di kediaman Gus Dur tokoh-tokoh reformis yaitu: Megawati, Amin Rais, Sultan Hamengu Buwono X dan Gus Dur untuk membicarakan gerakan reformasi menghasilkan piagam Ciganjur. Dalam pertemuan ini ada komitmen untuk menegakkan demokrasi dan mewakili aspirasi rakyat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah demi sebuah perbaikan terhadap Indonesia.
Rezim soeharto runtuh dan pesta demokrasi mulai dikumandangan dengan ditandai munculnya partai-partai politik sebagai wujud kebebasan berorganisasi dan berpendapat di depan umum.
Pada tanggal 29 Robiul awal 1419 Hijriyah/ 23 Juli 1998 Gus Dur mendeklarasikan partai kebangkitan bangsa (PKB) yang banyak didukung oleh kalangan NU. Partai ini didirikan di Jakarta yang dideklerasikan oleh para kiai-kiai Nahdhatul Ulama’. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.
Kemudian pada pemilu tahun 1999 ia terpilih menjadi presiden mengalahkan rivalnya Megawati Sukarno Putri. Keberhasilannya duduk dikursi kepresidenaa tidak lepas dari usaha Amin Rais dari poros tengah, koalisi partai-partai Muslim.
Ketika menjadi presiden Abdurrahman Wahid mempelopori penghapusan diskriminasi terhadap etnis tionghoa dengan mengeluarkan inpres No.6/2000 tanggal 17 Januari 2000, mencabut inpres No.4/1967 tentang Agama. Kepercayaan dan adat istiadat Cina. Abdurrahman Wahid juga mengeluarkan keputusan (kepres) No.38/2000 yang mencabut kepres No.16/1990 tentang litsus.
Kedua lembaga ini di nilainya lebih banyak menimbulkan keruwetan dari pada kemanfaatan secara jelas merugikan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Gaya kepemimpinan Gusdur yang tak pandang bulu untuk menjungjung HAM itu kemudian menyebabkan ia digulingkan dari jabatan Presiden oleh DPR/MPR kala itu.
Abdurrahman Wahid wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Monokusumo, Jakarta, pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit yang diderita sejak lama. Sebelum wafat Gus Dur menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Abdurrahman Wahid di makamkan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Baca Juga: Karya Tulis Gus Dur
Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara, hasil pernikahan Wahid Hasyim dan Sholichah (putri Kiai Bisri Syansuri). Wahid Hasyim adalah menteri Agama RI pertama rezim Soekarno dan aktif dalam panitia sembilan perumusan piagam Jakarta. Adapun kakek Gus Dur adalah pendidiri NU yaitu KH Hasyim Asy’ari, salah satu organisasi keagamaan Islam ternama dengan jumlah pengikut terbesar di Indonesia bahkan di dunia.
Masa kanak-kanak Gus Dur dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan pesantren milik kakeknya Kiai Bisri Syansuri (pendiri pondok pesantren Denanyar).
Berkat bimbingan ibunya, Gus Dur pada usia 4 tahun telah mampu membaca al Qur’an beserta ilmu tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan pesantren yang terbiasa dengan kitab-kitab kuning yang berbahasa arab tanpa sakal dan arti Indonesia maupun Jawa. Kemudian di usia 4 tahun, Gus Dur tinggal bersama ayahnya di Menteng Jakarta Pusat, ketika itu Wahid Hasyim dipercaya mengepalai Shumubu (kantor urusan agama) atas permintaan pemerintah Jepang.
Tempat Wahid Hasyim di Matraman sering dikunjungi tamu-tamu Eropa, Belanda, Jerman dan kalangan aktivis mahasiswa serta berbagi lapisan mayarakat. Dengan demikian Gus Dur sejak kecil telah diperkenalkan dengan tokoh-tokoh besar, dan ayahnya selalu menganjurkan kepada anak-anaknya untuk giat membaca tanpa membatasi buku apa yang dibaca. Sebagian jenjang pendidikan formal Abdurrahman Wahid banyak dihabiskan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang di sebut dengan sekolah-sekolah “sekuler”.
Setelah ayahnya meninggal, Ibunya mengambil alih pimpinan keluarga dan membesarkan enam anak-anaknya. Pada tahun 1954 Gus Dur melanjutkan sekolah di SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama), tinggal bersama keluarga Kiai Haji Junaidi (teman ayahnya dan seorang aktivis Majlis Tarjih).
Di Desa Kauman Yogyakarta, untuk melengkapi pendidikan agama dan guna memperdalam ilmu bahasa arab maka ia mengatur jadwalnya seminggu 3 kali untuk ngaji dengan Kiai Ali Ma’shum di pondok Al Munawir Krapyak.
Setelah menamatkan SMEP 1957, Kiai Bisri Sansuri memindahkan Gus Dur–hal ini disebabkan hobinya menonton film yang tidak ketulungan-untuk diPondokkan di Magelang yang terletak di sebelah utara Yogyakarta dan berada dalam asuhan dan bimbingan Kiai Khudhori pengasuh pondok pesantren Tegalrejo.38 Berbeda dengan santri biasa yang menyelesaikan pelajaran selama 4 tahun tetapi dengan kecerdasan yang dimiliki, Gus Dur mampu menyelesaikan pelajaran dengan waktu yang relatif cepat yaitu: dalam 2 tahun saja.39 Dari Kiai Khudhorilah ia banyak belajar dunia mistik dan tasawuf.
