Raja-Raja Demak dan Kebijakanya
Selama berdiri Kerajaan demak diprintah oleh 4 orang raja, meskipun begitu ada juga yang menganggapnya diprintah oleh 5 orang raja, karena Arya Penangsang dimasukan pada daftar raja-raja Demak.
Berikut ini urian mengenai Raja-Raja di Kesultanan Demak disertai dengan kebijakanya pada saat memerintah.
Perkawinannya dengan Swan Liong, selir Cina itu melahirkan Kin Sa Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina itu adalah Siu Ban Ci yang merupakan putri pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat adalah seorang saudagar dan ulama yang bergelar Syekh Bantong (Sunan Bonang).
Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah merupakan putra Brawijaya yang lahir dari seorang putri Negeri Cempa (Cina). Karena sang permaisuri yakni Ratu Dwarawati cemburu, putri dari Negeri Cempa yang telah mengandung itu diberikan Brawijaya pada putra sulungnya yang bernama Arya Dilah atau Arya Damar (Bupati Palembang).
Di masa menjabat sebagai Sultan Demak (1478- 1518), Raden Patah yang bergelar Senapati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, Sultan Syah Alam Akbar (Serat Pranitiradya), atau Sultan Surya Alam (Hikayat Banjar) mengaplikasikan kebijak-kebijakannya. Terdapat 4 kebijakan Raden Patah yang dapat diuraikan, yaitu:
Bila mengacu pada catatan Sayyid Bahruddin Ba'alawi tentang Asyraf di Tanah Persia yang bertanggal 9 September 1979,bahwa ibu Pati Unus bernama Syarifah Ummu Banin Al-Hasani. la merupakan keturunan Imam Hasan Bin Fathimah binti Nabi Muhamınad dari Persia. Pada tahun 1500, Raden Patah menikahkan Pati Unus dengan putrinya.
Sesudah menjadi menantu Raden Patah, Pati Unus diangkat sebagai adipati Jepara. Selain menikahi putri Raden Patah, Pati Unus menikah dengan putri Sunan Gunungjati (1511). Dari pernikahan itu, Pati Unus diangkat sebagai panglima Gabungan Armada Islam yang membawahi armada Kesultanan Banten, Demak, dan Cirebon dengan tugas besar yakni merebut tanah Malaka dari Portugis. Dari tugas yang diembannya itu, Pati Unus mendapat gelar Senapati Sarjawala. Karir terpuncak Adipati Pati Unus sebagai raja di Kesultanan Demak sesudah Raden Patah mangkat pada tahun 1518.
Sesudah 3 tahun (1518-1521) menjabat sebagai raja, Pati Unus berhasrat kembali untuk merebut wilayah Malaka dari cengkeraman Portugis. Karenanya dengan armada perang yang sangat besar, Pati Unus bertolak ke Malaka.
Sebagaimana pasukan Demak, Portugis sendiri telah melakukan persiapan dengan matang. Dengan meriam-meriam berukuran besar, pasukan Portugis menangkal serangan yang digencarkan pasukan Demak. Pertempuran dahsyat antara ke dua pasukan terebut tidak dapat terhindari.
Dari pertempuran antara pasukan Portugis dan Demak tersebut, banyak menelan korban nyawa. Tidak hanya para prajurit, namun Pati Unus yang beserta putra pertama dan ketiganya turut gugur dalam pertempuran itu. Sementara, Raden Abdullah (putra Pati Unus ke-2) yang selamat dari pertempuran itu berhasil pulang ke Jawa.
Sultan Trenggana memiliki beberapa orang putra dan putri, antara lain: Raden Mukmin atau Sunan Prawata (Sultan Demak ke-4), Ratu Kalinyamat (Bupati Jepara), Ratu Mas Cempaka (istri Mas Karebet/Jaka Tingkir/ Adipati atau Sultan Hadiwijaya dari Pajang), dan Pangeran Timur atau Rangga Jumena (Adipati Madiun).
