Kegiatan Ekonomi di Kerajaan Pajajaran
Kegiatan Ekonomi di wilayah Kerajaan Pajajaran tergambar dari catatan kuno yang sedikit banyak menginformasikan tentang pencaharian orang Sunda, dari mulai berladang, membuat barang-barang seni, berdagang sampai pada jenis uang yang berlaku di Kerajaan Pajajaran.
Menurut Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, dalam kegiatan Ekonomi orang Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran memiliki keberagaman profesi sesuai dengan kelompok-kelompoknya, ada yang menjadi petani dengan berladang, ada yang menjadi agamawan dan cendekiawan, ada yang menjadi alat negara, kelompok orang utas, kelompok juru lukis, kelompok pandai mas, kelompok pembuat perabot dari tembaga, kelompok pembuat wayang, kelompok penabuh gamelan, kelompok penggembala, kelompok peternak, kelompok pemungut pajak di pelabuhan, kelompok yang sebagai alat negara, kelompok prajurit atau tentara, kelompok pawang laut dan kelompok juru masak.
Dari berbagai kelompok masyarakat yang telah disebutkan di atas, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing, disebut ngawakan tapa di nagara (Melaksanakan Tapa Di Tengah Negara).
Selain itu masih dalam Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, disebutkan juga ada juga masyarakat yang kegiatan ekonominya dikelompokan sebagai Guru Nista yakni pekerjaan yang dikerjakan oleh kelompok yang melakukan kegiatan dengan cara mencopet, mencuri, membegal, dan menjual diri (dilakukan oleh wanita). Mata pencarian ini tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Kelompok pekerjaan dinamakan sebagai guru nista, karena dianggap nista dan hina.
Kegiatan Ekonomi juga ditemui dalam Carita Parahiyangan dimana dalam naskah tersebut ditemukan istilah Sawah Tampian Dalem, juga ditemukan istilah Pahuma (peladang), Penggerak (pemburu) dan Panyadap (penyadap).
Karena Kerajaan Pajajaran memang sebuah negara dengan corak agraris. Walaupun demikian, Kerajaan Pajajaran tidak bisa terlepas dari perdagangan, khususnya perdagangan yang telah lama berjalan di enam Bandar/Kota Pelabuhan.
Barang-barang pertanian yang merupakan sumber penghasilan utama Kerajaan Pajajaran adalah bahan makanan dan lada. Lada yang dihasilkan oleh Kerajaan Pajajaran setiap tahunnya mencapai lebih dari 1.000 bahar, sedangkan mutunya lebih baik dari lada yang dihasilkan oleh daerah Kocin (Asia Tenggara).
Selain lada, penghasilan yang mendukung pertumbuhan ekonomi Kerajaan Sunda ini adalah asam, tetapi barang pokok yang menjadi komoditas utama tetap beras. Beras menjadi sumber utama perdagangan kerajaan. Sedangkan barang pendukung seperti sayuran, buah-buahan, sapi, kambing, biri-biri, babi, luwak, tuak. Selain itu ada juga berjenis- jenis bahan pakaian yang didatangkan dari Kambay (India), di samping itu juga terdapat perdagangan budak (pembantu).
Dalam bertransaksi, selain barter masyarakat Sunda juga menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Mereka menggunakan mata uang milik Cina untuk pembayaran kecil. Berdasarkan catatan Tome Pires bahwa mata uang yang digunakan oleh masyarakat Sunda pada zaman dahulu disebut Ceitis, Calais (= 1.000 Ceitis), uang mas 8 mates dan Tumdaya (= 15 drahma). Sayang sekali, kita tidak bisa mengetahui berapa kira-kira nilai tukarnya sekarang ini.
