Berdirinya Kesultanan Banten
Banten pada abad ke 15 merupakan Kerajaan Bawahan Pajajaran yang diperintah oleh Prabu Pucukumun. Ibu Kota Kerajaan terletak diwilayah yang kini disebut dengan daerah Banten Girang (Banten Selatan).
Struktur pemerintahan di Kerajaan Sunda (Pajajaran) pada abad 15 hingga 16 memang berbeda dengan struktur pemerintahan di Jawa, jika di Jawa penguasa bawahan di sebut Adipati maka di wilayah Kerajaan Sunda penguasa daerah disebut dengan Prabu. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dicatat oleh Tome Pires ketika mengunjungi Sunda pada 1513 yang menyatakan “Raja Sunda disebut Shangyang sementara Raja bawahannya disebut Prabu”.
Berubahnya Banten dari yang semula sebagai kerajaan bawahan Pajajaran menjadi Kesultanan tidak lepas dari kiprah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sebelum menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1479, Sunan Gunung Jati atas perintah uwaknya Pangeran Cakrabuana ditugasi mendakwahkan Islam di Banten.
Sebagai upaya menjalin dan memperkokoh dakwahnya di Banten, Sunan Gunung Jati menikahi Nyimas Babadan. Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (hlm 28) mengungkapkan pernikahan tersebut terjadi pada tahun 1471 M.
Nyimas Babadan merupakan anak dari Ki Gede Babadan, tokoh ini dalam Naskah Kuningan disebut sebagai Maulana Huda Bagdad yang membangun pedukuhan Babadan dan menyebarkan Islam diwilayah Banten, Ki Gede Babadan dalam naskah ini juga disebut sebagai kakak Pangeran Panjunan atau Syarif Maulana Abdurahman (Wahju, hlm 217).
Baca Juga: Pernikahan Sunan Gunung Jati dan Islamisasi di Pasundan
Selepas berhasil menjalin kekerabatan dengan sesama pendakwah Islam di Banten, Sunan Gunung Jati juga rupanya berhasil menikahi adik Pucukumun Banten, wanita tersebut bernama Nyimas Kawunganten.
Struktur pemerintahan di Kerajaan Sunda (Pajajaran) pada abad 15 hingga 16 memang berbeda dengan struktur pemerintahan di Jawa, jika di Jawa penguasa bawahan di sebut Adipati maka di wilayah Kerajaan Sunda penguasa daerah disebut dengan Prabu. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dicatat oleh Tome Pires ketika mengunjungi Sunda pada 1513 yang menyatakan “Raja Sunda disebut Shangyang sementara Raja bawahannya disebut Prabu”.
Berubahnya Banten dari yang semula sebagai kerajaan bawahan Pajajaran menjadi Kesultanan tidak lepas dari kiprah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sebelum menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1479, Sunan Gunung Jati atas perintah uwaknya Pangeran Cakrabuana ditugasi mendakwahkan Islam di Banten.
Sebagai upaya menjalin dan memperkokoh dakwahnya di Banten, Sunan Gunung Jati menikahi Nyimas Babadan. Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (hlm 28) mengungkapkan pernikahan tersebut terjadi pada tahun 1471 M.
Nyimas Babadan merupakan anak dari Ki Gede Babadan, tokoh ini dalam Naskah Kuningan disebut sebagai Maulana Huda Bagdad yang membangun pedukuhan Babadan dan menyebarkan Islam diwilayah Banten, Ki Gede Babadan dalam naskah ini juga disebut sebagai kakak Pangeran Panjunan atau Syarif Maulana Abdurahman (Wahju, hlm 217).
Baca Juga: Pernikahan Sunan Gunung Jati dan Islamisasi di Pasundan
Selepas berhasil menjalin kekerabatan dengan sesama pendakwah Islam di Banten, Sunan Gunung Jati juga rupanya berhasil menikahi adik Pucukumun Banten, wanita tersebut bernama Nyimas Kawunganten.
Menurut Aria Carbon dalam bukunya Purwaka Caruban Nagari (18) pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Nyimas Kawunganten terjadi pada tahun 1475 M. Dari pernikahan ini Sunan Gunung Jati dikaruniai dua anak yaitu Ratu Winaon pada tahun 1477 M, dan Pangeran Sebakingkin (Mulana Hasanudin) pada 1479 M.
Selepas menjalin kekerabatan dengan Ki Gede Babadan dan Pucuk Umun Banten, Sunan Gunung Jati dapat dikatakan berhasil mendakwahkan Islam di Banten, sebab banyak rakyat dan kerabat Kerajaan yang dengan suka rela masuk agama Islam. Pada masa ini pula Banten berangsur-angsur dipenuhi penduduk muslim dan para pendakwah yang sengaja didatangkan dari Cirebon.
