Surawisesa Raja Pajajaran Kedua
Surawisesa adalah Raja Pajajaran kedua, ia menggantikan keududukan ayahnya Sri Baduga Maharaja karena anak tertua atau putra mahkota Raden Walangsungsang memilih keluar dari istana bersama adiknya untuk memperdalam agama Islam.
Surawisesa adalah putra Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal. Menurut Naskah Carita Parahiyangan, ia menadapat pujian sebagai sosok yang memiliki gelar perwira, perkasa dan tidak pernah takut. Selama 14 tahun menyandang seorang raja, tercatat bahwa ia melakukan pertempuran sebanyak 15 kali.
Menurut Nagara Kretabhumi dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Raja Surawisesa pernah mendapat mandat dari ayahnya untuk menghubungi Alfonso d'Albuquerque seorang Laksamana Bunker di Malaka. ia sebisa mungkin menjalankan amanah tersebut, dan tercatat sebanyak dua kali ia pergi ke Malaka, yakni tahun 1512 M dan 1521 M.
Hasil kunjungan pertama di tahun 1512 M merupakan bentuk penjajakan pihak Portugis yang diikuti oleh Time Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin Hendrik de Leme (merupakan ipar dari Alfonso d'Albuquerque) ke ibu kota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan ini telah disepakati kedua belah pihak antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran mengenai perdagangan dan keamanan. Dari perjanjian ini dibuat tulisan yang berangkap dua, satu untuk Pajajaran dan satunya lagi untuk pihak Portugis. Menurut Soekanto (1956) perjanjian ini secara sah ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Sumber Portugis mengungkapkan "Van deze overeenkomst werdeen geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partijeen behield". Perjanjian ini telah disepakati bersama dan pihak Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Oleh sebab itu, setiap kapal yang dikemudikan Portugis mendarat di Malaka akan diberi muatan lada yang kemudian ditukar dengan barang-barang keperluan yang dibutuhkan pihak Sunda.
Saat benteng sudah mulai dibangun, dengan suka rela pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada setiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" yang ukurannya kurang lebih mencapai 351 kuintal.
Perjanjian yang dilakukan Pajajaran di bawah kekuasaan Surawisesa dengan Portugis ini mendatangkan kecemasan dari pihak Demak yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggana. Kecemasan ini mengacu pada Selat Malaka sebagai pintu masuknya perairan Nusantara sebelah utara. Sudah semestinya setiap pedagang seluruh Nusantara bahkan mancanegara datang untuk berdagang.
Ketika Sunda dan Malaka sudah dikuasai Portugis, secara otomatis akan melumpuhkan sektor maritim kerajaan di Nusantara. Terlebih Selat Malaka sebagai urat nadi kehidupan ekonomi Kerajaan Demak akan terputus. Maka dari itu, langkah yang diambil Sultan Trenggana adalah dengan mengirimkan armada di bawah pimpinan Fadillah Khan saat itu menjabat sebagai Senopati Kesultanan Demak. Fadillah Khan menikah dengan Ratu Pembayun, seorang janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia menikah kembali dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan begitu, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu dari Susuhunan Jati atau Syarif Hidayatullah.
Fadillah terkenal dengan nama Falatehan. Namun orang Portugis yang tidak bisa menyebut nama Fadillah Khan dengan baik menjadi Falatehan. Sedangkan Tome Pires menyebutkan Tagaril menjadi Ki Fadil. Sebutan ini adalah nama julukan yang ditujukan kepada Fadillah Khan dalam kehidupan sehari-hari.
Pintu masuk utama Selat Sunda. Sebelum pasukan ini datang, di Banten telah terjadi huru-hara yang dilakukan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Oleh sebab itu, kedatangan pasukan Fadillah ke Banten menjadikan masyarakat ketakutan.
Mereka berhamburan berlari mengamankan diri. Seperti Bupatà Banten beserta keluarga besarnya memutuskan untuk mengungsi ke ibu kota Pakuan Pajajaran.
Di tahun 1527 M, Fadillah beserta pasukan perang mampu merebut Pelabuhan Kelapa dari tangan Pajajaran. Penaklukkan ini tidak lain karena pasukan Fadillah menggunakan meriam yang tidak dimiliki oleh pasukan Pajajaran. Sehingga pasukan dari Pakuan berhasil dipukul mundur oleh Fadillah.
