Arti Semar dalam Bahasa Arab
Semar adalah salah satu tokoh dalam pewayangan yang sangat begitu terkenal, Semar digambarkan sebagai tokoh bijak berpenampilan aneh pengasuh para kesatria yang baik hati (Pandawa). Semar merupakan tokoh yang diciptakan pujangga Jawa sebab dalam kisah kehidupan Pandawa (Mahabarata) di India tidak dijumpai tokoh bernama Semar. Tokoh Semar diyakini diciptakan oleh Pujangga Islam yang menggunakan wayang untuk berdakwah, sebab itulah ada yang menganggap Semar sejatinya berasal dari bahasa Arab.
Menurut pendapat yang lazim dibicarakan kata Semar berasal dari kata bahasa Arab “Ismar” selanjutnya kata ismar dalam pengucapan lidah Jawa menjadi Semar, dari suku kata is dalam ucapan lidah Jawa biasanya berubah menjadi se, misalnya Ismangun menjadi Semangun, Istambul menjadi Setambul, dan seterusnya. Ismar dalam bahasa Arab berarti paku, fungsinya sebagai pengokoh yang goyah. ibarat ajaran Islam yang di dakwahkan oleh walisongo diseluruh kerajaan Majapahit yang pada waktu itu sedang dalam pergolakan dan berakhir dengan didirikannya kerajaan Demak oleh Raden Fatah.
Semar juga dijuluki Badranaya. Badra asalnya dari kata bahasa Arab “badrun” yang artinya rembulan, sedangkan naya merupakan bahasa Jawa Kuno yang berarti wajah adapun yang dimaksud Nayantaka adalah berarti Wajah Pucat, karena Naya berarti wajah dan taka berarti pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (dalam pustaka hastabrata) dan seorang figur yang memiliki wajah pucat.
Artinya, Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semar reka den prayitna, Semare artinya menidurkan diri agar batin selalu awas. Maka, yang ditidurkan adalah pancaindranya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai dibalik kalimat wanimati sajeoning urip (berani mati di dalam hidup).
Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan kedalam setiap watak kita seharihari dalam pergaulan. Pucat (dingin) alias tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagai watak badranaya atau wajah rembulan.
Pada buku merumuskan kembali intralisasi Islam-Jawa, Semar juga biasa di juluki dengan nama Badranaya, hanya saja ada perbedaan arti Badra artinya kebahagiaan, naya artinya kebijaksanaan (politik). Politik kebijaksanaan menuju kebahagiaa, yaitu dengan jalan memimpin rakyat untuk beribadah. Negara akan stabil bila Semar berwujud kesatria dan bersemayam dipertapaan Kandang Penyu, yang maknanya ibadah adalah untuk mengadakan penyuwunan atau permohonan kehadirat Allah SWT.
Semar selalu hadir dalam setiap lakon wayang dan kehadirannya sangat dinanti para penggemarnya. Meski dia seorang abdi, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, tapi dibalik wujud lahirnya tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, mampu menyelesaikan masalah. sabar dan bijaksana. Selain sabar, Semar juga memiliki watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak mudah kaget dan tidak gampang heran.
Dikuatkan dalam buku Dunia Semar ditulis oleh Ardian Kresna. Secara umum, bentuk penggambaran ciri-ciri sosok Semar dalam wayang kulit sebagai berikut :
Menurut serat Paramayoga dalam buku Rupa dan Karakter Wayang Purwa yang di tulis oleh Heru S Sudjaruto, Sumari, Udang Wiyono dikisahkan bahwa :
Sang Hyang Ismaya adalah salah seorang dari tiga putra Hyang Tunggal. Ibunya adalah Dewi Rakti. Tetapi dalam pewayangan umumnya, terutama Wayang Purwa ibu Sang Hyang Ismaya adalah Dewi Rekatawati. Istri Sang Hyang Ismaya menurut Paramayoga ialah Dewi Senggani sedangkan dalam pedalangan adalah Dewi Kanastri atau Kanastren.
