Mengenal Pakuan Pajajaran, Ibu Kota Kerajaan Sunda
Pakuan Pajajaran atau Pakwan Pajajaran adalah ibu kota Kerajaan Sunda Galuh yang pernah berdiri pada tahun 1030-1579 M di wilayah barat pulau Jawa. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.
Tidak seperti ibu kota kerajaan lain, lokasi bekas keraton tempat raja-raja Sunda bertakhta tidak mudah dilacak bekas-bekasnya. Satu-satunya yang tersisa dan menjadi bukti keberadaan Kerajaan Pajajaran hanyalah prasasti Batutulis yang letaknya tidak jauh dari Istana Batutulis. Batu prasasti itu merupakan persembahan pada upacara srada oleh Prabu Surawisesa (1521-1535), setelah 12 tahun ayahnya, Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), wafat. Selebihnya, situs Kota Pakuan hanya bisa direka-reka.
Secara fisik, Kota Pakuan sudah lama hilang. Bahkan ketika orang-orang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) melakukan ekspedisi pada akhir abad ke17 sampai awal abad ke-18, mereka gagal menemukan Pakuan. Ekspedisi VOC berlangsung beberapa kali, dilakukan oleh Scipio (1687), Adolf Winkler (1690), Ram dan Coups (1701), serta Abraham van Riebeeck yang tiga kali melakukan ekspedisi pada tahun 1703, 1704 dan 1709.
Pada Tahun 1512 dan Tahun 1522 utusan Portugis dari Malaka menggunjungi Ibu Kota Kerajan Sunda, dari kunjungaan tersebut itulah nantinya tergambar mengenai Ibu Kota Kerajaan Sunda beserta Istana kerajaannya yang indah.
Dalam kunjungannya ke istana dan Ibukota Kerajaan Sunda orang-orang Portugis menyaksikan kebesaran dan keindahan Keraton Pakuan Pajajaran yang dijuluki Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Dalam laporannya disebutkan, ibukota Pajajaran bisa dicapai setelah dua hari perjalanan menyususri sungai. Bangunan keratonnya berjajar dan menjulang tinggi, terbuat dari kayu yang ditopang dengan tiang-tiang sebesar drum, tampak indah berhiaskan relief-relief. (Danasasmita, 2014)
Ditinjau dari sisi kesejarahan memang kerajaan Sunda merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang menjalin kerjasama dengan bangsa Porrtugis. Utusan Kerajaan Sunda tercataat dua kali berturut-turut mengunjungi Malaka yang saat itu dikuasai Portugis, tahun 1512 dan 1521. Kunjungan tersebut kemudian dibalas oleh portugis.
Pada 21 Agustus 1522, Kerajaan Sunda dan Portugis mengikat perjanjian di bidang pertahanan dan ekonomi meski hal itu tidak terwujud dengan baik. Bandar Kelapa yang menjadi pelabuhan utamanya berhasil direbut pasukan Cirebon dan Demak pada tahun 1527. Pasukan Portugis yang datang terlambat berhasil dihancurkan.
Selain kabar Portugis, kondisi Ibu Kota Kerajaan Sunda juga dikisahkan dalam naskah Carita Parahyangan, dalam naskah tersebut disebutkan :
“Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.” (Kropak 406)
Terjamah; Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari hulu Cipakancilan. Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan.
Tidak seperti ibu kota kerajaan lain, lokasi bekas keraton tempat raja-raja Sunda bertakhta tidak mudah dilacak bekas-bekasnya. Satu-satunya yang tersisa dan menjadi bukti keberadaan Kerajaan Pajajaran hanyalah prasasti Batutulis yang letaknya tidak jauh dari Istana Batutulis. Batu prasasti itu merupakan persembahan pada upacara srada oleh Prabu Surawisesa (1521-1535), setelah 12 tahun ayahnya, Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), wafat. Selebihnya, situs Kota Pakuan hanya bisa direka-reka.
Secara fisik, Kota Pakuan sudah lama hilang. Bahkan ketika orang-orang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) melakukan ekspedisi pada akhir abad ke17 sampai awal abad ke-18, mereka gagal menemukan Pakuan. Ekspedisi VOC berlangsung beberapa kali, dilakukan oleh Scipio (1687), Adolf Winkler (1690), Ram dan Coups (1701), serta Abraham van Riebeeck yang tiga kali melakukan ekspedisi pada tahun 1703, 1704 dan 1709.
Pada Tahun 1512 dan Tahun 1522 utusan Portugis dari Malaka menggunjungi Ibu Kota Kerajan Sunda, dari kunjungaan tersebut itulah nantinya tergambar mengenai Ibu Kota Kerajaan Sunda beserta Istana kerajaannya yang indah.
Dalam kunjungannya ke istana dan Ibukota Kerajaan Sunda orang-orang Portugis menyaksikan kebesaran dan keindahan Keraton Pakuan Pajajaran yang dijuluki Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Dalam laporannya disebutkan, ibukota Pajajaran bisa dicapai setelah dua hari perjalanan menyususri sungai. Bangunan keratonnya berjajar dan menjulang tinggi, terbuat dari kayu yang ditopang dengan tiang-tiang sebesar drum, tampak indah berhiaskan relief-relief. (Danasasmita, 2014)
Ditinjau dari sisi kesejarahan memang kerajaan Sunda merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang menjalin kerjasama dengan bangsa Porrtugis. Utusan Kerajaan Sunda tercataat dua kali berturut-turut mengunjungi Malaka yang saat itu dikuasai Portugis, tahun 1512 dan 1521. Kunjungan tersebut kemudian dibalas oleh portugis.
Pada 21 Agustus 1522, Kerajaan Sunda dan Portugis mengikat perjanjian di bidang pertahanan dan ekonomi meski hal itu tidak terwujud dengan baik. Bandar Kelapa yang menjadi pelabuhan utamanya berhasil direbut pasukan Cirebon dan Demak pada tahun 1527. Pasukan Portugis yang datang terlambat berhasil dihancurkan.
Selain kabar Portugis, kondisi Ibu Kota Kerajaan Sunda juga dikisahkan dalam naskah Carita Parahyangan, dalam naskah tersebut disebutkan :
“Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.” (Kropak 406)
Terjamah; Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari hulu Cipakancilan. Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan.
Posting Komentar untuk "Mengenal Pakuan Pajajaran, Ibu Kota Kerajaan Sunda"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.