Biografi Dyah Halayuda-Mahapati
Dyah Halayuda atau juga disebut Mahapati adalah tokoh yang dalam beberapa sumber sejarah disebut sebagai Patih Kerajaan Majapahit pengganti Patih Nambi (1316), Dyah Halayuda digambarkan hidup sejak pemerintahan Raden Wijaya dan Jaya Negara.
Dyah Halayuda digambarkan sebagai seseorang yang memperoleh kedudukan Patih Majapahit dengan cara-cara yang tak terpuji, melalui adu domba dan fitnahnya para pejuang dan pejabat Majapahit yang dirasa menghalangi tujuannya seperti Ranggalawe, Lembu Sora, Nambi menjadi sasaran fitnah dan adu dombanya.
Meskipun terkenal piawai dalam mengadu domba lawan politiknya, serta memiliki taktik licik yang seolah-olah tiada seorangpun yang mampu menandinginya, Dyah Halayuda akhirnya tumbang juga. Bahkan di akhir hayatnya ia wafat dengan tragis, ia dibunuh dengan cara di Cineleng-Celeng, yaitu salah satu pembunuhan terkeji yang ada dizaman Majapahit.
Istilah “Maha” bermakna besar, sementara “Pati” bermakna penguasa. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Mahapati merupakan seorang yang berambisi besar untuk menjadi penguasa. Karenanya nama Mahapati bukanlah nama asli, melainkan nama julukan yang dituliskan pengarang Pararaton maupun Kidung Sorandaka untuk menggambarkan watak Dyah Halayuda yang ambisius dan licik.
Jika merujuk pada Prasasti Sidateka (1323) Dyah Halayuda digambarkan sebagai orang yang berasal dari keluarga bangsawan. Dari itulah Sejarawan menduga bahwa munculnya dendam Halayuda pada para pejuang Majapahit seperti Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi dilatar belakangi oleh iri hati. Ia merasa lebih tinggi drajat kebangsawannanya daripada Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi akan tetapi justru Raja menganugerahi jabatan yang lebih tinggi pada ketiganya.
Akrobat pertama Dyah Halayuda untuk menggapai ambisinya menjadi Mahapatih Mangkubhumi mula-mula dilakukannya dengan menghasut Ranggalawe agar menentang pengangkatan Nambi menjadi Patih. Sebaliknya ia juga menghasut Nambi agar menghukum kelancangan Ranggalawe.
Akibat adu domba tersebut, perang saudara meletus. Dalam perang tersebut Ranggalawe terbunuh di Sungai Tambak Beras. Di Bunuh dengan kejam oleh Mahisa Anabrang, kelak karena sakit hati melihat pembunuhan yang dilakukan Kebo Anabrang dengan kejam, Lembu Sora yang merupakan keponakan Ranggalawe membunuh Kebo Anabrang pada hari itu juga.
Pada Tahun 1300, Dyah Halayuda melancarkan akrobat kedua, kali ini ia menghasut Mahisa Taruna Putra Mahisa Anabrang agar menuntut pengadilan untuk Lembu Sora yang telah membunuh ayahnya. Namun karena Raja Majapahit (Raden Wijaya) menanggap Lembu Sora sangat berjasa bagi Majapahit, Lembu Sora hanya dihukum buang.
Setelah itu, Dyah Halayuda rupanya menghasut Lembu Sora agar meminta hukuman yang lebih layak bagi seorang pejuang, hukum buang bagi seorang pejuang adalah penghinaan, begitu hasutan Dyah Halayuda. Oleh karena itu Lembu Sora yang sudah dibuang mendatangi Keraton Majapahit menuntut hukuman mati, akan tetapi dihalaman Istana Lembu sora dibunuh pengawal Istana karena berani menerobos Istana.
Pada Tahun 1316, Dyah Halayuda melancarkan akrobat ketiga, Dyah Halayuda mengadu domba Nambi dengan Raja Majapahit (Jaya Negara). Suatu ketika Nambi mengambil cuti karena Pranaraja ayahnya yang tinggal di Lumajang wafat.