Di samping mampu menaklukkan Majapahit pada tahun 1527, Sultan Trenggana mampu menundukkan beberapa wilayah timur, antara lain: Tuban (1527) Wirasari atau Madiun (1529), Medangkungan atau Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruhan (1535). Lamongan, Blitar, Wirasaba atau Majaagung/Jombang (1541-1542), Gunung Pananggunggan yang merupakan pusat sisa-sisa pelarian orang-orang Majapahit (1543) dan Sengguruh di Malang (1545). Banyak hal yang dilaksanakan Sultan Trenggana selama menjabat sebagai penguasa di Kesultanan Demak menikahkan pemuda Pasai bernama Fatahilah dengan adiknya yang bernama Ratu Pembayun. Seorang janda dari Pangeran Jayakelana (putra Sunan Gunungjati).
Menurut Babad Tanah Jaw a disebutkan, Sultan Trenggana pula menikahkan Jaka Tingkir yang telah mampu membinasakan kerbau ndanu di Gunung Prawata itu dengan Ratu Mas Cempaka putrinya. Tidak lama kemudian, Sultan Trenggana pula mengangkat Jaka Tingkir sebagai Adipati di Pajang.
Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga yang tengah membantu dakwah Sunan Gunungjati di Cirebon itu ke Demak. Beberapa waktu kemudian, terjadi perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Kudus dalam menentukan awal bulan Ramadhan.
Dalam hal ini, Sultan Trenggana cenderung sependapat dengan Sultan Kalijaga. Akibatnya, Sultan Kudus kecewa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak. Selepas Sunan Kudus, Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan mendapatkan tanah perdikan di Kadilangu. Perihal kemangkatan Sultan Trenggana.
Menurut Fernandez Mendez Pinto, kemangkatan Sultan Trenggana yang terkesan sangat tragis itu diberitakan, sebagai berikut: Pada tahun 1546, Sultan Trenggana menyerang Panarukan (Situbondo) yang berada di bawah kekuasaan Blambangan.
Dalam peperangan itu, Sunan Gunungjati membantu pengiriman 7.000 pasukan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta yang dipimpin oleh Fatahilah. Fernandez Mendez Pinto bersama 40 orang temannya terlibat sebagai anggota pasukan Banten. Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama 3 bulan, namun belum berhasil merebut kota itu. Suatu ketika, Sultan Trenggana bermusyawarah bersama para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya.
Putra bupati Surabaya yang masih berusia 10 tahun dan bertugas sebagai pelayan itu sangat tertarik dengan jalannya rapat hingga tidak mendengar perintah Sultan Trenggana untuk menyingkir. Akibatnya Sultan Trenggana murka. mendapatkan pukulan dari Sultan Trenggana, anak itu sontak membalas menusukkan pisau ke dada Sesudah penguasa Demak Bintara itu. Akibatnya Sultan Trenggana tewas. Jenazahnya dibawa pulang ke Demak.
Semasa menjabat sebagai Sultan, Raden Mukmin memindahkan Ibukota Kesultanan Demak dari Bintara ke Gunung Prawata (Desa Prawata, Sukajila, Pati). Sejak peristiwa itu, Raden Mukmin dikenal dengan nama Sunan Prawata.
Sultan Demak ke-4 yang berkuasa dari tahun 1546 hingga 1549. Dalam mengemban tugas pemerintahan di Kesultanan Demak, Sunan Prawata dianggap lemah, terutama yang berkaitan dengan persoalan politik. Salah satu bukti yang tidak dapat disangkal, bahwa Sunan Prawata lebih memilih jalan hidup sebagai ulama ketimbang sebagai seorang raja atau sultan.
Ungkapan di muka sejalan dengan catatan Pinto dari Portugis. Menurut catatan Pinto, Sunan Prawata berencana untuk meng-Islam-kan seluruh orang Jawa dan ingin berkuasa seperti Sultan Turki. Namun kenyataannya, rencana Sunan Prawata hanya berhenti Bahkan sewaktu Sunan Prawata pada rencana. semakin suntuk dalam urusan agama, banyak wilayah bawahan seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik melepaskan diri dari kekuasaan Demak.
Sunan Prawata berniat menaklukkan Makassar dan menutup jalur beras ke Malaka. Namun berkat bujukan Pinto, niat itu pun pupus. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa Sunan Prawata adalah seorang raja yang lemah. Mudah terpengaruh dengan pihak lain. Suka menggantang mimpi di puncak langit, namun tak pernah berusaha untuk meraihnya.