Pada tahun 1959 Gus Dur dipangil oleh pamanya: Kia Haji Fatah, untuk membantu mengelola Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang sampai tahun 1963. Selama kurun waktu itu ia menyempatkan belajar secara teratur dengan kakeknya: Kiai Bisri Sansuri dan mendapatkan bimbingan dari Kiai Wahab Chasbullah. Pada tahun pertamanya di Tambak Beras, ia mendapatkan kepercayaan untuk mengajar di pondok ini dan sekaligus dipercaya menjadi kepala sekolah modern yang dibangun dalam area pondok pesantren. Untuk mengisi waktu libur kadang-kadang Gus Dur pergi ke Yogyakarta dan tinggal di rumah Kiai Ali Maksum untuk belajar agama.
Gus Dur |
Ketika itu beliau berharap akan bisa memperoleh tempat bagi studinya lebih lanjut dan kemudian akan mengajak Nuriyah (istri Gus Dur) tinggal bersamanya di Eropa. Namun, kekecewaanlah yang diperoleh karena kemudian diketahuinya bahwa di Leiden dan juga di seluruh Eropa, studinya di Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan.
Beliau berkelana selama hampir setahun di Eropa dan kemudian kembali ke Tanah Air pada pertengahan tahun 1971 dengan tangan kosong.
Gus Dur akhirnya tinggal enam bulan di Belanda. Beliau menghabiskan banyak waktunya utuk mencari tahu, kesempatan untuk bisa belajar di Leiden dan Universitas-universitas di kota-kota yang berdekatan dengan Belanda dan Jerman. Dari Belanda beliau pindah ke Jerman dan tinggal disini selama empat bulan. Kemudian beliau tinggal di Perancis selama dua bulan. Setelah itu beliau kembali ke Tanah Air.
Pada tahun 1984 muktamar ke-27 Situbondo menetapkan Gus Dur sebagi ketua tanfidziah PBNU dan dipercaya lagi menjadi ketua PBNU untuk muktamar ke- 28 tasikmalaya dan muktamar ke- 29 Yogyakarta. Tiga kali berturut-turut menjabat ketua PBNU menunjukkan ia seorang kiai yang cerdas, progresif dan karismatik di kalangan warga Nahdiyin khususnya kaum muda NU.
Gus Dur mempelopori agar NU kembali ke kandangnya (NU bukan lagi organisasi politik namun tidak lebih sebagai lembaga keagamaan dan tidak melarang jama’ahnya berpolitik). Bagi kalangan muda NU, Gus Dur dianggap sebagai tokoh yang mampu membebaskan dari ortodoksi dan konservatisme keagamaan, yang sebagian besar ada pada kalangan tua Nahdiyin.
Banyak kalangan yang menaruh harapan besar dengan terpilihnya Gus Dur menjadi ketua PBNU, kemampuannya untuk menjembatani kalangan muda dan tua serta hubungan NU dengan pemerintah dan LSM. Selain itu dengan ide–idenya yang cemerlang dan progresif mengilhami generasi muda NU untuk progres.
Pada tahun 1990 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menawari Gus Dur untuk masuk dalam lembaga ini, namun ia menolak dan justru mendirikan forum demokrasi, dan menuding ICMI sebagai lembaga bikinan penguasa yang berbau sektarian.
Keseriuannya dalam penegaan demokrasi dan pembelaan terhadap kaum minoritas semakin kelihatan nyata. Hal ini nampak jelas atas tindakan Gus Dur pada awal 90-an yang mengkritik atas kebijakan-kebijakan rezim Soeharto yang tidak demokratis dan otoriter.
Pada tahun 1998 bertempat di kediaman Gus Dur tokoh-tokoh reformis yaitu: Megawati, Amin Rais, Sultan Hamengu Buwono X dan Gus Dur untuk membicarakan gerakan reformasi menghasilkan piagam Ciganjur. Dalam pertemuan ini ada komitmen untuk menegakkan demokrasi dan mewakili aspirasi rakyat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah demi sebuah perbaikan terhadap Indonesia.
Rezim soeharto runtuh dan pesta demokrasi mulai dikumandangan dengan ditandai munculnya partai-partai politik sebagai wujud kebebasan berorganisasi dan berpendapat di depan umum.
Pada tanggal 29 Robiul awal 1419 Hijriyah/ 23 Juli 1998 Gus Dur mendeklarasikan partai kebangkitan bangsa (PKB) yang banyak didukung oleh kalangan NU. Partai ini didirikan di Jakarta yang dideklerasikan oleh para kiai-kiai Nahdhatul Ulama’. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.
Kemudian pada pemilu tahun 1999 ia terpilih menjadi presiden mengalahkan rivalnya Megawati Sukarno Putri. Keberhasilannya duduk dikursi kepresidenaa tidak lepas dari usaha Amin Rais dari poros tengah, koalisi partai-partai Muslim.
Ketika menjadi presiden Abdurrahman Wahid mempelopori penghapusan diskriminasi terhadap etnis tionghoa dengan mengeluarkan inpres No.6/2000 tanggal 17 Januari 2000, mencabut inpres No.4/1967 tentang Agama. Kepercayaan dan adat istiadat Cina. Abdurrahman Wahid juga mengeluarkan keputusan (kepres) No.38/2000 yang mencabut kepres No.16/1990 tentang litsus.
Kedua lembaga ini di nilainya lebih banyak menimbulkan keruwetan dari pada kemanfaatan secara jelas merugikan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Gaya kepemimpinan Gusdur yang tak pandang bulu untuk menjungjung HAM itu kemudian menyebabkan ia digulingkan dari jabatan Presiden oleh DPR/MPR kala itu.
Abdurrahman Wahid wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Monokusumo, Jakarta, pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit yang diderita sejak lama. Sebelum wafat Gus Dur menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Abdurrahman Wahid di makamkan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Baca Juga: Karya Tulis Gus Dur
Posting Komentar untuk "Riwayat Hidup Gus Dur"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.