Pada tahun 1479, Sunan Gunung Jati dipanggil pulang oleh uwaknya Pangeran Cakrabuana ke Cirebon, ia dinikahkan dengan anak perempuannya Nyimas Pakungwati juga diserahi pemerintahan di Cirebon, mulai selepas ini selain sebagai pendakwah Sunan Gunung Jati juga menjadi penguasa Cirebon.
Selepas menjalin kekerabatan dengan Ki Gede Babadan dan Pucuk Umun Banten, Sunan Gunung Jati dapat dikatakan berhasil mendakwahkan Islam di Banten, sebab banyak rakyat dan kerabat Kerajaan yang dengan suka rela masuk agama Islam. Pada masa ini pula Banten berangsur-angsur dipenuhi penduduk muslim dan para pendakwah yang sengaja didatangkan dari Cirebon.
Pada tahun 1479, Sunan Gunung Jati dipanggil pulang oleh uwaknya Pangeran Cakrabuana ke Cirebon, ia dinikahkan dengan anak perempuannya Nyimas Pakungwati juga diserahi pemerintahan di Cirebon, mulai selepas ini selain sebagai pendakwah Sunan Gunung Jati juga menjadi penguasa Cirebon.
Meskipun telah menjadi penguasa di Cirebon Sunan Gunung Jati tidak meninggalkan Banten begitu saja, beliau secara konsisten mengirim para pendakwah dari Cirebon ke Banten untuk memperkokoh Islam di daerah tersebut.
Tahun 1512-1514 suhu politik di Pulau Jawa memanas, selepas Pajajaran dan Portugis menjalin kerajasama bilateral. Sementara disisi lain pada tahun-tahun itu juga Demak bersama sekutunya termasuk Cirebon berkali-kali menggempur Portugis yang kala itu sudah menguasai Malaka, tapi usaha Demak dan sekutunya tidak berhasil. Secara tidak langsung Pajajaran mengobarkan peperangan pada Demak karena berpihak pada Portugis yang pada tahun 1511-1517 menaklukan Kesultanan Malaka, Pasai dan Maluku.
Selepas mangkatnya Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) pada 1521, Shangyang Surawisesa yang melanjutkan tahta ayahnya betul-betul akan mengaplikasikan kerajasama dengan Portugis yang sudah dirintis sejak tahun 1512.
Portugis diijinkan membuat Benteng di Sunda Kalapa (Jakarta) sebagai markas dagang sekaligus sebagaipenjamin keamanan Pajajaran. Disisi lain, Demak dan Cirebon yang mengetahui informasi tersebut merasa terancam. Keduanya takut apabila Portugis berhasil membangun kekuatan di Pulau Jawa nasib Kesultanan Cirebon dan Demak hanya tinggal menghitung hari.
Atas desakan dari Sunan Giri, pada tahun 1521 M, Sultan Trenggono memerintahkakn Fatahillah untuk memimpin pasukan Demak merebut wilayah pesisir utara Pajaran termasuk Sunda Kalapa yang nantinya akan dijadikan benteng pertahanan Portugis. Namun sebelum menuju Sunda Kalapa dan Banten, Pasukan Demak pimpinan Fatahillah terlebih dahulu singgah di Cirebon menghadap Sunan Gunung Jati untuk mengatur siasat.
Siasat penaklukan akhirnya disepakati, penaklukan dimulai dengan merebut Banten kemudian baru merebut Sunda kalapa. Menurut Claude Guillot (hlm 12-13) dalam bukunya Banten Sebelum Zaman Islam Kajian Arkeologis di Banten Girang (932?-1526) menyebutkan bahwa pada tahun 1525 pasukan Cirebon dan Demak yang dibantu Maulana Hasanudin Putra Sunan Gunung Jati berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun tanpa perlawanan yang berarti, Raja Banten Girang tersebut menyerahkan kekuasannya begitu saja selepas dikepung.
Takluknya Banten pada Demak dan Cirebon menandai berakhirnya pemerintahan Hindu-Budha di daerah itu. Sebab setelah itu Demak dan Cirebon sepakat mengangkat Maulana Hasanudin sebagai penguasa Banten yang baru. Kali ini kedudukan Banten adalah Keadipatian Islam bawahan Demak-Cirebon.
Selepas diduduki Demak dan Cirebon bahkan setelah keduanya menaklukan Sunda Kalapa pada 1527, Pajajaran tidak sanggup merebut kembali Banten dan wilayah-wilayah yang direbut Demak dan Cirebon lainnya. Hal tersebut terus bertahan sampai ketika Banten menjelma menjadi Kesultanan Mandiri yang lepas dari kekuasaan Demak dan Cirebon pada tahun 1552 M.