Pada waktu itu Portugis sebenarnya ingin membantu Pajajaran, tapi sudah terlambat. Hal ini dikarenakan Francisco de Sa yang mendapat tugas dari atasannya untuk membangun proyek benteng diangkat menjadi Gubernur di India. Padahal keberangkatan ke Sunda sudah dipersiapkan dengan 6 kapal dari Goa, tetapi sesampai tengah perjalanan armada ini diterpa badai di Teluk Benggala, tujuan utama mereka yakni ke Banten, tapi setelah mengetahui Banten sudah dikuasai oleh Hasanudin, akhirnya Francisco de Sa memutuskan untuk ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco de Sa memancangkan padrao tepat pada tanggal 30 Juni 1527 M, sekaligus memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge".
Selanjutnya galiun Francisco de Sa memisahkan diri dan hanya kapal Brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung menuju ke Pelabuhan Kalapa. Sebenarnya pada waktu itu, Tanah Sunda yang strategis sudah dikuasai oleh Cirebon-Demak, tetapi Coelho terlambat mengetahui situasi, sehingga ia memutuskan untuk menepi dekat pantai. Hal tersebut menjadikan pasukan Fadillah semakin garang. Coelho dan beberapa prajurit mendapat serangan dadakan dari pasukan Fadillah yang mengakibatkan kerusakan berat dan banyak korban. Walaupun begitu, kapal Portugis di bawah pimpinan Coelho berhasil meloloskan diri dan menuju ke Pasai.
Pada tahun 1529 M, Portugis kembali mempersiapkan 8 buah kapal untuk melakukan balas dendam kepada pasukan Fadillah. Peristiwa 1527 M, yang menimpa pasukan Coelho merupakan tragedi yang menyakitkan bagi Portugis.
Opsi yang dilakukan Portugis yakni tidak menuju ke Malaka ataupun Kalapa, tapi semua armada diarahkan menuju Pedu. Di bawah kepemimpinan Surawisesa, kekuatan Pajajaran semakin menurun jika dibandingkan saat Sri Baduga masih hidup. Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Walaupun yang berkuasa di Cirebon adalah Syarif Hidayatullah, tetapi di belakangnya berdiri orang-orang besar seperti Cakrabuana atau yang memiliki nama asli Haji Abdullah Iman. Cakrabuana merupakan kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan begitu, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain yang masih kekuasaan Pajajaran semakin hilang. Dalam hal kekuatan, Cirebon sendiri tergolong kerajaan yang lemah. la tidak memiliki pasukan dan benteng strategi yang kuat.
Tetapi setelah mendapat sokongan Demak, Cirebon lambat laut mulai tumbuh dan memiliki jati diri kuat di daerah Jawa Barat. Cirebon dan Demak berhasil menguasai kota-kota yang dekat dengan pelabuhan. Di sebelah timur, pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pada tahun 1528 M, Cirebon mengalami pertempuran dengan Galuh. Pertempuran ini juga memperlihatkan peran Demak yang cukup signifikan. Demak mengirim meriam beserta pasukan perang pada saat Cirebon terdesak mundur. Sehingga, pasukan Galuh tidak berdaya menghadapi panah besi yang besar dan menyemburkan kukur ireng dengan suara seperti Guntur kemudian memuntahkan logam panas. Alat perang seperti tombak, anak panah, pedang, dan lain sebagainya lumpuh seketika karena meriam. Pada akhirnya jatuhlah Galuh dan dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Pada tahun 1530 M, Sumedang mulai masuk ke dalam lingkaran penganuh Cirebon. Pengaruh ini ditandal dengan adanya penobatan Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tahun 21 Oktober 1530. Secara garis keturunan, Pangeran Santri merupakan cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Tanah Cirebon. Ia menjadi Bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum Sumedang, sehingga secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah kekuasaan Cirebon. Dengan menguasai wilayah Citarum, Cirebon semakin mendapatkan kedudukan mapan. Selain itu, karena gerakan penggempuran ke Pakuan selalu mendapat perlawanan dari pasukan Surawisesa, akhirnya kedua belah pihak mengambil jalan terbaik dengan menggelar perdamaian dengan mengakui keberadaan daerah masing-masing.