Melalui keenam bandar laut tersebut, perahu niaga luar negeri terutama pedagang dari Cina telah keluar masuk mampir di pelabuhan. Sementara itu, penduduk yang mukimnya dekat dengan bandar selalu menghabiskan waktu berlayar dan berniaga sampai ke Selat Malaka. Bandar-bandar Kerajaan Pajajaran oleh Tome Pires digambarkan sebagai berikut:
Pontang, merupakan kota yang besar, tetapi fungsi pelabuhan tidak sepenting Banten. Perniagaan dan barang-barang yang diperdagangkan sama dengan Bandar Banten.
Cigede, merupakan kota yang tergolong besar di Jawa Barat pada masanya. Permiagaan dan perdagangan barang di daerah ini dilakukan dengan Pariaman, Andalas, Tulung Bawang. Sekampung dan lain-lain. Barang dagangan tidak jauh berbeda dengan kedua bandar sebelumnya.
Tamgara, merupakan sebuah kota besar, barang niaganya juga sama seperti bandar-bandar yang telah disebutkan di atas.
Kalapa, merupakan sebuah kota yang terbaik dari beberapa bandar di atas. Bandar ini memiliki hubungan perniagaan cukup luas, antara lain dengan Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura. Pelabuhan ini letaknya kira-kira dua hari perjalanan dari ibukota kerajaan Sunda yane disebut Dayo, tempat para raja bersemayam pada waktu itu.
Para pedagang dari seluruh kerajaan selalu berdatangan ke bandara ini. Kota inĂ juga diperintah cukup tertib dan teratur. Untuk itu maka di bandar ini terdapat pengadilan, lengkap dengan hakim dan panitianya.
Selain memiliki enam bandar, Kerajaan Pajajaran juga terdapat jalan raya yang aksesnya ke seluruh Pulau Jawa. Jalan darat itu berpusat di Pakuan Pajajaran, yang satu menuju arah timur, sedangkan lainnya menuju sebelah barat. Jalan yang menuju ke timur, menghubungkan Pajajaran dengan Karangsembung yang terletak di tepi Cimanuk.
Batas kerajaan di sebelah timur melalui Cilongsi dan Cibarusah, kemudian di sana membelok ke arah utara sampai Tanjungpura, dari Tanjungpura ada sambungannya melalui Cikao dan Purwakarta yang kemudian berakhir di Karangsembung.
Sementara itu jalan lainnya yang menuju ke barat, bermula dari Pakuan Pajajaran melalui Jasinga dan Rangkasbitung, menuju Serang dan berakhir di Banten yang merupakan bandar kerajaan besar di Tanah Sunda paling barat.
Jalan darat lainnya dari Pakuan menuju Ciampea dan Rumpin, berakhir di Sungai Cisadane yang memang cukup baik alirannya sejak muara Cianten. Melalui jalan- jalan darat dan sungai itulah, hasil bumi Kerajaan Sunda diangkut, dan melalui jalan yang sama itu pula keperluan penduduk di daerah pedalaman dipenuhi.
Demikianlah gambaran kegiatan ekonomi di wilayah Kerajaan Pajajaran, dari uraian di atas, jelas bahwa pencaharian mayoritas masyarakat di Kerajaan Pajajaran adalah petani dan Peladang, meskipun ada juga pencaharian laitin termasuk juga pencaharian guru nista. Dalam rangka menggerakan roda perekonomiannya, kerajaan membangun jalan-jalan yang menghubungkan dari satu kota ke kota lainnya, sementara untuk kegiatan ekspor impor Pajajaran memiliki 6 Pelabuhan yang disebut Bandar.
Penulis: Anisa Anggraeni Saldin
Editot : Sejarah Cirebon
Menurut Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, dalam kegiatan Ekonomi orang Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran memiliki keberagaman profesi sesuai dengan kelompok-kelompoknya, ada yang menjadi petani dengan berladang, ada yang menjadi agamawan dan cendekiawan, ada yang menjadi alat negara, kelompok orang utas, kelompok juru lukis, kelompok pandai mas, kelompok pembuat perabot dari tembaga, kelompok pembuat wayang, kelompok penabuh gamelan, kelompok penggembala, kelompok peternak, kelompok pemungut pajak di pelabuhan, kelompok yang sebagai alat negara, kelompok prajurit atau tentara, kelompok pawang laut dan kelompok juru masak.
