Ratu Sakti Raja Pajajaran Keempat
Ratu Sakti adalah Raja Kerajaan Pajajaran keempat menggantikan Ratu Dewata, Ratu Sakti berkuasa selama 8 tahun dari mulai tahun 1543 M hingga 1551 M. Kemudian ia dikudeta dari takhta dan digantikan oleh Nilakendra yang pada waktu itu berkuasa dari tahun 1551 M hingga 1567 M.
Menurut Carita Parahiyangan sosok Kaliyuga atau Ratu Sakti pada masa Nilakendara yang ditandai dengan adanya keadaan masyarakat yang semakin tidak terkendali. Banyak dari orang pedalaman yang jaraknya jauh dari Kerajaan Pajajaran melakukan kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari masalahnya, tentu kejadian ini muncul di waktu Ratu Sakti menjabat sebagai raja, sedangkan Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan yang mengarah pada zaman pralaya (jahiliah).
Carita Parahiyangan menuliskan, "Aja tinut de sang kawuri polah sang nata" (Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikan).
Masa pemerintahan Ratu Sakti, kondisi kerajaan terbilang bobrok, karena meskipun jelas-jelas kerajaan dalam kondisi carut marut, Ratu Sakti justru tidak memperhatikan rakyat, ia gemar mabuk-mabukan dan berfoya-foya.
Sebetulnya pada masa Ratu Sakti, Pajajaran akan dapat mengembalikan wilayah-wilayah Sunda yang telah dikuasai Cirebon. Sebab, Banten dan Kalapa mengalami kekosongan pasukan. Pasukan Banten, Cirebon dan Demak telah disibukkan dalam misi penaklukan Pasuruan dan Panarukan. Serbuan pasukan gabungan tersebut menguras fokus Demak, Cirebon dan Banten di wilayah Pajajaran, terlebih Sultan Trenggono gugur dibunuh pelayannya sendiri yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya.
Baca Juga: Kematian Sultan Trenggono Dalam Catatan Portugis
Meninggalnya Sultan Trenggono menjadikan Demak semakin carut-marut. Ketidakstabilan pemerintahan Demak telah menambah korban lagi yakni Pangeran Pasarean, putra Mahkota Cirebon. Di tahun 1546 M, akhirnya secara resmi Kerajaan Demak dinyatakan runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Pajang, kemudian dilanjutkan oleh Mataram.
Kondisi ini seharusnya dimanfaatkan oleh Ratu Sakti untuk mengembalikan martabat Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, ia lebih memilih bersenang-senang menikmati kehidupan yang serba glamor.
Ratu Sakti perlu menstabilkan kembali kondisi negara, dan dapat dibenarkan jika ia mengambil langkah dengan adanya penghormatan aturan-aturan dan etika yang berlaku di kerajaan. Tapi langkah yang dilakukan Ratu Sakti justru sebaliknya.
Kesan yang ditangkap masyarakat Sunda terhadap raja yang satu ini adalah jauh dari kebijaksanaan. Ketika ada permasalahan, Ratu Sakti lebih memilih menyelesaikannya dengan cara yang represif. Tidak sedikit masyarakat yang dihukum mati hanya karena masalah sepele.
Harta benda rakyat disita pihak keraton, pengendalian pajak yang selalu tidak menguntungkan bagi rakyat kecil, ia dinilai menjadi raja yang tidak berbakti kepada orang tua, terlebih ia suka melakukan penghinaan terhadap pendeta.
Kondisi seperti itulah yang menjadikan rakyat semakin muak dengan Pajajaran dan lebih memilih dibawah naungan Banten dan Cirebon yang dikenal bijaksana, pada akhirnya mereka juga mengambil jalan perlawanan terhadap rajanya sendiri. Sifat yang dimiliki Ratu Sakti berbeda jauh dengan Ratu Dewata. Dalam Carita Parahiyangan, Ratu Dewata terkenal alim, rajin berpuasa dan sering bertapa sementara Ratu Sakti sebaliknya.
Wafatnya Ratu Sakti banyak yang menduga karena mengalami kekerasan, sebab jika dilihat dari kehidupan sehari-hari, mustahil jika ia melepaskan jabatan raja dengan mengundurkan diri begitu saja sebagaimana yang dilakukan Dewa Niskala (Kawali). Ratu Sakti dimakamkan tidak di Pakuan tapi di Pengpelangan.