Pada tahun 1531 M, tercipta perdamaian yang dikomandoi Syarif Hidayatullah mewakili Cirebon dan Prabu Surawisesa mewakili Pajajaran. Perjanjian ini menyepakati bahwa masing-masing kerajaan berdiri sebagai negara yang merdeka. Tidak ada penyerangan apapun yang dilakukan kedua belah pihak. Cirebon mengakui keberadaan Pajajaran dan sebaliknya Pajajaran mengakui keberadaan Cirebon.
Dari pihak Cirebon yang ikut menandatangani naskah perjanjian ini adalah Pangeran Pasarean merupakan Putra Mahkota Cirebon, Fadillah Khan dan Hasanudin. Perjanjian ini memberikan kesempatan kepada Surawisesa untuk mengurus kembali Kerajaan Pajajaran yang sempat kocar-kacir karena kerusuhan yang terus terjadi. la mendapat kesempatan membenahi seluruh struktur kerajaan.
Warisan dari sang ayah yang hanya tersisa setengah, mulai ia pulihkan kembali. Walaupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran di bidang maritim, Surawisesa tetap bersyukur karena Pajajaran tidak runtuh di tangannya. Surawisesa tercatat masih memiliki 1000 pasukan perang belamati yang setia kepadanya. Dalam suasana inilah ia mengenang kebesaran ayahnya, bahwa Kerajaan Pajajaran pernah berdiri tegak dan mampu menjadi tombak sejarah di Jawa bagian barat.
Perjanjian damai yang dilakukan dengan Cirebon telah memberi kesempatan Prabu Surawisesa untuk menunjukkan rasa hormat terhadap ayahnya sekaligus menunjukkan penyesalan mendalam karena belum mampu menjaga amanah yang ayahnya berikan yakni mempertahankan Pakuan Pajajaran tetap utuh.
Tahun 1533 M, tepat 12 tahun setelah wafatnya Raja Sri Baduga, ia membuat sasakala (tanda peringatan) yang ditujukan kepada ayahnya. Tanda peringatan ini kelak dikenal dengan nama Prasasti Batutulis yang mulanya diletakkan di Kabuyutan, tempat tenda kebesaran Sri Baduga yang berupa lingga. Batu ditancapkan di dasar tanah. Penempatan ini supaya kedudukan anak dengan ayah tetap mudah terlihat. Seorang anak yang ingin mengenang kebesaran sang ayah, Sri Baduga dengan peninggalan-peninggalan Surawisesa ciptakan. Surawisesa sendiri tidak berani berdiri dengan bersandingan dengan sang ayah. Demikian Prasasti Batutulis diletakkan agak menjorok ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Tanda peringatan di Prasasti Batutulis itu berisi sebagai berikut:
"Semoga selamat. Inilah tanda peringatan untuk Prabu Ratu Almarhum, dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja, raja penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata Dialah yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan, meluaskan jalan dan mengeraskan dengan batu, membuat huyan Samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Maha Wijaya. Dialah yang membuat semua itu. ditulis dalam tahun saka lima-pandawa-pengasuh-bumi."
Bentuk penghormatan lain yang diciptakan Surawisesa adalah tidak menampilkan namanya di prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti tersebut. Satu berisi astakala ukiran jejak tangan, dan yang satunya berisi padatala ukuran jejak kaki Pemasangan Batutulis ini bertepatan dengan upacara srada yakni wujud "penyempurnaan sukma", yang diadakan setelah 12 tahun seorang raja wafat.
Surawisesa menjadi raja di Kerajaan Pajajaran selama 14 tahun dan ia meninggal di pusaran Padaren. Di antara beberapa raja Pajajaran, hanya ia dan ayahnya Sri Baduga yang termaktub kisah tradisional, baik babad, pantun, maupun Carita Parahiyangan.
Beberapa torehan yang dihasilkan oleh Prabu Surawisesa adalah membuat parit perlindungan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan memanfaatkan benteng alam. Hal ini sangat membantu dalam menahan serangan lawan ke Pajajaran, hingga kerajaan ini runtuh karena serangan Kerajaan Banten pada tahun 1579 M.
Surawisesa adalah putra Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal. Menurut Naskah Carita Parahiyangan, ia menadapat pujian sebagai sosok yang memiliki gelar perwira, perkasa dan tidak pernah takut. Selama 14 tahun menyandang seorang raja, tercatat bahwa ia melakukan pertempuran sebanyak 15 kali.