Sang Hyang Ismaya lahir bersamaan dengan kedua saudaranya, Sang Hyang Manikmaya dan Sang Hyang Antaga. Mulanya mereka lahir dalam wujud cahaya yang kemudian berubah wujud menjadi sebutir telur. Oleh Sang Hyang Tunggal, telur itu dipuja menjadi tiga orang putra. Kulit telurnya menjadi Sang Hyang Antaga, putih telurnya menjadi Sang Hyang Ismaya, sedangkan kuning telurnya menjadi Sang Hyang Manikmaya.
Ketiga anak itu semua merasa dirinya paling sakti dan paling pantas menjadi pewaris kedudukan Sang Hyang Tunggal sebagai penguasa alam kahyangan. Karena tidak satupun diantara mereka yang mau mengalah. Sang Hyang Tunggal memberi persyaratan : ”siapa diantara yang sanggup menelan gunung Mahameru dan memuntahkannya kembali dialah yang berhak atas singgah sana Kahyangan.”
Sang Hyang Antaga mendapat kesempatan pertama untuk menunjukkan kesaktiannya. Dia berusaha keras menelan gunung itu tetapi sampai mulutnya robek, gunung itu tidak juga tertelan. Giliran kedua, Sang Hyang Ismaya dengan kesaktian yang dimilikinya, dia berhasil menelan Mahameru, tetapi tidak sanggup memuntahkan kembali. Dicobanya mengeluarkan gunung itu lewat dubur juga tidak berhasil.
Gunung berhenti didalam perut Ismaya. Karena gunung tertelan, Sang Hyang Manikmaya tidak mendapat kesempatan membuktikan kesaktiannya. Sehingga Sang Hyang Manikmaya yang ditetapkan Sang Hyang Tunggal sebagai pewaris takhta kahyangan.
Sang Hyang Ismaya diperintah oleh ayahnya untuk turun kedunia dan bertindak sebagai pamong bagi manusia yang berbudi baik. Sebagi pamong Ismaya menggunakanan nama Semar, Samarasanta, Semarsanta, Janabadra dan Badranaya. Tutrunnya Batara Ismaya ke Marcapada (Bumi) sebagai Semar bersamaan waktu dengan kelahiran Bambang Manunumasa, Putra Bambang Parikenan. Manumansa adalah manusia pertama yang menjadi momongan (asuhan) Semar.
Begitu juga dalam buku lain diceritakan bahwa Langit dan bumi pada zaman purwa carita dikuasai oleh Sang Hyang Wenang, yang mempunyai anak bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal kemudian beristri Dewi Rekatawati, putri kepiting raksaasa bernama Rekatama.
Pada suatu hari Dewi Rekatawati bertelur dan seketika itu telur terbang kelangit menuju kehadapan Sang Hyang wenang. Telur itu menetes sendiri, kemudian muncul tiga makhluk yang berasal dari kulit telur, putih telur dan kuning telur. Makhluk yang berasal dari kulit telur dinamai Tejamantri, dari putih telur adalah Ismaya, dan yang dari kuning telur bernama Manikmaya.
Dalam riwayat lain, telur tersebut menetes menjadi langit, bumi dan cahaya atau teja. Pada suatu hari mereka terlibat pertengkaran karena mempermasalahkan siapa yang akan menggantikan kedudukan ayahnya kelak sebagai pnguasa. Manikmaya menyarankan agar diadakan pertandingan menelan gunung dan memuntahkannya kembali.
Tejamantri melakukannya terlebih dahulu, tetapi gagal. Kemudian Ismaya dapat menelannya, tetapi tidak berhasil memuntahkannya kembali. Kejadian ini menyebabkan terjadinya gara-gara atau bencana. Gara-gara ini menyebabkan Sang Hyang Wenang turun tangan dan megambil keputusan bahwa pada waktunya, Manikmaya akan menadi raja para dewa, pengusaha kahiyangan dan akan mempunyai keturunan yang akan menjadi penduduk bumi.