Berdasarkan Babad Tanah Jawa, Sunan Prawata yang cenderung berkiblat pada Sunan Kalijaga membuat iri Sunan Kudus. Karena keiriannya itu, Sunan Kudus membongkar rahasia tentang kematian Raden Kikin pada Arya Penangsang atau Arya Jipang (adipati Jipang).
Mendengar kisah Raden Kikin ayahnya yang dibunuh oleh Ki Surayata atas perintah Sunan Prawata, Arya Penangsang memerintahkan Rangkud untuk membunuh penguasa Demak itu. Sesudah mendapatkan keris Kyai Betok dari Arya Penangsang, Rangkud berangkat ke bukit Prawata.
Sesudah berhasil memasuki ruang peraduan, Rangkud menikamkan Kyai Betok ke tubuh Sunan Prawata hingga tembus ke tubuh istrinya yang tengah pulas tertidur. Sebelum menghembuskan napas terakhir bersama istrinya, Sunan Prawata melemparkan Kyai Betok yang ditarik dari tubuhnya ke arah Rangkud. Abdi perjineman Arya Penangsang itu pun tewas.
Beberapa hari sepeninggal Sunan Prawata, Pangeran Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat datang ke Kasunanan Kudus. Tidak ada tujuan selain meminta penjelasan dari Sunan Kudus tentang Arya Penangsang yang menyuruh Rangkud untuk membunuh Sunan Prawata kakaknya. Tidak ada penjelasan dari Sunan Kudus pada mereka selain perkataan, "Hutang nyawa dibalas dengan nyawa!" Dengan perasaan kecewa, Pangeran Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat meninggalkan Kasunanan Kudus.
Di tengah perjalanan, mereka dihadang Arya Penangsang. Dengan mata gelap, Arya Penangsang dapat menikamkan kerisnya ke tubuh Pangeran Kalinyamat sesudah bertanding sekian lama.
Sepeninggal Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat yang kemudian pergi ke Gunung Danaraja untuk bertapa dengan hanya menutupkan rambutnya. Kiranya telah menjadi suratan takdir, bahwa seorang yang dapat memenuhi harapan Ratu Kalinyamat adalah Pemanahan beserta Penjawi, Raden Bagus (Danang Sutawijaya), dan Juru Mrentani. Karenanya kelak, Jepara yang merupakan wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat itu menjadi bawahan Kesultanan Mataram Islam (Kesultanan Mataram Baru).
Arya Penangsang Terdapat sebagian sejarawan pendapat bahwa raja- raja Kesultanan Demak hanya berakhir pada masa Sunan Prawata. Namun sebagian sejarawan lainnya mengemukakan pendapat bahwa raja terakhir Kesultanan Demak adalah Arya Penangsang yang sering disebut dengan Arya Jipang. Karena, ia tinggal di wilayah Jipang yang masih berada di wilayah Kesultanan Demak. Pendapat bahwa Arya Penangsang menjadi sultan Demak terakhir bisa dianggap logis. Mengingat sesudah berhasil membunuh Sunan Prawata melalui utusannya yakni Rangkud, Arya Penangsang menobatkan diri sebagai raja di Demak dengan pusat pemerintahan di Jipang pada tahun 1549.
Arya Penasang yang pula membunuh Pangeran Kalinyamat (istri Ratu Kalinyamat) tersebut menjadi raja Demak, Adipati Hadiwijaya dari Pajang berniat melakukan pemberontakan. Bila dianalisis, memberontakan itu tidak hanya didorong karena inginmenjadi raja, melainkan pula karena permintaan Ratu Kalinyamat yang suaminya dibunuh Arya Penangsang. Karena tidak ingin merealisasikan tujuannya sendiri, Adipati Hadiwijaya membuka sayembara di mana bagi yang bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Mentaok dan Pati.
Mendengar pengumuman dari Adipati Hadiwijaya itu; Pemanahan. Ketika Penjawi, dan Danang Sutawijaya yang mendapatkan dukungan dari Juru Mrentani menyatakan diri untuk mengikuti sayembara itu. Singkat kata, mereka berhasil membunuh Arya Penangsang di Kali Bengawan Sore pada tahun 1549.