Menurut Nagara Kretabhumi dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Raja Surawisesa pernah mendapat mandat dari ayahnya untuk menghubungi Alfonso d'Albuquerque seorang Laksamana Bunker di Malaka. ia sebisa mungkin menjalankan amanah tersebut, dan tercatat sebanyak dua kali ia pergi ke Malaka, yakni tahun 1512 M dan 1521 M.
Hasil kunjungan pertama di tahun 1512 M merupakan bentuk penjajakan pihak Portugis yang diikuti oleh Time Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin Hendrik de Leme (merupakan ipar dari Alfonso d'Albuquerque) ke ibu kota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan ini telah disepakati kedua belah pihak antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran mengenai perdagangan dan keamanan. Dari perjanjian ini dibuat tulisan yang berangkap dua, satu untuk Pajajaran dan satunya lagi untuk pihak Portugis. Menurut Soekanto (1956) perjanjian ini secara sah ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Sumber Portugis mengungkapkan "Van deze overeenkomst werdeen geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partijeen behield". Perjanjian ini telah disepakati bersama dan pihak Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Oleh sebab itu, setiap kapal yang dikemudikan Portugis mendarat di Malaka akan diberi muatan lada yang kemudian ditukar dengan barang-barang keperluan yang dibutuhkan pihak Sunda.
Saat benteng sudah mulai dibangun, dengan suka rela pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada setiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" yang ukurannya kurang lebih mencapai 351 kuintal.
Perjanjian yang dilakukan Pajajaran di bawah kekuasaan Surawisesa dengan Portugis ini mendatangkan kecemasan dari pihak Demak yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggana. Kecemasan ini mengacu pada Selat Malaka sebagai pintu masuknya perairan Nusantara sebelah utara. Sudah semestinya setiap pedagang seluruh Nusantara bahkan mancanegara datang untuk berdagang.
Ketika Sunda dan Malaka sudah dikuasai Portugis, secara otomatis akan melumpuhkan sektor maritim kerajaan di Nusantara. Terlebih Selat Malaka sebagai urat nadi kehidupan ekonomi Kerajaan Demak akan terputus. Maka dari itu, langkah yang diambil Sultan Trenggana adalah dengan mengirimkan armada di bawah pimpinan Fadillah Khan saat itu menjabat sebagai Senopati Kesultanan Demak. Fadillah Khan menikah dengan Ratu Pembayun, seorang janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia menikah kembali dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan begitu, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu dari Susuhunan Jati atau Syarif Hidayatullah.
Fadillah terkenal dengan nama Falatehan. Namun orang Portugis yang tidak bisa menyebut nama Fadillah Khan dengan baik menjadi Falatehan. Sedangkan Tome Pires menyebutkan Tagaril menjadi Ki Fadil. Sebutan ini adalah nama julukan yang ditujukan kepada Fadillah Khan dalam kehidupan sehari-hari.
Pintu masuk utama Selat Sunda. Sebelum pasukan ini datang, di Banten telah terjadi huru-hara yang dilakukan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Oleh sebab itu, kedatangan pasukan Fadillah ke Banten menjadikan masyarakat ketakutan.
Mereka berhamburan berlari mengamankan diri. Seperti Bupatà Banten beserta keluarga besarnya memutuskan untuk mengungsi ke ibu kota Pakuan Pajajaran.
Di tahun 1527 M, Fadillah beserta pasukan perang mampu merebut Pelabuhan Kelapa dari tangan Pajajaran. Penaklukkan ini tidak lain karena pasukan Fadillah menggunakan meriam yang tidak dimiliki oleh pasukan Pajajaran. Sehingga pasukan dari Pakuan berhasil dipukul mundur oleh Fadillah.
Pada waktu itu Portugis sebenarnya ingin membantu Pajajaran, tapi sudah terlambat. Hal ini dikarenakan Francisco de Sa yang mendapat tugas dari atasannya untuk membangun proyek benteng diangkat menjadi Gubernur di India. Padahal keberangkatan ke Sunda sudah dipersiapkan dengan 6 kapal dari Goa, tetapi sesampai tengah perjalanan armada ini diterpa badai di Teluk Benggala, tujuan utama mereka yakni ke Banten, tapi setelah mengetahui Banten sudah dikuasai oleh Hasanudin, akhirnya Francisco de Sa memutuskan untuk ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco de Sa memancangkan padrao tepat pada tanggal 30 Juni 1527 M, sekaligus memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge".
