Sri Baduga Maharaja Raja Pajajaran Pertama
Sri Baduga Maharaja dikenal juga dengan sebutan Prabu Siliwangi adalah Raja Pajajaran pertama, gelar lengkapnya Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja, sementara nama aslinya adalah Jaya Dewata, merupakan putra dari Prabu Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja lahir pada tahun 1401 M di Kawali Galuh (Ciamis). Raja Pajajaran pertama ini memerintah pada tahun 1482 M hingga 1521 M.
Menurut beberapa naskah kuno dan Prasasti Batutulis, Sri Baduga dinobatkan menjadi raja sebanyak dua kali.
Pertama, ketika Sri Baduga mendapat mandat untuk memegang kerajaan Galuh di Kawali, Ciamis dari sang ayah Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kencana dari permaisuri Mayangsari Putri Prabu Bunisora dengan gelar Dewataprana.
Kedua, Sri Baduga Maharaja menerima mandat Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertuanya bernama Prabu Suksuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kencana dari Permaisuri Ratna Sarkati Putri Resi Susuk Lampung.
Selain itu, berdasarkan bukti-bukti kesejarah yang telah banyak dipelajari para sejarawan dinyatakan bahwa Sri Baduga Maharaja dianggap bukan satu-satunya Raja unda yang bergelar Prabu Siliwangi, setidak-tidaknya terdapat dua orang raja yang bergelar demikian, yaitu Sri Baduga Maharaja dan kakeknya Niskala Wastu Kancana.
Masyarakat sunda menyebut Prabu Siliwangi sebab pada waktu itu menyebut raja sesuai nama aslinya adalah tidak sopan, raja dianggap agung dan suci, sehingga rakyat segan menyebut namanya, dari itulah rakyat lebih suka menyebut dengan nama Prabu Siliwangi.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam Naskah Wangsakerta, menurut naskah ini tidak ada satu pun raja Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi. Nama tersebut hanyalah julukan bagi raja Sunda yang menggantikan Prabu Wangi yang gugur di Perang Bubat.
Menurut Carita Parahiyangan, Prabu Wangi sendiri memiliki nama asli Prabu Linggabhuwana atau Prabu Maharaja. Nama Prabu Siliwangi muncul atas inisiatif rakyat Sunda sebagai bentuk terima kasih sebesar-besarnya atas jasa saat memimpin kerajaan di daerah Sunda. Pasalnya ia telah berjuang mempertahankan martabat orang Sunda saat Majapahit di bawah patih Gajah Mada melakukan siasat menjajah Sunda.
Jika mengacu pada sumber Naskah Wangsakerta, berarti raja terbesar sejarah Kerajaan Sunda adalah Niskala Wastu Kancana bergelar sebagai Prabu Siliwangi I dan diakhiri oleh Suryakancana bergelar sebagai Prabu Siliwangi VIII. Tetapi tidak mudah mengubah persepsi tersebut, karena sejauh ini masyarakat Sunda meyakini bahwa Prabu Siliwangi adalah gelar yang diberikan kepada Sri Baduga Maharaja saja.
Hal yang menguatkan persepsi masyarakat Sunda selama ini tentang gelar Prabu Siliwangi ditujukan kepada Sri Baduga Maharaja adalah ia memiliki kekuasaa yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya).
Prabu Jayadewata menikah dengan Nyi Ambetikasih putri pamannya sendiri yang bernama Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka yang pada waktu itu pemerintahannya berpusat di Desa Kedaton (sekarang terletak di Kecamatan Kapetakan, Cirebon, Jawa Barat). Kerajaan Surantaka pada masanya terkenal menjadi pengendali saham di Pelabuhan Muarajati Cirebon yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Singapura (Mertasinga-Cirebon).
Saat Ki Gedeng Sindangkasih wafat, Prabu Jayadewata akhirnya ditunjuk sebagai pengganti untuk melanjutkan memimpin kerajaan. Pengangkatan Prabu Jayadewata berdasarkan pada sosok kebesaran mendiang buyutnya bernama Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di Bubat dan mendapat gelar Prabu Wangi.
Pada masa mudanya, Sri Baduga juga dikisahkan pernah menyamar menjadi Keukeubingan Rajasunu, ia adalah satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Raja Kerajaan Japura yang bernama bernama Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuktunggal ketika sayambara memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa (Ki Gedeng Jumajan Jati), penguasa Kerajaan Singapura.