Dyah Halayuda datang melayat sambil menyarankan agar Nambi memperpanjang cuti. Mahapati brsedia menyampaikan permohonan izin pada Raja. Namun dihadapan Raja, Dyah Halayuda justru mengabarkan bahwa Nambi Tidak mau kembali ke Majapahit karena tengah mempersiapkan pemberontakan.
Jaya Negara marah dan mengirimkan pasukan untuk menghancurkan Lumajang. Akibat serangan tersebut Nabi dan seluruh keluarganya tewas. Sepeninggal Nambi, Dyah Halayuda berhasil meraih ambisinya, sebab ia diangkat menjadi orang terkuat kedua setelah Raja di Majapahit, yaitu menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit menggantikan kedudukan Nambi.
Selepas pembersihan pemberontakan Rakyan Kuti, Dyah Halayuda masih tetap menjadi Patih di Majapahit, akan tetapi Dyah Halayuda rupanya kurang didengar Raja, para sejarawan menduga bahwa Jaya Negara mengetahui bahwa dalang dari kerusuhan di Majapahit (Terbunuhnya Ranggalawe-Namb-Pemberontakan Ra Kuti) adalah Dyah Halayuda.
Retaknya hubungan Dyah Halayuda dan Jaya Negara menjadi akhir dari riwayat hidup Dyah Halayuda, sebab ia akhirnya dibunuh oleh Gajah Mada dengan cara di Cineleng-Celeng atau dicingcang-cingcang selayaknya babi hutan.
Dyah Halayuda digambarkan sebagai seseorang yang memperoleh kedudukan Patih Majapahit dengan cara-cara yang tak terpuji, melalui adu domba dan fitnahnya para pejuang dan pejabat Majapahit yang dirasa menghalangi tujuannya seperti Ranggalawe, Lembu Sora, Nambi menjadi sasaran fitnah dan adu dombanya.
Meskipun terkenal piawai dalam mengadu domba lawan politiknya, serta memiliki taktik licik yang seolah-olah tiada seorangpun yang mampu menandinginya, Dyah Halayuda akhirnya tumbang juga. Bahkan di akhir hayatnya ia wafat dengan tragis, ia dibunuh dengan cara di Cineleng-Celeng, yaitu salah satu pembunuhan terkeji yang ada dizaman Majapahit.
Mengenal Tokoh Dyah Halayuda
Nama Dyah Halayuda tercatat dalam Prasasti Sidateka (1323), beberapa Sejarawan menyimpulkan bahawa tokoh Dyah Halayuda merupakan tokoh yang identik dengan tokoh “Mahapati” yang digambarkan dalam naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka.Istilah “Maha” bermakna besar, sementara “Pati” bermakna penguasa. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Mahapati merupakan seorang yang berambisi besar untuk menjadi penguasa. Karenanya nama Mahapati bukanlah nama asli, melainkan nama julukan yang dituliskan pengarang Pararaton maupun Kidung Sorandaka untuk menggambarkan watak Dyah Halayuda yang ambisius dan licik.
Jika merujuk pada Prasasti Sidateka (1323) Dyah Halayuda digambarkan sebagai orang yang berasal dari keluarga bangsawan. Dari itulah Sejarawan menduga bahwa munculnya dendam Halayuda pada para pejuang Majapahit seperti Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi dilatar belakangi oleh iri hati. Ia merasa lebih tinggi drajat kebangsawannanya daripada Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi akan tetapi justru Raja menganugerahi jabatan yang lebih tinggi pada ketiganya.