Ada beberapa aspek yang menyebabkan lepasnya Banten dari pengaruh Demak, yang pertama adalah karena disetujui oleh Sunan Gunung Jati dan yang kedua karena waktu itu Demak sedang dirundung kemelut selepas mangkatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Demak dguncang perbutan tahta antara Sunan Prawoto dan Arya Penangsang, sebelum akhirnya runtuh digantikan Kesultanan Pajang.
Memahami uraian lika-liku berdirinya Kesultanan Banten di atas, dapatlah dimengerti bahwa Kesultanan Banten berdiri pada 1552 Masehi, tapi sebelum itu pada tahun 1471 hingga 1575 Masehi Sunan Gunung Jati mengislamkan Banten dengan jalan kekerabatan dan dakwah, para penduduk yang sudah Islam itu pulalah nantinya yang turut bahu membahu menyukseskan penaklukan Banten yang dilakukan Demak dan Cirebon.
Baca Juga: Hancurnya Keraton Kesultanan Banten
Tahun 1512-1514 suhu politik di Pulau Jawa memanas, selepas Pajajaran dan Portugis menjalin kerajasama bilateral. Sementara disisi lain pada tahun-tahun itu juga Demak bersama sekutunya termasuk Cirebon berkali-kali menggempur Portugis yang kala itu sudah menguasai Malaka, tapi usaha Demak dan sekutunya tidak berhasil. Secara tidak langsung Pajajaran mengobarkan peperangan pada Demak karena berpihak pada Portugis yang pada tahun 1511-1517 menaklukan Kesultanan Malaka, Pasai dan Maluku.
Selepas mangkatnya Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) pada 1521, Shangyang Surawisesa yang melanjutkan tahta ayahnya betul-betul akan mengaplikasikan kerajasama dengan Portugis yang sudah dirintis sejak tahun 1512.
Portugis diijinkan membuat Benteng di Sunda Kalapa (Jakarta) sebagai markas dagang sekaligus sebagaipenjamin keamanan Pajajaran. Disisi lain, Demak dan Cirebon yang mengetahui informasi tersebut merasa terancam. Keduanya takut apabila Portugis berhasil membangun kekuatan di Pulau Jawa nasib Kesultanan Cirebon dan Demak hanya tinggal menghitung hari.
Atas desakan dari Sunan Giri, pada tahun 1521 M, Sultan Trenggono memerintahkakn Fatahillah untuk memimpin pasukan Demak merebut wilayah pesisir utara Pajaran termasuk Sunda Kalapa yang nantinya akan dijadikan benteng pertahanan Portugis. Namun sebelum menuju Sunda Kalapa dan Banten, Pasukan Demak pimpinan Fatahillah terlebih dahulu singgah di Cirebon menghadap Sunan Gunung Jati untuk mengatur siasat.
Lukisan Banten Abad 19 |
Takluknya Banten pada Demak dan Cirebon menandai berakhirnya pemerintahan Hindu-Budha di daerah itu. Sebab setelah itu Demak dan Cirebon sepakat mengangkat Maulana Hasanudin sebagai penguasa Banten yang baru. Kali ini kedudukan Banten adalah Keadipatian Islam bawahan Demak-Cirebon.
Selepas diduduki Demak dan Cirebon bahkan setelah keduanya menaklukan Sunda Kalapa pada 1527, Pajajaran tidak sanggup merebut kembali Banten dan wilayah-wilayah yang direbut Demak dan Cirebon lainnya. Hal tersebut terus bertahan sampai ketika Banten menjelma menjadi Kesultanan Mandiri yang lepas dari kekuasaan Demak dan Cirebon pada tahun 1552 M.
Ada beberapa aspek yang menyebabkan lepasnya Banten dari pengaruh Demak, yang pertama adalah karena disetujui oleh Sunan Gunung Jati dan yang kedua karena waktu itu Demak sedang dirundung kemelut selepas mangkatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Demak dguncang perbutan tahta antara Sunan Prawoto dan Arya Penangsang, sebelum akhirnya runtuh digantikan Kesultanan Pajang.
Memahami uraian lika-liku berdirinya Kesultanan Banten di atas, dapatlah dimengerti bahwa Kesultanan Banten berdiri pada 1552 Masehi, tapi sebelum itu pada tahun 1471 hingga 1575 Masehi Sunan Gunung Jati mengislamkan Banten dengan jalan kekerabatan dan dakwah, para penduduk yang sudah Islam itu pulalah nantinya yang turut bahu membahu menyukseskan penaklukan Banten yang dilakukan Demak dan Cirebon.
Baca Juga: Hancurnya Keraton Kesultanan Banten
Posting Komentar untuk "Berdirinya Kesultanan Banten"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.