Pernikahannya dengan Subang Larang melahirkan Raden Walangsungsang atau Cakrabuwana, Nyimas Rara Santang dan Raden Kian Santang. Kemudian Nyimas Pakungwati putri Pangeran Walangsungsang menikah dengan Sunan Gunung Jati putra Nyimas Rara Santang. Pangeran Walangsungsang sebagai Sultan Cirebon 1 dan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Kesultanan Cirebon sejak tahun 1430 M.
Kemudian Prabu Jayadewata di jodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang kemudian melahirkan Sanghyang Surawisesa dan kelak dinobatkan menjadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran
Hal tersebut sering digambarkan sebagai bentuk ciri khas yang diterapkan oleh Prabu Siliwangi. Menurut Carita Parahiyangan pemerintahan Sri Baduga memiliki gaya tersendiri, diantaranya yaitu:
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa."
Terjamah: (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Ungkapan naskah tersebut setidaknya dapat diketahui bahwa pada waktu itu masyarakat Pajajaran sedikit demi sedikit beralih agama yang awalnya Hindu Buddha ke Islam. yakni menganut agama baru dan meninggalkan agama yang sudah lama.
Naskah ini juga menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau yang terkenal bernama Sunan Gunung Jati telah menghentikan pengiriman pajak yang seharusnya setiap tahun dikirimkan ke Pakuan Pajajaran.
Diusut dari susunan silsilah, Syarif Hidayat merupakan cucu Sri Baduga dari Lara Santang. la dijadikan raja oleh uanya bernama Pangeran Cakrabuwana dan menjadi raja yang memutuskan berdikari terlepas dari Kerajaan Pajajaran."
Pada waktu itu, Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima. Istana ini sebelumnya diberi nama Surawisesa, kemudian diberitakan bahwa pasukan angkatan Laut Demak yang kuat berada di pelabuhan Cirebon guna menjaga kemungkinan datangnya serangan yang digelontorkan oleh Pajajaran." Sedangkan Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukan yang diutus oleh Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui bahwa pasukan Demak sudah bersiaga di sana.
Jagabaya akhirnya tidak berdaya menghadapi pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang berskala besar. Akhirnya, pertempuran tidak terjadi dikarenakan ada perundingan Cirebon-Demak dengan Pajajaran. Jagabaya pun memutuskan menyerahkan diri dan memeluk agama Islam. Kejadian ini tentu mendatangkan murka bagi Sri Baguda. Tanpa berpikir panjang, pasukan besar di Kerajaan Pajajaran dipersiapkan guna menyerang Cirebon. Tetapi pengiriman pasukan ini mampu dicegah oleh Purohita seorang pendeta tertinggi di Keraton Ki Purea Galih.
Cirebon merupakan warisan Cakrabuwana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya telah diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa, ayah Subanglarang santri Syekh Quro.
Cakrabuwana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga yang pada waktu itu belum menjadi Susuhunan sebagai penguasa Cirebon dengan menyandang gelar Sri Mangana. Sebab Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuwana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan dari Pajajaran ke Cirebon tersebut mampu diterima oleh penguasa Pakuan. Hal ini merupakan situasi yang dihadapi Sri Baduga saat menjabat di awal pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa sang raja mencurahkan perhatinya lebih kepada pembuatan parit pertahanan, pembinaan agamawan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan yang mudah diakses.
Di wilayah maritim, Pajajaran memiliki beberapa kapal Jung yang fungsinya sebagai alat transportasi via laut sekaligus menciptakan perdagangan antar pulau. Selain kapas, baju, dan lainnya, tercatat terdana perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4.000 ekor setiap tahunnya. Perselisihan dengan Cirebon semakin memanas diakibatkan terjadinya perkawinan putra-putri dari Demak dan Cirebon.
Ada empat pasangan yang dijodohkan, di antaranya yaitu: Pangeran Hasanuddin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi), Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun, Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
Disisi lain, Sri Baduga sangat mencemaskan persekutuan antara Cirebon dan Demak. Pada tahun 1512 M, Sri Baduga mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis bernama Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudra Pasai. Sebaliknya, penjajahan ini termasuk meresahkan pihak Demak juga.