Akrobat Dyah Halayuda Dalam Menggapai Kuasa
Sebagaimana disebutkan dalam Kidung Sorandaka, bahwa Mahapati atau Dyah Halayuda adalah tokoh licik yang gemar melancarkan fitnah dan adu domba demi meraih ambisinya menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit.Akrobat pertama Dyah Halayuda untuk menggapai ambisinya menjadi Mahapatih Mangkubhumi mula-mula dilakukannya dengan menghasut Ranggalawe agar menentang pengangkatan Nambi menjadi Patih. Sebaliknya ia juga menghasut Nambi agar menghukum kelancangan Ranggalawe.
Akibat adu domba tersebut, perang saudara meletus. Dalam perang tersebut Ranggalawe terbunuh di Sungai Tambak Beras. Di Bunuh dengan kejam oleh Mahisa Anabrang, kelak karena sakit hati melihat pembunuhan yang dilakukan Kebo Anabrang dengan kejam, Lembu Sora yang merupakan keponakan Ranggalawe membunuh Kebo Anabrang pada hari itu juga.
Pada Tahun 1300, Dyah Halayuda melancarkan akrobat kedua, kali ini ia menghasut Mahisa Taruna Putra Mahisa Anabrang agar menuntut pengadilan untuk Lembu Sora yang telah membunuh ayahnya. Namun karena Raja Majapahit (Raden Wijaya) menanggap Lembu Sora sangat berjasa bagi Majapahit, Lembu Sora hanya dihukum buang.
Setelah itu, Dyah Halayuda rupanya menghasut Lembu Sora agar meminta hukuman yang lebih layak bagi seorang pejuang, hukum buang bagi seorang pejuang adalah penghinaan, begitu hasutan Dyah Halayuda. Oleh karena itu Lembu Sora yang sudah dibuang mendatangi Keraton Majapahit menuntut hukuman mati, akan tetapi dihalaman Istana Lembu sora dibunuh pengawal Istana karena berani menerobos Istana.
Pada Tahun 1316, Dyah Halayuda melancarkan akrobat ketiga, Dyah Halayuda mengadu domba Nambi dengan Raja Majapahit (Jaya Negara). Suatu ketika Nambi mengambil cuti karena Pranaraja ayahnya yang tinggal di Lumajang wafat.
Dyah Halayuda datang melayat sambil menyarankan agar Nambi memperpanjang cuti. Mahapati brsedia menyampaikan permohonan izin pada Raja. Namun dihadapan Raja, Dyah Halayuda justru mengabarkan bahwa Nambi Tidak mau kembali ke Majapahit karena tengah mempersiapkan pemberontakan.
Jaya Negara marah dan mengirimkan pasukan untuk menghancurkan Lumajang. Akibat serangan tersebut Nabi dan seluruh keluarganya tewas. Sepeninggal Nambi, Dyah Halayuda berhasil meraih ambisinya, sebab ia diangkat menjadi orang terkuat kedua setelah Raja di Majapahit, yaitu menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit menggantikan kedudukan Nambi.
Akhir Hayat Dyah Halayuda
Pada Tahun 1319, Terjadi pemberontakan Rakyan Kuti (Ra Kuti). Pemberontakan tersebut pada akhirnya dapat ditumpas oleh Gajah Mada, sejak saat itu Gajah Mada menjadi abdi kesayangan Raja Jaya Negara.Selepas pembersihan pemberontakan Rakyan Kuti, Dyah Halayuda masih tetap menjadi Patih di Majapahit, akan tetapi Dyah Halayuda rupanya kurang didengar Raja, para sejarawan menduga bahwa Jaya Negara mengetahui bahwa dalang dari kerusuhan di Majapahit (Terbunuhnya Ranggalawe-Namb-Pemberontakan Ra Kuti) adalah Dyah Halayuda.
Retaknya hubungan Dyah Halayuda dan Jaya Negara menjadi akhir dari riwayat hidup Dyah Halayuda, sebab ia akhirnya dibunuh oleh Gajah Mada dengan cara di Cineleng-Celeng atau dicingcang-cingcang selayaknya babi hutan.
Inilah antiklimaks yg saya tunggu2 setelah mendengar sandiwara radio tutur tinular.
BalasHapus