Selanjutnya galiun Francisco de Sa memisahkan diri dan hanya kapal Brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung menuju ke Pelabuhan Kalapa. Sebenarnya pada waktu itu, Tanah Sunda yang strategis sudah dikuasai oleh Cirebon-Demak, tetapi Coelho terlambat mengetahui situasi, sehingga ia memutuskan untuk menepi dekat pantai. Hal tersebut menjadikan pasukan Fadillah semakin garang. Coelho dan beberapa prajurit mendapat serangan dadakan dari pasukan Fadillah yang mengakibatkan kerusakan berat dan banyak korban. Walaupun begitu, kapal Portugis di bawah pimpinan Coelho berhasil meloloskan diri dan menuju ke Pasai.
Pada tahun 1529 M, Portugis kembali mempersiapkan 8 buah kapal untuk melakukan balas dendam kepada pasukan Fadillah. Peristiwa 1527 M, yang menimpa pasukan Coelho merupakan tragedi yang menyakitkan bagi Portugis.
Opsi yang dilakukan Portugis yakni tidak menuju ke Malaka ataupun Kalapa, tapi semua armada diarahkan menuju Pedu. Di bawah kepemimpinan Surawisesa, kekuatan Pajajaran semakin menurun jika dibandingkan saat Sri Baduga masih hidup. Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Walaupun yang berkuasa di Cirebon adalah Syarif Hidayatullah, tetapi di belakangnya berdiri orang-orang besar seperti Cakrabuana atau yang memiliki nama asli Haji Abdullah Iman. Cakrabuana merupakan kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan begitu, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain yang masih kekuasaan Pajajaran semakin hilang. Dalam hal kekuatan, Cirebon sendiri tergolong kerajaan yang lemah. la tidak memiliki pasukan dan benteng strategi yang kuat.
Tetapi setelah mendapat sokongan Demak, Cirebon lambat laut mulai tumbuh dan memiliki jati diri kuat di daerah Jawa Barat. Cirebon dan Demak berhasil menguasai kota-kota yang dekat dengan pelabuhan. Di sebelah timur, pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pada tahun 1528 M, Cirebon mengalami pertempuran dengan Galuh. Pertempuran ini juga memperlihatkan peran Demak yang cukup signifikan. Demak mengirim meriam beserta pasukan perang pada saat Cirebon terdesak mundur. Sehingga, pasukan Galuh tidak berdaya menghadapi panah besi yang besar dan menyemburkan kukur ireng dengan suara seperti Guntur kemudian memuntahkan logam panas. Alat perang seperti tombak, anak panah, pedang, dan lain sebagainya lumpuh seketika karena meriam. Pada akhirnya jatuhlah Galuh dan dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Pada tahun 1530 M, Sumedang mulai masuk ke dalam lingkaran penganuh Cirebon. Pengaruh ini ditandal dengan adanya penobatan Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tahun 21 Oktober 1530. Secara garis keturunan, Pangeran Santri merupakan cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Tanah Cirebon. Ia menjadi Bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum Sumedang, sehingga secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah kekuasaan Cirebon. Dengan menguasai wilayah Citarum, Cirebon semakin mendapatkan kedudukan mapan. Selain itu, karena gerakan penggempuran ke Pakuan selalu mendapat perlawanan dari pasukan Surawisesa, akhirnya kedua belah pihak mengambil jalan terbaik dengan menggelar perdamaian dengan mengakui keberadaan daerah masing-masing.
Pada tahun 1531 M, tercipta perdamaian yang dikomandoi Syarif Hidayatullah mewakili Cirebon dan Prabu Surawisesa mewakili Pajajaran. Perjanjian ini menyepakati bahwa masing-masing kerajaan berdiri sebagai negara yang merdeka. Tidak ada penyerangan apapun yang dilakukan kedua belah pihak. Cirebon mengakui keberadaan Pajajaran dan sebaliknya Pajajaran mengakui keberadaan Cirebon.