Atas kejadian ini, Pangeran Cakrabuwana dan Susuhunan Jati, tidak ingin menciptakan masalah semakin rumit. Mereka tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh sebab itu walaupun sempat memanas, tetapi permusuhan Pajajaran dengan Cirebon tidak sampai ke arah peperangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga sebenarnya mempermasalahkan kedekatan Cirebon dengan Demak yang terlalu akrab, ia tidak menyukai hal tersebut.
Sedangkan terhadap Islam, Sri Baduga tidak ada rasa benci dan ingin menghilangkan agama tersebut, sebab ia salah seorang yang memiliki permaisuri Subanglarang memeluk agama Islam. Kemudian anaknya bernama Walangsungsang alias Cakrabuwana, Lara Santang, dan Raja Sangara sejak kecil telah diizinkan orang tuanya untuk mengikus agama yang dianut ibunya. Sebab permasalahan hanya bersifat statis dan tidak mengarah ke pertumpahan darah, maka kedua kerajaan yakni Cirebon dan Demak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikian pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai era kesejahteraan yang tertulis banyak di Carita Parahiyangan.
Baca Juga: Surawisesa Raja Pajajaran Kedua
Penulis: Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Menurut beberapa naskah kuno dan Prasasti Batutulis, Sri Baduga dinobatkan menjadi raja sebanyak dua kali.
Pertama, ketika Sri Baduga mendapat mandat untuk memegang kerajaan Galuh di Kawali, Ciamis dari sang ayah Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kencana dari permaisuri Mayangsari Putri Prabu Bunisora dengan gelar Dewataprana.
Kedua, Sri Baduga Maharaja menerima mandat Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertuanya bernama Prabu Suksuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kencana dari Permaisuri Ratna Sarkati Putri Resi Susuk Lampung.
Gelar Siliwangi
Berkenaan dengan gelar Siliwangi yang menjadi nama lain dari Sri Baduga dipercayai berasal dari dua kata, yaitu kata “Silih” dan “Wewangi”, silih artinya pengganti dan wewangi artinya wangi atau harum, sehingga nama Prabu Siliwangi bisa dimaknai dengan “pengganti Prabu Wangi”. Penyebutan nama Prabu Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah ini ditulis pada tahun 1518 M.Selain itu, berdasarkan bukti-bukti kesejarah yang telah banyak dipelajari para sejarawan dinyatakan bahwa Sri Baduga Maharaja dianggap bukan satu-satunya Raja unda yang bergelar Prabu Siliwangi, setidak-tidaknya terdapat dua orang raja yang bergelar demikian, yaitu Sri Baduga Maharaja dan kakeknya Niskala Wastu Kancana.
Masyarakat sunda menyebut Prabu Siliwangi sebab pada waktu itu menyebut raja sesuai nama aslinya adalah tidak sopan, raja dianggap agung dan suci, sehingga rakyat segan menyebut namanya, dari itulah rakyat lebih suka menyebut dengan nama Prabu Siliwangi.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam Naskah Wangsakerta, menurut naskah ini tidak ada satu pun raja Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi. Nama tersebut hanyalah julukan bagi raja Sunda yang menggantikan Prabu Wangi yang gugur di Perang Bubat.
Menurut Carita Parahiyangan, Prabu Wangi sendiri memiliki nama asli Prabu Linggabhuwana atau Prabu Maharaja. Nama Prabu Siliwangi muncul atas inisiatif rakyat Sunda sebagai bentuk terima kasih sebesar-besarnya atas jasa saat memimpin kerajaan di daerah Sunda. Pasalnya ia telah berjuang mempertahankan martabat orang Sunda saat Majapahit di bawah patih Gajah Mada melakukan siasat menjajah Sunda.
Jika mengacu pada sumber Naskah Wangsakerta, berarti raja terbesar sejarah Kerajaan Sunda adalah Niskala Wastu Kancana bergelar sebagai Prabu Siliwangi I dan diakhiri oleh Suryakancana bergelar sebagai Prabu Siliwangi VIII. Tetapi tidak mudah mengubah persepsi tersebut, karena sejauh ini masyarakat Sunda meyakini bahwa Prabu Siliwangi adalah gelar yang diberikan kepada Sri Baduga Maharaja saja.
Hal yang menguatkan persepsi masyarakat Sunda selama ini tentang gelar Prabu Siliwangi ditujukan kepada Sri Baduga Maharaja adalah ia memiliki kekuasaa yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya).