Dari berbagai kelompok masyarakat yang telah disebutkan di atas, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing, disebut ngawakan tapa di nagara (Melaksanakan Tapa Di Tengah Negara).
Selain itu masih dalam Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, disebutkan juga ada juga masyarakat yang kegiatan ekonominya dikelompokan sebagai Guru Nista yakni pekerjaan yang dikerjakan oleh kelompok yang melakukan kegiatan dengan cara mencopet, mencuri, membegal, dan menjual diri (dilakukan oleh wanita). Mata pencarian ini tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Kelompok pekerjaan dinamakan sebagai guru nista, karena dianggap nista dan hina.
Kegiatan Ekonomi juga ditemui dalam Carita Parahiyangan dimana dalam naskah tersebut ditemukan istilah Sawah Tampian Dalem, juga ditemukan istilah Pahuma (peladang), Penggerak (pemburu) dan Panyadap (penyadap).
Karena Kerajaan Pajajaran memang sebuah negara dengan corak agraris. Walaupun demikian, Kerajaan Pajajaran tidak bisa terlepas dari perdagangan, khususnya perdagangan yang telah lama berjalan di enam Bandar/Kota Pelabuhan.
Barang-barang pertanian yang merupakan sumber penghasilan utama Kerajaan Pajajaran adalah bahan makanan dan lada. Lada yang dihasilkan oleh Kerajaan Pajajaran setiap tahunnya mencapai lebih dari 1.000 bahar, sedangkan mutunya lebih baik dari lada yang dihasilkan oleh daerah Kocin (Asia Tenggara).
Selain lada, penghasilan yang mendukung pertumbuhan ekonomi Kerajaan Sunda ini adalah asam, tetapi barang pokok yang menjadi komoditas utama tetap beras. Beras menjadi sumber utama perdagangan kerajaan. Sedangkan barang pendukung seperti sayuran, buah-buahan, sapi, kambing, biri-biri, babi, luwak, tuak. Selain itu ada juga berjenis- jenis bahan pakaian yang didatangkan dari Kambay (India), di samping itu juga terdapat perdagangan budak (pembantu).
Dalam bertransaksi, selain barter masyarakat Sunda juga menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Mereka menggunakan mata uang milik Cina untuk pembayaran kecil. Berdasarkan catatan Tome Pires bahwa mata uang yang digunakan oleh masyarakat Sunda pada zaman dahulu disebut Ceitis, Calais (= 1.000 Ceitis), uang mas 8 mates dan Tumdaya (= 15 drahma). Sayang sekali, kita tidak bisa mengetahui berapa kira-kira nilai tukarnya sekarang ini.
Melalui keenam bandar laut tersebut, perahu niaga luar negeri terutama pedagang dari Cina telah keluar masuk mampir di pelabuhan. Sementara itu, penduduk yang mukimnya dekat dengan bandar selalu menghabiskan waktu berlayar dan berniaga sampai ke Selat Malaka. Bandar-bandar Kerajaan Pajajaran oleh Tome Pires digambarkan sebagai berikut:
Banten, merupakan sebuah kota niaga yang menarik, terletak di tepi sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang Kapten (Syahbandar). Wilayah perniagaannya mencakup hingga Sumatra bahkan hingga ke Kepulauan Maladewa. Di era Kerajaan Pajajaran, Banten merupakan pelabuhan yang besar, melalui bandar diperdagangkan beras, lada, dan lain sebagainya.
Pontang, merupakan kota yang besar, tetapi fungsi pelabuhan tidak sepenting Banten. Perniagaan dan barang-barang yang diperdagangkan sama dengan Bandar Banten.
