Sultan Adiwijaya Kacirebonan dan Sengketa Hutan Sumedang
Sultan Adiwijaya adalah penguasa atau Panembahan di Kacirebonan, beliau merupakan penguasa Kacirebonan selepas wafatnya Pangeran Wangsakerta, Adiwijaya menjabat sebagai Panembahan Cirebon dari mulai Tahun 1725 hingga 1731. Sebenarnya selepas wafatnya Pangeran Wangsakerta pada tahun 1714 jabatan Panembahan Cirebon diwakili oleh Tumenggung Scadipura hingga Tahun 1725, hal tersebut dikarenakan putra mahkota (Adiwijaya) masih kanak-kanak.
Pemerintahan di Cirebon pada Tahun 1678 dibelah menjadi 3 Kesultanan, yaitu Kasepuhan diperintah oleh Pangeran Mertawijaya, Kanoman diperintah oleh Pangeran Kertawijaya dan Kacirebonan diperintah oleh Panembahan Cirebon/ Pangeran Wangsakerta. Meskipun demikian Panembahan Kacirebonan tidak mempunyai Istana, Pangeran Wangsakerta pada waktu itu tinggal di Kasepuhan/Pakungwati bersama kakaknya Pangeran Mertawijaya yang menjadi Sultan Sepuh meskipun ia mempunyai wilayah kekuasaan.
Sultan Adiwijaya adalah penguasa ke tiga Panembahan Kacirebonan menjabat selepas Tumenggung Scadipura. Gelar Adiwijaya adalah Panembahan Gusti-II, beliau juga dipanggil Panembahan Tohpati atau Pangeran Raja Dipati.
Pada saat Sultan Adiwijaya memerintah Kacirebonan (1725-1731) terjadi sengketa dengan Sumedang, sengketa tersebut nantinya menyebabkan Sumedang kalah di pengadilan sehingga mau tidak mau harus menyerahkan wilayahnya yang berupa hutan ke Cirebon.
Konflik Sumedang dan Cirebon sebenarnya sudah terjadi sebelum masa Sultan Adiwijaya, dahulu di masa pemerintahan Panembahan Ratu (1568-1649), Prabu Geusun Ulun Raja dari Sumedang menculik Ratu Harisbaya istri Panembahan Ratu, pada masa itu terjadi perang besar antara Cirebon dengan Sumedang sehingga menyebabkan kekalahan dari pihak Sumedang. Zaman ini Sumedang didenda dengan melepaskan wilayah kekuasaanya yaitu Bhumi Sindangkasih (Majalengka) ke dalam wilayah Kekuasaan Cirebon.
Baca Juga: Ratu Harisbaya, Si Cantik Pemantik Konflik Cirebon Vs Sumedang
Meskipun pada zaman Panembahan Ratu konflik antara Sumedang dan Cirebon telah usai seiring perjanjian damai dan diserahkannya wilayah Sindangkasih ke Cirebon sebagai tanda tebusan penculikan Ratu Harisbaya, akan tetapi rasa curiga diantara penguasa di kedua kerajaan terus berlanjut hingga masa setelahnya. Sumedang dan Crebon seperti perang dingin. Keadaan sperti intulah yang dikemudian hari memantik sengketa hutan Sumedang di zaman Sultan Adiwijaya.
Sultan Adiwijaya dikenal sebagai Pangeran yang gemar berburu kijang dan menjangan di hutan, kadang-kadang kalau berburu Sultan lupa waktu, bahkan lupa segala-galanya. Pada suatu ketika Sultan Adiwijaya bersama pasukan pengiringnya berburu, mereka memasuki Hutan yang merupakan daerah kekuasaan Sumedang.
Masuknya Sultan Adiwijaya beserta bala tentara Cirebon ke hutan wilayah Sumedang dijadikan bahan konflik baru oleh Pangeran Sumedang untuk menuntut Sultan Adiwijaya di pengadilan. Pangeran Sumedang menghendaki Cirebon harus membayar ganti rugi atas kelancangannya memasuki daerah Sumedang tanpa izin. Kala itu seluruh tanah Sunda sudah dibawah kendali VOC Belanda sehingga apabila ada sengketa wilayah diantara kerajaan-kerajaan di tanah Sunda harus dilaporkan ke Gubernur Jendral Batavia (Jakarta)
Pangeran Sumedang mengajukan gugatan ke Batavia untuk mengadili Sultan Adiwijaya ke pengadilan karena dianggap memasuki wilayah Sumedang tanpa izin. Pertarungan antara Cirebon dan Sumedangpun akhirnya pecah dipengadilan.
Pihak Sumedang menuntut ganti rugi atas masuknya Sultan Adiwijaya ke wilayahnya tanpa izin, sementara itu pihak Cirebon dengan taktik dan kepintarannya menyatakan bahwa hutan yang ia masuki bukan wilayah Sumedang melainkan wilayah Cirebon. Bahkan Sultan Adiwijaya menjelaskan bahwa bukti dari hutan tersebut masuk wilayah Cirebon adalah adanya tanda berupa Gorda (kaca) putih yang tertancap di pohon beringin. Selanjutnya untuk meyakinkan hakim, Sultan Adiwijaya kemudian melakukan serangan balik dengan menanyakan bukti kepada Pangeran Sumedang jika hutan yang dimasuki Sultan Adiwijaya adalah milik Sumedang. Dalam pengadilan rupanya Pangeran Sumedang tidak bisa membuktian, ia kalah dalam bersilat lidah.