Sementara Tejamantri dan Ismaya harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan manikmaya. Keduanya boleh menghadap Sang Hyang Wenang jika manikmaya bertindak tidak adil. Sejak saat itu nama mereka diganti. Tejamantri menjadi Togog, Ismaya dinamakan Semar, dan Manikmaya menjadi Batara Guru. Karena sebuah gunung pernah ditelannya, bentuk tubuh Semar menjadi besar, gemuk dan bundar.
Disamping itu menurut Dr. G.A.J. Haezu dalam buku Ardian Kresna menyatakan bahwa Semar bukan berasal dari India, tetapi asli dari Jawa. Baik nama, cara mempertunjukannya, maupun bentuknya menunjukan bahwa Semar dan anak-anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) berasal dari Jawa. Alasannya banyolan atau lawakan telah sering kali disebut-sebut didalam tulisan-tilisan naskah kuno sebagai bagian pertunjukan tersendiri.
Sebagai contoh adalah juru banyaol, baringgit abanyol, banabanwal, atau pukana ringgit. Semar adalah nama dari seorang leluhur masyarakat Jawa yang bayangannya sudah dipertunjukan didalam permainan bayangan atau wayang yang sifatnya dianggap religious (keagamaan). Semar adalah nenek moyang Jawa dan merupakan tohoh yang menjadi kesayangan dari mitilogi religi asli masyarakat Jawa.
Menurut pendapat yang lazim dibicarakan kata Semar berasal dari kata bahasa Arab “Ismar” selanjutnya kata ismar dalam pengucapan lidah Jawa menjadi Semar, dari suku kata is dalam ucapan lidah Jawa biasanya berubah menjadi se, misalnya Ismangun menjadi Semangun, Istambul menjadi Setambul, dan seterusnya. Ismar dalam bahasa Arab berarti paku, fungsinya sebagai pengokoh yang goyah. ibarat ajaran Islam yang di dakwahkan oleh walisongo diseluruh kerajaan Majapahit yang pada waktu itu sedang dalam pergolakan dan berakhir dengan didirikannya kerajaan Demak oleh Raden Fatah.
Semar juga dijuluki Badranaya. Badra asalnya dari kata bahasa Arab “badrun” yang artinya rembulan, sedangkan naya merupakan bahasa Jawa Kuno yang berarti wajah adapun yang dimaksud Nayantaka adalah berarti Wajah Pucat, karena Naya berarti wajah dan taka berarti pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (dalam pustaka hastabrata) dan seorang figur yang memiliki wajah pucat.
Artinya, Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semar reka den prayitna, Semare artinya menidurkan diri agar batin selalu awas. Maka, yang ditidurkan adalah pancaindranya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai dibalik kalimat wanimati sajeoning urip (berani mati di dalam hidup).
Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan kedalam setiap watak kita seharihari dalam pergaulan. Pucat (dingin) alias tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagai watak badranaya atau wajah rembulan.
Pada buku merumuskan kembali intralisasi Islam-Jawa, Semar juga biasa di juluki dengan nama Badranaya, hanya saja ada perbedaan arti Badra artinya kebahagiaan, naya artinya kebijaksanaan (politik). Politik kebijaksanaan menuju kebahagiaa, yaitu dengan jalan memimpin rakyat untuk beribadah. Negara akan stabil bila Semar berwujud kesatria dan bersemayam dipertapaan Kandang Penyu, yang maknanya ibadah adalah untuk mengadakan penyuwunan atau permohonan kehadirat Allah SWT.
Karakter Semar
Dalam cerita wayang, sosok Semar mencerminkan tingkah laku yang terpuji dalam menyelesaikan masalah lingkungan yang mencangkup pertimbangan kebudayaaan. Perbuatan Semar, yang dalam pembahasan ini, mengenai cara yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin dalam bertindak menunjukan adanya bimbingan berdasarkan konsep-konsep dan kepercayaan orang Jawa, yang membawa kearah dan tujuan yang rasional. Putusan Semar dapat diterima oleh semua pihak.Semar selalu hadir dalam setiap lakon wayang dan kehadirannya sangat dinanti para penggemarnya. Meski dia seorang abdi, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, tapi dibalik wujud lahirnya tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, mampu menyelesaikan masalah. sabar dan bijaksana. Selain sabar, Semar juga memiliki watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak mudah kaget dan tidak gampang heran.