Penulis : Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Menurut Carita Parahiyangan sosok Kaliyuga atau Ratu Sakti pada masa Nilakendara yang ditandai dengan adanya keadaan masyarakat yang semakin tidak terkendali. Banyak dari orang pedalaman yang jaraknya jauh dari Kerajaan Pajajaran melakukan kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari masalahnya, tentu kejadian ini muncul di waktu Ratu Sakti menjabat sebagai raja, sedangkan Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan yang mengarah pada zaman pralaya (jahiliah).
Carita Parahiyangan menuliskan, "Aja tinut de sang kawuri polah sang nata" (Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikan).
Masa pemerintahan Ratu Sakti, kondisi kerajaan terbilang bobrok, karena meskipun jelas-jelas kerajaan dalam kondisi carut marut, Ratu Sakti justru tidak memperhatikan rakyat, ia gemar mabuk-mabukan dan berfoya-foya.
Sebetulnya pada masa Ratu Sakti, Pajajaran akan dapat mengembalikan wilayah-wilayah Sunda yang telah dikuasai Cirebon. Sebab, Banten dan Kalapa mengalami kekosongan pasukan. Pasukan Banten, Cirebon dan Demak telah disibukkan dalam misi penaklukan Pasuruan dan Panarukan. Serbuan pasukan gabungan tersebut menguras fokus Demak, Cirebon dan Banten di wilayah Pajajaran, terlebih Sultan Trenggono gugur dibunuh pelayannya sendiri yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya.
Baca Juga: Kematian Sultan Trenggono Dalam Catatan Portugis
Meninggalnya Sultan Trenggono menjadikan Demak semakin carut-marut. Ketidakstabilan pemerintahan Demak telah menambah korban lagi yakni Pangeran Pasarean, putra Mahkota Cirebon. Di tahun 1546 M, akhirnya secara resmi Kerajaan Demak dinyatakan runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Pajang, kemudian dilanjutkan oleh Mataram.
Kondisi ini seharusnya dimanfaatkan oleh Ratu Sakti untuk mengembalikan martabat Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, ia lebih memilih bersenang-senang menikmati kehidupan yang serba glamor.
Ratu Sakti perlu menstabilkan kembali kondisi negara, dan dapat dibenarkan jika ia mengambil langkah dengan adanya penghormatan aturan-aturan dan etika yang berlaku di kerajaan. Tapi langkah yang dilakukan Ratu Sakti justru sebaliknya.
Kesan yang ditangkap masyarakat Sunda terhadap raja yang satu ini adalah jauh dari kebijaksanaan. Ketika ada permasalahan, Ratu Sakti lebih memilih menyelesaikannya dengan cara yang represif. Tidak sedikit masyarakat yang dihukum mati hanya karena masalah sepele.
Harta benda rakyat disita pihak keraton, pengendalian pajak yang selalu tidak menguntungkan bagi rakyat kecil, ia dinilai menjadi raja yang tidak berbakti kepada orang tua, terlebih ia suka melakukan penghinaan terhadap pendeta.
Kondisi seperti itulah yang menjadikan rakyat semakin muak dengan Pajajaran dan lebih memilih dibawah naungan Banten dan Cirebon yang dikenal bijaksana, pada akhirnya mereka juga mengambil jalan perlawanan terhadap rajanya sendiri. Sifat yang dimiliki Ratu Sakti berbeda jauh dengan Ratu Dewata. Dalam Carita Parahiyangan, Ratu Dewata terkenal alim, rajin berpuasa dan sering bertapa sementara Ratu Sakti sebaliknya.
Wafatnya Ratu Sakti banyak yang menduga karena mengalami kekerasan, sebab jika dilihat dari kehidupan sehari-hari, mustahil jika ia melepaskan jabatan raja dengan mengundurkan diri begitu saja sebagaimana yang dilakukan Dewa Niskala (Kawali). Ratu Sakti dimakamkan tidak di Pakuan tapi di Pengpelangan.
Penulis : Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Posting Komentar untuk "Ratu Sakti Raja Pajajaran Keempat "
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.