3 Pasukan Militer Dalam Peristiwa G 30 S/PKI
Gerakan 30 S/PKI atau yang lebih dikenal Gestapu (Gerakan September Tigapuluh) secara lapangan dijalankan oleh 3 pasukan militer, ketiga pasukan militer tersebut salah satunya ditugaskan untuk menculik dan membunuh para petinggi militer Angkatan Darat. Uniknya 3 pasukan militer tersebut pimpinan dan anggotanya merupakan anak buah tokoh militer yang kelak menjadi pahlawan dalam penggagalan Gerakan 30 S/PKI.
Menurut Antonio, dalam bukunya "Soekarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan", menyebutkan bahwa pada rapat 22 September 1965, PKI mulai membagi tiga pasukan yang harus melakukan tugas-tugas yang berbeda, yaitu : (1) Pasukan Pasopati yang bertugas untuk menculik dan membunuh Jenderal Angkatan Darat (2) Pasukan Bimasakti yang bertugas untuk menguasai RRI dan Telekomunikasi, dan (3) Pasukan Gatotkaca yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan di Lubang Buaya.
Lebih lanjut Antonio menambahkan bahwa secara fisik gerakan militer kubu PKI dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang merupakan Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa juga selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Mereka bergerak pada dini hari tepatnya pada tanggal 30 September menjelang 1 Oktober 1965 dini hari, dan mengawali pergerakannya dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama.
Para perwira tersebut diantaranya adalah Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, Lettu Pierre Tendean yang merupakan Ajudan Jenderal A.H. Nasutionpun ikut tewas dalam tragedi ini, seharusnya yang menjadi target utama penculikan dan pembunuhan tersebut adalah Jenderal TNI A.H. Nasution.
Terkait dengan penculikan para jenderal AD tersebut, Untung dan beberapa petinggi “Gerakan 30 September” menggunakan dua Battalion yakni Battalion 454 dan 530, keduanya merupakan pasukan elit Kostrad yang berada di bawah Soeharto.
Baik keterangan Antonio maupun keterangan dari Soebandrio dalam bukunya "Peristiwa G 30S" menyatakan bahwa dua Battalion tersebut merupakan anak buah Soeharto. Hal ini mengindikasikan adanya keterkaitan baik secara langsung maupun tidak antara Soeharto dengan gerakan 30 September.
Prihal keterlibatan anak buah Soeharto, ditegaskan pula oleh Soebandrio dengan membeberkan latar belakang pasukan yang menculik para jenderal tersebut.
Menurut Antonio, dalam bukunya "Soekarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan", menyebutkan bahwa pada rapat 22 September 1965, PKI mulai membagi tiga pasukan yang harus melakukan tugas-tugas yang berbeda, yaitu : (1) Pasukan Pasopati yang bertugas untuk menculik dan membunuh Jenderal Angkatan Darat (2) Pasukan Bimasakti yang bertugas untuk menguasai RRI dan Telekomunikasi, dan (3) Pasukan Gatotkaca yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan di Lubang Buaya.
Lebih lanjut Antonio menambahkan bahwa secara fisik gerakan militer kubu PKI dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang merupakan Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa juga selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Mereka bergerak pada dini hari tepatnya pada tanggal 30 September menjelang 1 Oktober 1965 dini hari, dan mengawali pergerakannya dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama.
Para perwira tersebut diantaranya adalah Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, Lettu Pierre Tendean yang merupakan Ajudan Jenderal A.H. Nasutionpun ikut tewas dalam tragedi ini, seharusnya yang menjadi target utama penculikan dan pembunuhan tersebut adalah Jenderal TNI A.H. Nasution.
Terkait dengan penculikan para jenderal AD tersebut, Untung dan beberapa petinggi “Gerakan 30 September” menggunakan dua Battalion yakni Battalion 454 dan 530, keduanya merupakan pasukan elit Kostrad yang berada di bawah Soeharto.
Baik keterangan Antonio maupun keterangan dari Soebandrio dalam bukunya "Peristiwa G 30S" menyatakan bahwa dua Battalion tersebut merupakan anak buah Soeharto. Hal ini mengindikasikan adanya keterkaitan baik secara langsung maupun tidak antara Soeharto dengan gerakan 30 September.
Prihal keterlibatan anak buah Soeharto, ditegaskan pula oleh Soebandrio dengan membeberkan latar belakang pasukan yang menculik para jenderal tersebut.
Untung dan Latief merupakan bawahan Soeharto ketika di divisi Diponegoro Semarang dan Syam Kamaruzzaman merupakan anak buah Soeharto dalam perang Patuk Jogja.
Sementara itu, menurut Yoseph Tugio Taher, kendatipun ada orang yang mungkin mengatakan bahwa Soeharto bukanlah otak atau perencana G30S, namun faktanya, dia menyetujui apa yang bakal dilakukan oleh Letkol Untung, bahkan memberi bantuan militer dengan pemanggilan Batalyon 530 dari Jatim dan Batalyon 454 dari Jateng.
"Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah" kata Soeharto kepada Letkol Untung. Kala itu kepada Letkol Untung, Mayjen Soeharto tidak mengungkapkan bahwa dia juga akan memanggil Yon 328/RPKAD Siliwangi.
Pernyataan senada diungkapkan oleh Doktor Peter Dale Scott, ia melihat banyak keanehan dalam peristiwa G30S, di mana sehari sebelum penculikan, Mayjen Soeharto melakukan inspeksi pada dua pertiga dari kekuatan satu Brigade pasukan Para Komando ditambah satu Kompi dan satu Peleton pasukan lainnya yang merupakan kekuatan keseluruhan G30S.
Banyak sejarawan kemudian menyangsikan PKI sebagai dalang di balik peristiwa G30S, termasuk para ahli sejarah. Mereka menuduh TNI AD dengan tokohnya, Soeharto adalah dalang G30S mereka mendasarkan teori pada fakta laporan Kolonel Latief kepada Soeharto pada 29/9/1965 malam tentang rencana penjemputan paksa para Jenderal.
Meskipun begitu, Soeharto dalam buku Biografinya yang ditulis oleh R.E Elson, membantah, dalam buku tersebut Soeharto meyakinkan bahwa “Menurut fakta dan dokumen- dokumen serta hasil interogasi yang kami dapat menunjuk adanya peran PKI sebagai otak gerakan kontra revolusi.”
Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Daftar Bacaan:
[1] Antonio C.A Dake, 2006. Soekarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan. Penerjemah Loek Pattiradjawane. Jakarta: Aksara Karunia
[2] Elson, R.E. 2005. Suharto; Sebuah Bigrafi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama
[3] Soebandrio, 2006. Peristiwa G 30 S (Sebelum, saat meletus dan sesudahnya). Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera
Sementara itu, menurut Yoseph Tugio Taher, kendatipun ada orang yang mungkin mengatakan bahwa Soeharto bukanlah otak atau perencana G30S, namun faktanya, dia menyetujui apa yang bakal dilakukan oleh Letkol Untung, bahkan memberi bantuan militer dengan pemanggilan Batalyon 530 dari Jatim dan Batalyon 454 dari Jateng.
"Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah" kata Soeharto kepada Letkol Untung. Kala itu kepada Letkol Untung, Mayjen Soeharto tidak mengungkapkan bahwa dia juga akan memanggil Yon 328/RPKAD Siliwangi.
Pernyataan senada diungkapkan oleh Doktor Peter Dale Scott, ia melihat banyak keanehan dalam peristiwa G30S, di mana sehari sebelum penculikan, Mayjen Soeharto melakukan inspeksi pada dua pertiga dari kekuatan satu Brigade pasukan Para Komando ditambah satu Kompi dan satu Peleton pasukan lainnya yang merupakan kekuatan keseluruhan G30S.
Banyak sejarawan kemudian menyangsikan PKI sebagai dalang di balik peristiwa G30S, termasuk para ahli sejarah. Mereka menuduh TNI AD dengan tokohnya, Soeharto adalah dalang G30S mereka mendasarkan teori pada fakta laporan Kolonel Latief kepada Soeharto pada 29/9/1965 malam tentang rencana penjemputan paksa para Jenderal.
Meskipun begitu, Soeharto dalam buku Biografinya yang ditulis oleh R.E Elson, membantah, dalam buku tersebut Soeharto meyakinkan bahwa “Menurut fakta dan dokumen- dokumen serta hasil interogasi yang kami dapat menunjuk adanya peran PKI sebagai otak gerakan kontra revolusi.”
Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Daftar Bacaan:
[1] Antonio C.A Dake, 2006. Soekarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan. Penerjemah Loek Pattiradjawane. Jakarta: Aksara Karunia
[2] Elson, R.E. 2005. Suharto; Sebuah Bigrafi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama
[3] Soebandrio, 2006. Peristiwa G 30 S (Sebelum, saat meletus dan sesudahnya). Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera
Bukannya Kostrad saat itu adalah CADUAD (cadangan umum angkatan darat) dan Panglimanya belum memiliki pasukan elite seperti Panglima Kostrad di era sekarang?.
BalasHapusSementara pasukan pasukan elite lain kecuali Cakra, masih dibawah Pangdam masing masing.
Bukannya Kostrad saat itu adalah CADUAD (cadangan umum angkatan darat) dan Panglimanya belum memiliki pasukan elite seperti Panglima Kostrad di era sekarang?.
BalasHapusSementara pasukan pasukan elite lain kecuali Cakra, masih dibawah Pangdam masing masing.
Sa'at itu 1965 sudah KOSTRAD serta resmi dari tahun 1961dan dipimpin seorang mayjend dan untuk pasukan elit AD dibawah kendali komando KASAD langsung yang pada saat itu dipimpin Letjend A.H. NASUTION
BalasHapus