Dari pihak Cirebon yang ikut menandatangani naskah perjanjian ini adalah Pangeran Pasarean merupakan Putra Mahkota Cirebon, Fadillah Khan dan Hasanudin. Perjanjian ini memberikan kesempatan kepada Surawisesa untuk mengurus kembali Kerajaan Pajajaran yang sempat kocar-kacir karena kerusuhan yang terus terjadi. la mendapat kesempatan membenahi seluruh struktur kerajaan.
Warisan dari sang ayah yang hanya tersisa setengah, mulai ia pulihkan kembali. Walaupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran di bidang maritim, Surawisesa tetap bersyukur karena Pajajaran tidak runtuh di tangannya. Surawisesa tercatat masih memiliki 1000 pasukan perang belamati yang setia kepadanya. Dalam suasana inilah ia mengenang kebesaran ayahnya, bahwa Kerajaan Pajajaran pernah berdiri tegak dan mampu menjadi tombak sejarah di Jawa bagian barat.
Perjanjian damai yang dilakukan dengan Cirebon telah memberi kesempatan Prabu Surawisesa untuk menunjukkan rasa hormat terhadap ayahnya sekaligus menunjukkan penyesalan mendalam karena belum mampu menjaga amanah yang ayahnya berikan yakni mempertahankan Pakuan Pajajaran tetap utuh.
Tahun 1533 M, tepat 12 tahun setelah wafatnya Raja Sri Baduga, ia membuat sasakala (tanda peringatan) yang ditujukan kepada ayahnya. Tanda peringatan ini kelak dikenal dengan nama Prasasti Batutulis yang mulanya diletakkan di Kabuyutan, tempat tenda kebesaran Sri Baduga yang berupa lingga. Batu ditancapkan di dasar tanah. Penempatan ini supaya kedudukan anak dengan ayah tetap mudah terlihat. Seorang anak yang ingin mengenang kebesaran sang ayah, Sri Baduga dengan peninggalan-peninggalan Surawisesa ciptakan. Surawisesa sendiri tidak berani berdiri dengan bersandingan dengan sang ayah. Demikian Prasasti Batutulis diletakkan agak menjorok ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Tanda peringatan di Prasasti Batutulis itu berisi sebagai berikut:
"Semoga selamat. Inilah tanda peringatan untuk Prabu Ratu Almarhum, dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja, raja penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata Dialah yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan, meluaskan jalan dan mengeraskan dengan batu, membuat huyan Samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Maha Wijaya. Dialah yang membuat semua itu. ditulis dalam tahun saka lima-pandawa-pengasuh-bumi."
Bentuk penghormatan lain yang diciptakan Surawisesa adalah tidak menampilkan namanya di prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti tersebut. Satu berisi astakala ukiran jejak tangan, dan yang satunya berisi padatala ukuran jejak kaki Pemasangan Batutulis ini bertepatan dengan upacara srada yakni wujud "penyempurnaan sukma", yang diadakan setelah 12 tahun seorang raja wafat.
Surawisesa menjadi raja di Kerajaan Pajajaran selama 14 tahun dan ia meninggal di pusaran Padaren. Di antara beberapa raja Pajajaran, hanya ia dan ayahnya Sri Baduga yang termaktub kisah tradisional, baik babad, pantun, maupun Carita Parahiyangan.
Beberapa torehan yang dihasilkan oleh Prabu Surawisesa adalah membuat parit perlindungan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan memanfaatkan benteng alam. Hal ini sangat membantu dalam menahan serangan lawan ke Pajajaran, hingga kerajaan ini runtuh karena serangan Kerajaan Banten pada tahun 1579 M.
Selepa wafatnya Surawisesa, Pajajaran diperintah oleh Raja yang tidak cakap dalam politik, Raja Pengganti Surawisesa juga dikenal sebagai Raja yang lebih banyak mendalami ilmu agama ketimbang bertindak sebagai Raja. Pada Raja ini pula Pajajaran tercatat mengadakan Sunatan (Khitanan pra Islam) yang memang sudah menjadi adat kebiasaan orang Sunda sejak dulu.
Kisah lebih lanjut mengenai Raja Pengganti Surawisesa dapat anda baca dalam artikel kami selanjutnya yang berjudul "Ratu Dewata Raja Pajajaran Ketiga".
Penulis : Anisa Angraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Penulis : Anisa Angraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Posting Komentar untuk "Surawisesa Raja Pajajaran Kedua"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.