Setelah digelarnya sengketa hutan Sumedang dalam pengadilan, akhirnya diputuskan oleh Pengadilan bahwa Hutan yang dimasuki Sultan Adiwijaya adalah hutan milik Cirebon, bukan milik Sumedang. Maka mulai selepas itu hutan yang dahulunya milik Sumedang menjadi hak milik Cirebon. Bagi Sumedang sengketa ini merupakan kerugian dan pristiwa memalukan negara.
Pemerintahan di Cirebon pada Tahun 1678 dibelah menjadi 3 Kesultanan, yaitu Kasepuhan diperintah oleh Pangeran Mertawijaya, Kanoman diperintah oleh Pangeran Kertawijaya dan Kacirebonan diperintah oleh Panembahan Cirebon/ Pangeran Wangsakerta. Meskipun demikian Panembahan Kacirebonan tidak mempunyai Istana, Pangeran Wangsakerta pada waktu itu tinggal di Kasepuhan/Pakungwati bersama kakaknya Pangeran Mertawijaya yang menjadi Sultan Sepuh meskipun ia mempunyai wilayah kekuasaan.
Sultan Adiwijaya adalah penguasa ke tiga Panembahan Kacirebonan menjabat selepas Tumenggung Scadipura. Gelar Adiwijaya adalah Panembahan Gusti-II, beliau juga dipanggil Panembahan Tohpati atau Pangeran Raja Dipati.
Pada saat Sultan Adiwijaya memerintah Kacirebonan (1725-1731) terjadi sengketa dengan Sumedang, sengketa tersebut nantinya menyebabkan Sumedang kalah di pengadilan sehingga mau tidak mau harus menyerahkan wilayahnya yang berupa hutan ke Cirebon.
Konflik Sumedang dan Cirebon sebenarnya sudah terjadi sebelum masa Sultan Adiwijaya, dahulu di masa pemerintahan Panembahan Ratu (1568-1649), Prabu Geusun Ulun Raja dari Sumedang menculik Ratu Harisbaya istri Panembahan Ratu, pada masa itu terjadi perang besar antara Cirebon dengan Sumedang sehingga menyebabkan kekalahan dari pihak Sumedang. Zaman ini Sumedang didenda dengan melepaskan wilayah kekuasaanya yaitu Bhumi Sindangkasih (Majalengka) ke dalam wilayah Kekuasaan Cirebon.
Baca Juga: Ratu Harisbaya, Si Cantik Pemantik Konflik Cirebon Vs Sumedang
Meskipun pada zaman Panembahan Ratu konflik antara Sumedang dan Cirebon telah usai seiring perjanjian damai dan diserahkannya wilayah Sindangkasih ke Cirebon sebagai tanda tebusan penculikan Ratu Harisbaya, akan tetapi rasa curiga diantara penguasa di kedua kerajaan terus berlanjut hingga masa setelahnya. Sumedang dan Crebon seperti perang dingin. Keadaan sperti intulah yang dikemudian hari memantik sengketa hutan Sumedang di zaman Sultan Adiwijaya.
Sultan Adiwijaya dikenal sebagai Pangeran yang gemar berburu kijang dan menjangan di hutan, kadang-kadang kalau berburu Sultan lupa waktu, bahkan lupa segala-galanya. Pada suatu ketika Sultan Adiwijaya bersama pasukan pengiringnya berburu, mereka memasuki Hutan yang merupakan daerah kekuasaan Sumedang.
Berburu Kijang-Menjangan |
Pangeran Sumedang mengajukan gugatan ke Batavia untuk mengadili Sultan Adiwijaya ke pengadilan karena dianggap memasuki wilayah Sumedang tanpa izin. Pertarungan antara Cirebon dan Sumedangpun akhirnya pecah dipengadilan.
Pihak Sumedang menuntut ganti rugi atas masuknya Sultan Adiwijaya ke wilayahnya tanpa izin, sementara itu pihak Cirebon dengan taktik dan kepintarannya menyatakan bahwa hutan yang ia masuki bukan wilayah Sumedang melainkan wilayah Cirebon. Bahkan Sultan Adiwijaya menjelaskan bahwa bukti dari hutan tersebut masuk wilayah Cirebon adalah adanya tanda berupa Gorda (kaca) putih yang tertancap di pohon beringin. Selanjutnya untuk meyakinkan hakim, Sultan Adiwijaya kemudian melakukan serangan balik dengan menanyakan bukti kepada Pangeran Sumedang jika hutan yang dimasuki Sultan Adiwijaya adalah milik Sumedang. Dalam pengadilan rupanya Pangeran Sumedang tidak bisa membuktian, ia kalah dalam bersilat lidah.
Setelah digelarnya sengketa hutan Sumedang dalam pengadilan, akhirnya diputuskan oleh Pengadilan bahwa Hutan yang dimasuki Sultan Adiwijaya adalah hutan milik Cirebon, bukan milik Sumedang. Maka mulai selepas itu hutan yang dahulunya milik Sumedang menjadi hak milik Cirebon. Bagi Sumedang sengketa ini merupakan kerugian dan pristiwa memalukan negara.
Posting Komentar untuk "Sultan Adiwijaya Kacirebonan dan Sengketa Hutan Sumedang"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.