Masa Muda Sri Baduga Maharaja
Masa muda Sri Baduga Maharaja/Jaya Dewata dikenal sebagai pribadi yang suka mengembara, dikenal juga sebagai sosok pemberani. Kegemarannya menjelajahi hutan sembari berburu binatang. Dalam hal ini, ia terkenal memiliki ketangkasan jika dibandingkan teman yang lainnya. Kegemaran Sri Baduga masa muda tersebut bertahan hingga dewasa.Prabu Jayadewata menikah dengan Nyi Ambetikasih putri pamannya sendiri yang bernama Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka yang pada waktu itu pemerintahannya berpusat di Desa Kedaton (sekarang terletak di Kecamatan Kapetakan, Cirebon, Jawa Barat). Kerajaan Surantaka pada masanya terkenal menjadi pengendali saham di Pelabuhan Muarajati Cirebon yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Singapura (Mertasinga-Cirebon).
Saat Ki Gedeng Sindangkasih wafat, Prabu Jayadewata akhirnya ditunjuk sebagai pengganti untuk melanjutkan memimpin kerajaan. Pengangkatan Prabu Jayadewata berdasarkan pada sosok kebesaran mendiang buyutnya bernama Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di Bubat dan mendapat gelar Prabu Wangi.
Pada masa mudanya, Sri Baduga juga dikisahkan pernah menyamar menjadi Keukeubingan Rajasunu, ia adalah satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Raja Kerajaan Japura yang bernama bernama Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuktunggal ketika sayambara memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa (Ki Gedeng Jumajan Jati), penguasa Kerajaan Singapura.
Pernikahannya dengan Subang Larang melahirkan Raden Walangsungsang atau Cakrabuwana, Nyimas Rara Santang dan Raden Kian Santang. Kemudian Nyimas Pakungwati putri Pangeran Walangsungsang menikah dengan Sunan Gunung Jati putra Nyimas Rara Santang. Pangeran Walangsungsang sebagai Sultan Cirebon 1 dan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Kesultanan Cirebon sejak tahun 1430 M.
Kemudian Prabu Jayadewata di jodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang kemudian melahirkan Sanghyang Surawisesa dan kelak dinobatkan menjadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran
Gaya Kepemimpinan Prabu Siliwangi
Saat Prabu Siliwangi memerintah di Kerajaan Pajajaran, ia dikenal sebagai pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan Egalitarianisme. yakni paham yang memegang teguh asas kesetaraan dalam kehidupan sosial, agama, budaya, ekonomi dan politik.Hal tersebut sering digambarkan sebagai bentuk ciri khas yang diterapkan oleh Prabu Siliwangi. Menurut Carita Parahiyangan pemerintahan Sri Baduga memiliki gaya tersendiri, diantaranya yaitu:
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa."
Terjamah: (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Ungkapan naskah tersebut setidaknya dapat diketahui bahwa pada waktu itu masyarakat Pajajaran sedikit demi sedikit beralih agama yang awalnya Hindu Buddha ke Islam. yakni menganut agama baru dan meninggalkan agama yang sudah lama.
Naskah ini juga menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau yang terkenal bernama Sunan Gunung Jati telah menghentikan pengiriman pajak yang seharusnya setiap tahun dikirimkan ke Pakuan Pajajaran.
Diusut dari susunan silsilah, Syarif Hidayat merupakan cucu Sri Baduga dari Lara Santang. la dijadikan raja oleh uanya bernama Pangeran Cakrabuwana dan menjadi raja yang memutuskan berdikari terlepas dari Kerajaan Pajajaran."
Pada waktu itu, Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima. Istana ini sebelumnya diberi nama Surawisesa, kemudian diberitakan bahwa pasukan angkatan Laut Demak yang kuat berada di pelabuhan Cirebon guna menjaga kemungkinan datangnya serangan yang digelontorkan oleh Pajajaran." Sedangkan Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukan yang diutus oleh Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui bahwa pasukan Demak sudah bersiaga di sana.
Jagabaya akhirnya tidak berdaya menghadapi pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang berskala besar. Akhirnya, pertempuran tidak terjadi dikarenakan ada perundingan Cirebon-Demak dengan Pajajaran. Jagabaya pun memutuskan menyerahkan diri dan memeluk agama Islam. Kejadian ini tentu mendatangkan murka bagi Sri Baguda. Tanpa berpikir panjang, pasukan besar di Kerajaan Pajajaran dipersiapkan guna menyerang Cirebon. Tetapi pengiriman pasukan ini mampu dicegah oleh Purohita seorang pendeta tertinggi di Keraton Ki Purea Galih.