Gambaran Sosok Semar
Gambar sosok Semar dilukiskan sebagai makhluk yang tidak jelas identitasnya, artinya serba samar. Dikatakan laki-laki sering dipanggil rama atau kakang, tetapi berpawakan seperti perempuan, serba bulat dengan dada berkembang seperti payudara perempuan. Dikatakan tua rambutnya dikuncung seperti anak kecil, wajahnya seperti menangis, tetapi juga seperti tertawa sehingga sulit dibedakan antara tangis dan tawa.Dikuatkan dalam buku Dunia Semar ditulis oleh Ardian Kresna. Secara umum, bentuk penggambaran ciri-ciri sosok Semar dalam wayang kulit sebagai berikut :
- Semar berkuncung seperti kanak-kanak, tapi juga berwajah sangat tua
- Saat Semar tertawa, selalu diakhiri dengan tangisan
- Mata semar terlihat menangis, tapi mulutnya tertawa
- Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
- Semar tak pernah menyuruh. tapi memberikan konsekuensi atas nasihatnya
Asal-Usul Semar
Sebagai tokoh pewayangan, para Pujangga yang membuatnya juga menyertakan asal-usulnya. Semar merupakan titisan Sang Hyang Ismaya yang melakukan jalan kematian, suatu ketika Semar mendapat titah untuk turun kedunia oleh Sang Hyang Tunggal. Oleh karena itu Sang Hyang Ismaya yang semula berwajah tampan dan bertubuh apik berubah menjadi buruk rupa, akan tetapi, sebelum turun ke dunia Semar meminta kawan.Menurut serat Paramayoga dalam buku Rupa dan Karakter Wayang Purwa yang di tulis oleh Heru S Sudjaruto, Sumari, Udang Wiyono dikisahkan bahwa :
Sang Hyang Ismaya adalah salah seorang dari tiga putra Hyang Tunggal. Ibunya adalah Dewi Rakti. Tetapi dalam pewayangan umumnya, terutama Wayang Purwa ibu Sang Hyang Ismaya adalah Dewi Rekatawati. Istri Sang Hyang Ismaya menurut Paramayoga ialah Dewi Senggani sedangkan dalam pedalangan adalah Dewi Kanastri atau Kanastren.
Sang Hyang Ismaya lahir bersamaan dengan kedua saudaranya, Sang Hyang Manikmaya dan Sang Hyang Antaga. Mulanya mereka lahir dalam wujud cahaya yang kemudian berubah wujud menjadi sebutir telur. Oleh Sang Hyang Tunggal, telur itu dipuja menjadi tiga orang putra. Kulit telurnya menjadi Sang Hyang Antaga, putih telurnya menjadi Sang Hyang Ismaya, sedangkan kuning telurnya menjadi Sang Hyang Manikmaya.
Ketiga anak itu semua merasa dirinya paling sakti dan paling pantas menjadi pewaris kedudukan Sang Hyang Tunggal sebagai penguasa alam kahyangan. Karena tidak satupun diantara mereka yang mau mengalah. Sang Hyang Tunggal memberi persyaratan : ”siapa diantara yang sanggup menelan gunung Mahameru dan memuntahkannya kembali dialah yang berhak atas singgah sana Kahyangan.”
Sang Hyang Antaga mendapat kesempatan pertama untuk menunjukkan kesaktiannya. Dia berusaha keras menelan gunung itu tetapi sampai mulutnya robek, gunung itu tidak juga tertelan. Giliran kedua, Sang Hyang Ismaya dengan kesaktian yang dimilikinya, dia berhasil menelan Mahameru, tetapi tidak sanggup memuntahkan kembali. Dicobanya mengeluarkan gunung itu lewat dubur juga tidak berhasil.