Namun pendapat bahwa Arya Penangsang tewas di Sungai Bengawan Sore itu ditentang oleh segelintir pendapat yang menyatakan bahwa Arya Penangsang tidak tewas dalam peperangan melawan Pemanahan, Penjawi, Danang Sutawijaya, dan Juru Mrentani. melainkan melarikan diri ke Palembang. Pendapat ini berdasarkan makam di Palembang yang diduga sebagai makam Arya Penangsang.
Penulis: Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Berikut ini urian mengenai Raja-Raja di Kesultanan Demak disertai dengan kebijakanya pada saat memerintah.
Raden Patah (1478-1518)
Dalam Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong disebutkan bahwa Raden Patah yang pula dikenal dengan Jin-Bun itu lahir pada tahun 1455. Raden Patah merupakan putra Kung-ta-bu-mi atau Kertabhumi (raja Majapahit) yang lahir dari selir Cina. Oleh Kung-ta-bu-mi, selir Cina itu diberikan pada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang.Perkawinannya dengan Swan Liong, selir Cina itu melahirkan Kin Sa Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina itu adalah Siu Ban Ci yang merupakan putri pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat adalah seorang saudagar dan ulama yang bergelar Syekh Bantong (Sunan Bonang).
Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah merupakan putra Brawijaya yang lahir dari seorang putri Negeri Cempa (Cina). Karena sang permaisuri yakni Ratu Dwarawati cemburu, putri dari Negeri Cempa yang telah mengandung itu diberikan Brawijaya pada putra sulungnya yang bernama Arya Dilah atau Arya Damar (Bupati Palembang).
Di masa menjabat sebagai Sultan Demak (1478- 1518), Raden Patah yang bergelar Senapati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, Sultan Syah Alam Akbar (Serat Pranitiradya), atau Sultan Surya Alam (Hikayat Banjar) mengaplikasikan kebijak-kebijakannya. Terdapat 4 kebijakan Raden Patah yang dapat diuraikan, yaitu:
- Memerkenalkan pemakaian Salokantara Di dalam menopang ketertiban dan peraturan di dalam lingkup Kesultanan Demak, Raden Patah memerkenalkan pemakaian Salokantara yang dijadikan sebagai Kitab Undang-Undang Kerajaan. Dari kebijakan ini bisa ditafsirkan bahwa Raden Patah telah memiliki kesadaran terhadap pentingnya suatu peraturan, perundang- undangan, atau hukum negara yang tertulis.
- Mengembangkan syiar Islam Di dalam upaya mengembangkan syiar Islam di Tanah Jawa, Raden Patah yang mendapatkan dukungan Majelis Dakwah Walisanga mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479. Melalui Masjid Agung tersebut, anggota Majelis Dakwah Walisanga dapat melakukan syiar Islam, bermusyawarah, serta berinteraksi dengan umatnya.
- Menjunjung toleransi agama Sekalipun beragama Islam dan selalu konsisten untuk turut mengembangkan syiar Islam bersama anggota Majelis Dakwah Walisanga, namun Raden Patah turut menjunjung tinggi terhadap toleransi agama. Terbukti, Raden Patah tidak memaksakan Kuil Sam Po Kong (Semarang) untuk diubah menjadi masjid sebagaimana fungsinya saat didirikan Admiral Cheng Ho. Spirit toleransi agama yang dimiliki Raden Patah ini mengukuhkan pendapat, bahwa ia tidak pernah melakukan penyerangan terhadap Brawijaya ayahnya dikarenakan perbedaan agama. Melainkan, Raden Patah melakukan penyerangan terhadap Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang telah mengkudeta Bhre Kertabhumi sang penguasa Majapahit.
- Melaksanakan Ekspedisi I Secara lambat-laun, Kesultanan Demak mengalami perkembangan. Sesudah Demak memiliki pasukan yang cukup tangguh, Raden Patah. Memerlancar ekspor hasil bumi ke Malaka dengan melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah tersebut. Untuk merealisasikan usahanya itu, Raden Patah menerapkan kebijakan yakni melaksanakan EkspedisiI pada tahun 1513. Namun dalam usahanya itu, Raden Patah mengalami kegagalan. Bahkan putra mahkotanya yang bernama Raden Surya gugur saat menjalankan misi tersebut.