Cigede, merupakan kota yang tergolong besar di Jawa Barat pada masanya. Permiagaan dan perdagangan barang di daerah ini dilakukan dengan Pariaman, Andalas, Tulung Bawang. Sekampung dan lain-lain. Barang dagangan tidak jauh berbeda dengan kedua bandar sebelumnya.
Tamgara, merupakan sebuah kota besar, barang niaganya juga sama seperti bandar-bandar yang telah disebutkan di atas.
Kalapa, merupakan sebuah kota yang terbaik dari beberapa bandar di atas. Bandar ini memiliki hubungan perniagaan cukup luas, antara lain dengan Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura. Pelabuhan ini letaknya kira-kira dua hari perjalanan dari ibukota kerajaan Sunda yane disebut Dayo, tempat para raja bersemayam pada waktu itu.
Para pedagang dari seluruh kerajaan selalu berdatangan ke bandara ini. Kota inĂ juga diperintah cukup tertib dan teratur. Untuk itu maka di bandar ini terdapat pengadilan, lengkap dengan hakim dan panitianya.
Tugas dari mereka adalah mengadili setiap penduduk yang melakukan pelanggaran hukum atas peraturan secara tertulis dikeluarkan oleh raja sebagai bentuk tata tertib kerajaan.
Secara letak geografis, Cimanuk (Indramayu) merupakan pelabuhan kerajaan paling timur sekaligus menjadi batas wilayah kekuasaan. Walaupun bandar ini dikatakan sebagai sebuah bandar yang besar dan populasi penduduk yang di dalamnya selalu padat, tetapi kapal Jung tidak bisa merapat. Di bandar ini sudah ada beberapa pendagang yang memeluk agama Islam, walaupun syahbandar sendiri masih beragama Sunda.
Secara letak geografis, Cimanuk (Indramayu) merupakan pelabuhan kerajaan paling timur sekaligus menjadi batas wilayah kekuasaan. Walaupun bandar ini dikatakan sebagai sebuah bandar yang besar dan populasi penduduk yang di dalamnya selalu padat, tetapi kapal Jung tidak bisa merapat. Di bandar ini sudah ada beberapa pendagang yang memeluk agama Islam, walaupun syahbandar sendiri masih beragama Sunda.
Batas kerajaan di sebelah timur melalui Cilongsi dan Cibarusah, kemudian di sana membelok ke arah utara sampai Tanjungpura, dari Tanjungpura ada sambungannya melalui Cikao dan Purwakarta yang kemudian berakhir di Karangsembung.
Sementara itu jalan lainnya yang menuju ke barat, bermula dari Pakuan Pajajaran melalui Jasinga dan Rangkasbitung, menuju Serang dan berakhir di Banten yang merupakan bandar kerajaan besar di Tanah Sunda paling barat.
Jalan darat lainnya dari Pakuan menuju Ciampea dan Rumpin, berakhir di Sungai Cisadane yang memang cukup baik alirannya sejak muara Cianten. Melalui jalan- jalan darat dan sungai itulah, hasil bumi Kerajaan Sunda diangkut, dan melalui jalan yang sama itu pula keperluan penduduk di daerah pedalaman dipenuhi.
Demikianlah gambaran kegiatan ekonomi di wilayah Kerajaan Pajajaran, dari uraian di atas, jelas bahwa pencaharian mayoritas masyarakat di Kerajaan Pajajaran adalah petani dan Peladang, meskipun ada juga pencaharian laitin termasuk juga pencaharian guru nista. Dalam rangka menggerakan roda perekonomiannya, kerajaan membangun jalan-jalan yang menghubungkan dari satu kota ke kota lainnya, sementara untuk kegiatan ekspor impor Pajajaran memiliki 6 Pelabuhan yang disebut Bandar.
Penulis: Anisa Anggraeni Saldin
Editot : Sejarah Cirebon
Posting Komentar untuk "Kegiatan Ekonomi di Kerajaan Pajajaran"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.