Cirebon merupakan warisan Cakrabuwana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya telah diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa, ayah Subanglarang santri Syekh Quro.
Cakrabuwana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga yang pada waktu itu belum menjadi Susuhunan sebagai penguasa Cirebon dengan menyandang gelar Sri Mangana. Sebab Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuwana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan dari Pajajaran ke Cirebon tersebut mampu diterima oleh penguasa Pakuan. Hal ini merupakan situasi yang dihadapi Sri Baduga saat menjabat di awal pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa sang raja mencurahkan perhatinya lebih kepada pembuatan parit pertahanan, pembinaan agamawan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan yang mudah diakses.
Kekuatan Kerajaan Pajajaran di Bawah Pemerintahan Sri Baduga Maharaja
Menurut sumber Portugis, dari seluruh kerajaan yang ada di Nusantara, Pajajaran memiliki jumlah prajurit yang kira-kira mencapai 100.000 pasukan. Raja sendiri memiliki transportasi gajah sebanyak 40 ekor.Di wilayah maritim, Pajajaran memiliki beberapa kapal Jung yang fungsinya sebagai alat transportasi via laut sekaligus menciptakan perdagangan antar pulau. Selain kapas, baju, dan lainnya, tercatat terdana perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4.000 ekor setiap tahunnya. Perselisihan dengan Cirebon semakin memanas diakibatkan terjadinya perkawinan putra-putri dari Demak dan Cirebon.
Ada empat pasangan yang dijodohkan, di antaranya yaitu: Pangeran Hasanuddin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi), Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun, Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
Disisi lain, Sri Baduga sangat mencemaskan persekutuan antara Cirebon dan Demak. Pada tahun 1512 M, Sri Baduga mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis bernama Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudra Pasai. Sebaliknya, penjajahan ini termasuk meresahkan pihak Demak juga.
Atas kejadian ini, Pangeran Cakrabuwana dan Susuhunan Jati, tidak ingin menciptakan masalah semakin rumit. Mereka tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh sebab itu walaupun sempat memanas, tetapi permusuhan Pajajaran dengan Cirebon tidak sampai ke arah peperangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga sebenarnya mempermasalahkan kedekatan Cirebon dengan Demak yang terlalu akrab, ia tidak menyukai hal tersebut.
Sedangkan terhadap Islam, Sri Baduga tidak ada rasa benci dan ingin menghilangkan agama tersebut, sebab ia salah seorang yang memiliki permaisuri Subanglarang memeluk agama Islam. Kemudian anaknya bernama Walangsungsang alias Cakrabuwana, Lara Santang, dan Raja Sangara sejak kecil telah diizinkan orang tuanya untuk mengikus agama yang dianut ibunya. Sebab permasalahan hanya bersifat statis dan tidak mengarah ke pertumpahan darah, maka kedua kerajaan yakni Cirebon dan Demak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikian pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai era kesejahteraan yang tertulis banyak di Carita Parahiyangan.
Baca Juga: Surawisesa Raja Pajajaran Kedua
Penulis: Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Begitu banyak raja2 pada dasarnya menjadi satu kesatuan yg sulit di pahami manusia awam. Anjeng Sri Baduga Maha Raja prabu jaya dewata. adalah penyebutannya tis manitis KPD keturunanya dan yg di kehendakinya. Titisan dari raja2 dahulunya dahulu dan dahulu dahulunya dahulu tetap satu raja dan tetap satu penyebutan pada hakikatnya hanya saja berbeda zamannya. Sampai saat ini nama2 itu tetap ada pada titisanya. Semua keturunan ada hak. Tetapi blm tentu hak mutlak karena belum tentu pilihan tentang perangainya . PRABU JAYA DEWATA adalah nama gabungan kedua dan nama penyebutan yg asli adalah..... Ajaran kebaikan kesucian jiwa selalu di bawanya bukan hanya untuk dirinya saja tapi rakyatnya. Supaya mengenal tuhan yang sebenar benarnya. Islam awal mula dan akhirnya. Hindu Budha dll ada didalamnya siapa yg bisa memahaminya? Tidak cukup dengan jiwa suci tapi juga iman. Semua ini tentang kebenaran. Selalu ada perhitungan dan pembalasan tentang kebenaran
BalasHapus