Panembahan Girilaya Seba Ke Mataram
Panembahan Girilaya adalah Sultan Cirebon ke II, nama aslinya Pangeran Putra pada saat menjadi Sultan Cirebon beliau bergelar Panembahan Ratu II. Cirebon pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya (1649-1662) menjadi Kesultanan bawahan Mataram. Waktu itu Mataram di rajai oleh Amangkurat I, Raja yang dikenal bengis dan kejam.
Amangkurat I sebenarnya merupakan Mertua Panembahan Girilaya, ini artinya hubungan Cirebon dan Mataram yang dibangun sejak Sultan Agung masih terus dijalin, meskipun demikian watak Amangkurat I dengan ayahnya Sultan Agung sangat jauh sekali, jika Sultan Agung begitu menghormati Cirebon karena dianggap sebagai guru dan kesultananan yang lebih tua maka tidak demikian dengan Amangkurat I.
Amangkurat I menyamakan Cirebon dengan negeri-negeri taklukan lain tidak ada penghormatan barang sedikitpun pada Cirebon, inilah yang menyebabkan orang-orang Crebon dikemudian hari terlibat penggulingan Amangkurat I melalui pemberontakan Trunojoyo.
Perlakuan Amangkurat I pada Panembahan Girilaya tergambar dari kisah seba-nya Panembahan Girilaya sebagaimana yang dikisahkan Naskah Mertasinga (Wahju, hlm 181-182). Cirebon dalam tiap tahunnya diwajiibkan seba atau menghadap Raja Mataram sebagai tanda takluk.
Panembahan Girilaya dalam tiap tahunnya melakukakn seba ke mataram pada setiap bulan Maulud. Biasanya Panembahan Girilaya berangkat dari Cirebon pada bulan Safar dan tiba di Mataram pada Tanggal 6 Bulan Maulud ketika Gamelan Sokati dibunyikan. Setiap Tahun Panembahan Ratu seba ke Mataram bersamaan dengan seba-nya para penguasa yang takluk pada Mataram. Seperti penguasa dari Kediri, Banyumas, Demak, Pajang, Madiun dan Sampang.
Pada saat melakukan seba ke Mataram, Panembahan Girilaya di dampingi oleh para pejabat Kesultanan Cirebon, seperti Ki Arya Jagastaru, Arya Salingsingan, Ki Kanduruan dan Ki Tandamuhi Wanduhaji. Ketika melakukan Seba ke Mataram kedatangan Panembahan Girilaya tidak disambut oleh Pihak Mataram, selain itu pada saat menghadap Amangkurat I, Panembahan Girilaya juga harus duduk bersimpuh di tanah selayaknya hamba sahaya.
Kondisi seba semacam itu membuat Ki Arya Jagastaru, Arya Salingsinga, Ki Kanduruan dan Ki Tandamuhi Wanduhaji merasa emosi atas kesombongan Amangkurat I, mereka akhirnya mengusulkan pada Panembahan Girilaya agar Cirebon berontak pada Mataram.
Saran dari para pejabat Kesultanan Cirebon tidak ditanggapi oleh Panembahan Girilaya, beliau menganggap Cirebon melakukan hal tersebut semata-mata karena menghormati nasehat dan Petunjuk Sunan Kalijaga. Bagi Panembahan Girilaya Cirebon bersedia takluk dibawah Mataram bukan karena kalah perang melainkan menuruti kehendak Sunan Kalijaga.
Amangkurat I sebenarnya merupakan Mertua Panembahan Girilaya, ini artinya hubungan Cirebon dan Mataram yang dibangun sejak Sultan Agung masih terus dijalin, meskipun demikian watak Amangkurat I dengan ayahnya Sultan Agung sangat jauh sekali, jika Sultan Agung begitu menghormati Cirebon karena dianggap sebagai guru dan kesultananan yang lebih tua maka tidak demikian dengan Amangkurat I.
Amangkurat I menyamakan Cirebon dengan negeri-negeri taklukan lain tidak ada penghormatan barang sedikitpun pada Cirebon, inilah yang menyebabkan orang-orang Crebon dikemudian hari terlibat penggulingan Amangkurat I melalui pemberontakan Trunojoyo.
Perlakuan Amangkurat I pada Panembahan Girilaya tergambar dari kisah seba-nya Panembahan Girilaya sebagaimana yang dikisahkan Naskah Mertasinga (Wahju, hlm 181-182). Cirebon dalam tiap tahunnya diwajiibkan seba atau menghadap Raja Mataram sebagai tanda takluk.
Panembahan Girilaya dalam tiap tahunnya melakukakn seba ke mataram pada setiap bulan Maulud. Biasanya Panembahan Girilaya berangkat dari Cirebon pada bulan Safar dan tiba di Mataram pada Tanggal 6 Bulan Maulud ketika Gamelan Sokati dibunyikan. Setiap Tahun Panembahan Ratu seba ke Mataram bersamaan dengan seba-nya para penguasa yang takluk pada Mataram. Seperti penguasa dari Kediri, Banyumas, Demak, Pajang, Madiun dan Sampang.
Pada saat melakukan seba ke Mataram, Panembahan Girilaya di dampingi oleh para pejabat Kesultanan Cirebon, seperti Ki Arya Jagastaru, Arya Salingsingan, Ki Kanduruan dan Ki Tandamuhi Wanduhaji. Ketika melakukan Seba ke Mataram kedatangan Panembahan Girilaya tidak disambut oleh Pihak Mataram, selain itu pada saat menghadap Amangkurat I, Panembahan Girilaya juga harus duduk bersimpuh di tanah selayaknya hamba sahaya.
Kondisi seba semacam itu membuat Ki Arya Jagastaru, Arya Salingsinga, Ki Kanduruan dan Ki Tandamuhi Wanduhaji merasa emosi atas kesombongan Amangkurat I, mereka akhirnya mengusulkan pada Panembahan Girilaya agar Cirebon berontak pada Mataram.
Saran dari para pejabat Kesultanan Cirebon tidak ditanggapi oleh Panembahan Girilaya, beliau menganggap Cirebon melakukan hal tersebut semata-mata karena menghormati nasehat dan Petunjuk Sunan Kalijaga. Bagi Panembahan Girilaya Cirebon bersedia takluk dibawah Mataram bukan karena kalah perang melainkan menuruti kehendak Sunan Kalijaga.
Posting Komentar untuk "Panembahan Girilaya Seba Ke Mataram"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.