Gunung berhenti didalam perut Ismaya. Karena gunung tertelan, Sang Hyang Manikmaya tidak mendapat kesempatan membuktikan kesaktiannya. Sehingga Sang Hyang Manikmaya yang ditetapkan Sang Hyang Tunggal sebagai pewaris takhta kahyangan.
Sang Hyang Ismaya diperintah oleh ayahnya untuk turun kedunia dan bertindak sebagai pamong bagi manusia yang berbudi baik. Sebagi pamong Ismaya menggunakanan nama Semar, Samarasanta, Semarsanta, Janabadra dan Badranaya. Tutrunnya Batara Ismaya ke Marcapada (Bumi) sebagai Semar bersamaan waktu dengan kelahiran Bambang Manunumasa, Putra Bambang Parikenan. Manumansa adalah manusia pertama yang menjadi momongan (asuhan) Semar.
Begitu juga dalam buku lain diceritakan bahwa Langit dan bumi pada zaman purwa carita dikuasai oleh Sang Hyang Wenang, yang mempunyai anak bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal kemudian beristri Dewi Rekatawati, putri kepiting raksaasa bernama Rekatama.
Pada suatu hari Dewi Rekatawati bertelur dan seketika itu telur terbang kelangit menuju kehadapan Sang Hyang wenang. Telur itu menetes sendiri, kemudian muncul tiga makhluk yang berasal dari kulit telur, putih telur dan kuning telur. Makhluk yang berasal dari kulit telur dinamai Tejamantri, dari putih telur adalah Ismaya, dan yang dari kuning telur bernama Manikmaya.
Dalam riwayat lain, telur tersebut menetes menjadi langit, bumi dan cahaya atau teja. Pada suatu hari mereka terlibat pertengkaran karena mempermasalahkan siapa yang akan menggantikan kedudukan ayahnya kelak sebagai pnguasa. Manikmaya menyarankan agar diadakan pertandingan menelan gunung dan memuntahkannya kembali.
Tejamantri melakukannya terlebih dahulu, tetapi gagal. Kemudian Ismaya dapat menelannya, tetapi tidak berhasil memuntahkannya kembali. Kejadian ini menyebabkan terjadinya gara-gara atau bencana. Gara-gara ini menyebabkan Sang Hyang Wenang turun tangan dan megambil keputusan bahwa pada waktunya, Manikmaya akan menadi raja para dewa, pengusaha kahiyangan dan akan mempunyai keturunan yang akan menjadi penduduk bumi.
Sementara Tejamantri dan Ismaya harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan manikmaya. Keduanya boleh menghadap Sang Hyang Wenang jika manikmaya bertindak tidak adil. Sejak saat itu nama mereka diganti. Tejamantri menjadi Togog, Ismaya dinamakan Semar, dan Manikmaya menjadi Batara Guru. Karena sebuah gunung pernah ditelannya, bentuk tubuh Semar menjadi besar, gemuk dan bundar.
Disamping itu menurut Dr. G.A.J. Haezu dalam buku Ardian Kresna menyatakan bahwa Semar bukan berasal dari India, tetapi asli dari Jawa. Baik nama, cara mempertunjukannya, maupun bentuknya menunjukan bahwa Semar dan anak-anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) berasal dari Jawa. Alasannya banyolan atau lawakan telah sering kali disebut-sebut didalam tulisan-tilisan naskah kuno sebagai bagian pertunjukan tersendiri.
Sebagai contoh adalah juru banyaol, baringgit abanyol, banabanwal, atau pukana ringgit. Semar adalah nama dari seorang leluhur masyarakat Jawa yang bayangannya sudah dipertunjukan didalam permainan bayangan atau wayang yang sifatnya dianggap religious (keagamaan). Semar adalah nenek moyang Jawa dan merupakan tohoh yang menjadi kesayangan dari mitilogi religi asli masyarakat Jawa.
Se (kelompok)mar/(maria/mariam).
BalasHapus