Pati Unus (1518-1521)
Menurut beberapa sumber, Pati Unus yang sebelumnya menjadi adipati Jepara tersebut memiliki nama asli Raden Abdul Qadir bin Raden Muhammad Yunus (Syekh Khaliqul Idrus) bin Syekh Muhammad Al Alsiy bin Syekh Abdul Muhyl Al Khayri bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (keturunan cucu Nabi Muhammad dari generasi ke-19).Bila mengacu pada catatan Sayyid Bahruddin Ba'alawi tentang Asyraf di Tanah Persia yang bertanggal 9 September 1979,bahwa ibu Pati Unus bernama Syarifah Ummu Banin Al-Hasani. la merupakan keturunan Imam Hasan Bin Fathimah binti Nabi Muhamınad dari Persia. Pada tahun 1500, Raden Patah menikahkan Pati Unus dengan putrinya.
Sesudah menjadi menantu Raden Patah, Pati Unus diangkat sebagai adipati Jepara. Selain menikahi putri Raden Patah, Pati Unus menikah dengan putri Sunan Gunungjati (1511). Dari pernikahan itu, Pati Unus diangkat sebagai panglima Gabungan Armada Islam yang membawahi armada Kesultanan Banten, Demak, dan Cirebon dengan tugas besar yakni merebut tanah Malaka dari Portugis. Dari tugas yang diembannya itu, Pati Unus mendapat gelar Senapati Sarjawala. Karir terpuncak Adipati Pati Unus sebagai raja di Kesultanan Demak sesudah Raden Patah mangkat pada tahun 1518.
Sesudah 3 tahun (1518-1521) menjabat sebagai raja, Pati Unus berhasrat kembali untuk merebut wilayah Malaka dari cengkeraman Portugis. Karenanya dengan armada perang yang sangat besar, Pati Unus bertolak ke Malaka.
Sebagaimana pasukan Demak, Portugis sendiri telah melakukan persiapan dengan matang. Dengan meriam-meriam berukuran besar, pasukan Portugis menangkal serangan yang digencarkan pasukan Demak. Pertempuran dahsyat antara ke dua pasukan terebut tidak dapat terhindari.
Dari pertempuran antara pasukan Portugis dan Demak tersebut, banyak menelan korban nyawa. Tidak hanya para prajurit, namun Pati Unus yang beserta putra pertama dan ketiganya turut gugur dalam pertempuran itu. Sementara, Raden Abdullah (putra Pati Unus ke-2) yang selamat dari pertempuran itu berhasil pulang ke Jawa.
Sultan Trenggana ( 1521-1546)
Sultan Trenggana merupakan putra Raden Patah yang lahir dari permaisuri Nyi Gedhe Maloka atau Ratu Asyikah binti Sunan Ampel. Karenanya, ia masih terbilang sebagai cucu dari Bhre Kertabhumi (dari garis ayah) serta Sunan Ampel (dari garis ibu).Sultan Trenggana memiliki beberapa orang putra dan putri, antara lain: Raden Mukmin atau Sunan Prawata (Sultan Demak ke-4), Ratu Kalinyamat (Bupati Jepara), Ratu Mas Cempaka (istri Mas Karebet/Jaka Tingkir/ Adipati atau Sultan Hadiwijaya dari Pajang), dan Pangeran Timur atau Rangga Jumena (Adipati Madiun).
Di samping mampu menaklukkan Majapahit pada tahun 1527, Sultan Trenggana mampu menundukkan beberapa wilayah timur, antara lain: Tuban (1527) Wirasari atau Madiun (1529), Medangkungan atau Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruhan (1535). Lamongan, Blitar, Wirasaba atau Majaagung/Jombang (1541-1542), Gunung Pananggunggan yang merupakan pusat sisa-sisa pelarian orang-orang Majapahit (1543) dan Sengguruh di Malang (1545). Banyak hal yang dilaksanakan Sultan Trenggana selama menjabat sebagai penguasa di Kesultanan Demak menikahkan pemuda Pasai bernama Fatahilah dengan adiknya yang bernama Ratu Pembayun. Seorang janda dari Pangeran Jayakelana (putra Sunan Gunungjati).
Menurut Babad Tanah Jaw a disebutkan, Sultan Trenggana pula menikahkan Jaka Tingkir yang telah mampu membinasakan kerbau ndanu di Gunung Prawata itu dengan Ratu Mas Cempaka putrinya. Tidak lama kemudian, Sultan Trenggana pula mengangkat Jaka Tingkir sebagai Adipati di Pajang.
Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga yang tengah membantu dakwah Sunan Gunungjati di Cirebon itu ke Demak. Beberapa waktu kemudian, terjadi perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Kudus dalam menentukan awal bulan Ramadhan.
Dalam hal ini, Sultan Trenggana cenderung sependapat dengan Sultan Kalijaga. Akibatnya, Sultan Kudus kecewa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak. Selepas Sunan Kudus, Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan mendapatkan tanah perdikan di Kadilangu. Perihal kemangkatan Sultan Trenggana.
Menurut Fernandez Mendez Pinto, kemangkatan Sultan Trenggana yang terkesan sangat tragis itu diberitakan, sebagai berikut: Pada tahun 1546, Sultan Trenggana menyerang Panarukan (Situbondo) yang berada di bawah kekuasaan Blambangan.
Dalam peperangan itu, Sunan Gunungjati membantu pengiriman 7.000 pasukan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta yang dipimpin oleh Fatahilah. Fernandez Mendez Pinto bersama 40 orang temannya terlibat sebagai anggota pasukan Banten. Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama 3 bulan, namun belum berhasil merebut kota itu. Suatu ketika, Sultan Trenggana bermusyawarah bersama para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya.
Putra bupati Surabaya yang masih berusia 10 tahun dan bertugas sebagai pelayan itu sangat tertarik dengan jalannya rapat hingga tidak mendengar perintah Sultan Trenggana untuk menyingkir. Akibatnya Sultan Trenggana murka. mendapatkan pukulan dari Sultan Trenggana, anak itu sontak membalas menusukkan pisau ke dada Sesudah penguasa Demak Bintara itu. Akibatnya Sultan Trenggana tewas. Jenazahnya dibawa pulang ke Demak.
Sunan Prawata (1546-1549)
Raden Mukmin merupakan putra Sultan Trenggana yang pertama. Raden Mukmin masih bersaudara dengan Ratu Kalinyamat, Ratu Mas Cempaka, dan Pangeran Timur. Adapun putranya yang bernama Arya Pangiri kelak diasuh Ratu Kalinyamat sepeninggal Raden Mukmin.Semasa menjabat sebagai Sultan, Raden Mukmin memindahkan Ibukota Kesultanan Demak dari Bintara ke Gunung Prawata (Desa Prawata, Sukajila, Pati). Sejak peristiwa itu, Raden Mukmin dikenal dengan nama Sunan Prawata.
Sultan Demak ke-4 yang berkuasa dari tahun 1546 hingga 1549. Dalam mengemban tugas pemerintahan di Kesultanan Demak, Sunan Prawata dianggap lemah, terutama yang berkaitan dengan persoalan politik. Salah satu bukti yang tidak dapat disangkal, bahwa Sunan Prawata lebih memilih jalan hidup sebagai ulama ketimbang sebagai seorang raja atau sultan.
Ungkapan di muka sejalan dengan catatan Pinto dari Portugis. Menurut catatan Pinto, Sunan Prawata berencana untuk meng-Islam-kan seluruh orang Jawa dan ingin berkuasa seperti Sultan Turki. Namun kenyataannya, rencana Sunan Prawata hanya berhenti Bahkan sewaktu Sunan Prawata pada rencana. semakin suntuk dalam urusan agama, banyak wilayah bawahan seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik melepaskan diri dari kekuasaan Demak.
Sunan Prawata berniat menaklukkan Makassar dan menutup jalur beras ke Malaka. Namun berkat bujukan Pinto, niat itu pun pupus. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa Sunan Prawata adalah seorang raja yang lemah. Mudah terpengaruh dengan pihak lain. Suka menggantang mimpi di puncak langit, namun tak pernah berusaha untuk meraihnya.
Berdasarkan Babad Tanah Jawa, Sunan Prawata yang cenderung berkiblat pada Sunan Kalijaga membuat iri Sunan Kudus. Karena keiriannya itu, Sunan Kudus membongkar rahasia tentang kematian Raden Kikin pada Arya Penangsang atau Arya Jipang (adipati Jipang).
Mendengar kisah Raden Kikin ayahnya yang dibunuh oleh Ki Surayata atas perintah Sunan Prawata, Arya Penangsang memerintahkan Rangkud untuk membunuh penguasa Demak itu. Sesudah mendapatkan keris Kyai Betok dari Arya Penangsang, Rangkud berangkat ke bukit Prawata.
Sesudah berhasil memasuki ruang peraduan, Rangkud menikamkan Kyai Betok ke tubuh Sunan Prawata hingga tembus ke tubuh istrinya yang tengah pulas tertidur. Sebelum menghembuskan napas terakhir bersama istrinya, Sunan Prawata melemparkan Kyai Betok yang ditarik dari tubuhnya ke arah Rangkud. Abdi perjineman Arya Penangsang itu pun tewas.
Beberapa hari sepeninggal Sunan Prawata, Pangeran Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat datang ke Kasunanan Kudus. Tidak ada tujuan selain meminta penjelasan dari Sunan Kudus tentang Arya Penangsang yang menyuruh Rangkud untuk membunuh Sunan Prawata kakaknya. Tidak ada penjelasan dari Sunan Kudus pada mereka selain perkataan, "Hutang nyawa dibalas dengan nyawa!" Dengan perasaan kecewa, Pangeran Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat meninggalkan Kasunanan Kudus.
Di tengah perjalanan, mereka dihadang Arya Penangsang. Dengan mata gelap, Arya Penangsang dapat menikamkan kerisnya ke tubuh Pangeran Kalinyamat sesudah bertanding sekian lama.
Sepeninggal Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat yang kemudian pergi ke Gunung Danaraja untuk bertapa dengan hanya menutupkan rambutnya. Kiranya telah menjadi suratan takdir, bahwa seorang yang dapat memenuhi harapan Ratu Kalinyamat adalah Pemanahan beserta Penjawi, Raden Bagus (Danang Sutawijaya), dan Juru Mrentani. Karenanya kelak, Jepara yang merupakan wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat itu menjadi bawahan Kesultanan Mataram Islam (Kesultanan Mataram Baru).
Arya Penangsang Terdapat sebagian sejarawan pendapat bahwa raja- raja Kesultanan Demak hanya berakhir pada masa Sunan Prawata. Namun sebagian sejarawan lainnya mengemukakan pendapat bahwa raja terakhir Kesultanan Demak adalah Arya Penangsang yang sering disebut dengan Arya Jipang. Karena, ia tinggal di wilayah Jipang yang masih berada di wilayah Kesultanan Demak. Pendapat bahwa Arya Penangsang menjadi sultan Demak terakhir bisa dianggap logis. Mengingat sesudah berhasil membunuh Sunan Prawata melalui utusannya yakni Rangkud, Arya Penangsang menobatkan diri sebagai raja di Demak dengan pusat pemerintahan di Jipang pada tahun 1549.
Arya Penasang yang pula membunuh Pangeran Kalinyamat (istri Ratu Kalinyamat) tersebut menjadi raja Demak, Adipati Hadiwijaya dari Pajang berniat melakukan pemberontakan. Bila dianalisis, memberontakan itu tidak hanya didorong karena inginmenjadi raja, melainkan pula karena permintaan Ratu Kalinyamat yang suaminya dibunuh Arya Penangsang. Karena tidak ingin merealisasikan tujuannya sendiri, Adipati Hadiwijaya membuka sayembara di mana bagi yang bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Mentaok dan Pati.
Mendengar pengumuman dari Adipati Hadiwijaya itu; Pemanahan. Ketika Penjawi, dan Danang Sutawijaya yang mendapatkan dukungan dari Juru Mrentani menyatakan diri untuk mengikuti sayembara itu. Singkat kata, mereka berhasil membunuh Arya Penangsang di Kali Bengawan Sore pada tahun 1549.
Namun pendapat bahwa Arya Penangsang tewas di Sungai Bengawan Sore itu ditentang oleh segelintir pendapat yang menyatakan bahwa Arya Penangsang tidak tewas dalam peperangan melawan Pemanahan, Penjawi, Danang Sutawijaya, dan Juru Mrentani. melainkan melarikan diri ke Palembang. Pendapat ini berdasarkan makam di Palembang yang diduga sebagai makam Arya Penangsang.
Penulis: Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon
Posting Komentar untuk "Raja-Raja Demak dan Kebijakanya"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.