Kisah Cinta Aidit dan Soetanti
Dipa Nusantara Aidit atau Ahmad Aidit adalah politikus Indonesia yang cukup ternama di tahun 50 – 60 an. Merupakan pimpinan Partai Komunis Indoensia, PKI pada tahun 1955 berhasil menjadi pemenang ke 4 Pemilihan Umum Indonesia.
Nama Aidit hingga kini masih banyak dibicarakan orang, karena dituduh makar terhadap negara tapi tidak pernah diadili atas kesalahannya. Ia disingkirkan dan dibunuh begitu saja.
Salah satu bahasan menarik yang lain tentang Aidit adalah kisah cintanya kepada Soetanti, gadis berdarah Ningrat Jawa Mahasiswi Fakultas Kedokteran.
Ahmad Aidit yang anak seorang mantri kehutanan dari Belitung adalah seorang pemuda serius, tak pandai berkelakar, ia menyukai musik klasik. Hari-harinya dihabiskan untuk membaca buku sementara hal yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memajukan partai.
Karakter Aidit yang semacam itu tentu bukan tipe laki-laki penggoda, tapi bukan berarti hasratnya untuk becinta tidak ada. Hasrat cinta Aidit tumbuh manakala ia kedatangan Mahasiswi kedokteran dari Yogyakata bernama Soetanti.
Mahasiswi calon dokter itu dijuluki oleh kawan-kawannya dengan sebutan “Bolletje” bahasa Belanda yang maksudnya “bualat” atau si bohay dalam bahasa kekinian.
Perjumpaan Soetanti dan Aidit sebetulnya perjumpaan yang tak direncanakan, Aidit kala itu bekerja di kantor majalah dua bulanan Bintang Merah yang berlokasi di Jalan Purnosari Kota Solo.
Mulanya Soetanti datang ke di kantor majalah dua bulanan Bintang Merah bersama satu kawan dekatnya, tujuannya untuk melakukan survai apakah pimpinan majalah tersebut bersedia atau tidak jika dimintai bantuan untuk mengisi kuliah umum di kampusnya. Kala itu Soetanti merupakan aktivis dari Sarekat Mahasiswa Indonesia.
Atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia, Soetanti mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan ”kuliah” soal politik dan keorganisasian. Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Yogyakarta-Solo.
Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itu hubungan Aidit dan Soetanti kian akrab.
Berbeda dengan watak Aidit yang serius, Soetanti dikenal sebagai gadis yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos. Latar belakang keluaganyapun tidak kalah terhormat dengan Aidit, sebab Soetanti merupakan putri seorang ningrat Mangkunegaran, kakeknya seorang Bupati Tuban, ditambah lagi predikatnya mahasiswi kedokteran membuatnya kian dihormati dalam organisasi dan dalam kehidupan sehari-hari.
Karakter Soetanti yang semacam itu gerak tubuhnya mudah ditebak, gadis semacam itu bila suka pada sesuatu akan tampak rasa sukanya, sebaliknya bila benci pada sesuatu akan tanpak kebenciannya. Berkenaan dengan Aidit, Soetanti rupanya diam-diam mengagumi Aidit, ia kagaum pada kecerdasan Aidit dalam bersilat lidah pada kuliah umum yang ia sampaikan, ia juga terpikat pada Aidit saat fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia. Setiap kali Aidit berpidato, Soetanti senantiasa menyimak di bangku paling depan sambil senyum-senyum tak jelas.
Selaku aktivis dari Sarekat Mahasiswa Indonesia Soetanti menjadi kecanduan kuliah Umum yang disampaikan Aidit, iapun beberapa kali melibatkan Aidit dalam seminar dan acara-acara lainnya di Kampus. Pada tahap inilah hubungan Aidit dan Soetanti kian akrab.
Aidit yang berkarakter serius, tidak pandai berkelakar mampu menebak gejala-gejala dan sikap aneh Soetanti pada dirinya, ia merasa Soetanti mencintainya. Hal tersebut dibuktikan dari tingkah laku Soetanti yang merasa cemburu bila ada kawan-kawan perempuannya yang berlama-lama sekedar ngobrol dengannya. Meskipun begitu Aidit tidak sedikitpun menampakan rasa sukanya terhadap Soetanti.
Sampai pada suatu ketika, seusai pidato Aidit menghampiri Soetanti lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Soetanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia.
Sebetulnya Soetanti tidak mengetahui isi surat itu, lagipula surat itu ditujukan untuk ayahnya, akan tetapi setelah ayah Soetanti membuka surat tepat didepan Soetanti, rupanya surat itu adalah surat lamaran. Aidit menyampaikan niat meminang Soetanti.
Melihat, mengamati dan mendengar isi surat itu, Soetanti dibuat tak bedaya, ia seperti melayang, senyum-senyum sendiri. Sementara di sisi lain memahami gejala yang tidak beres dari anaknya, maka Moedigdo menyetujui lamaran tersebut.
Pada awal tahun 1948, Aidit yang berusia 25 tahun, dan Soetanti yang berusia 24 tahun menikah secara Islam tanpa pesta di rumah K.H Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo yang bertindak sebagai penghulu. Selepas pernikahan keduanya hidup bahagia menjalankan rumah tangganya.
Baca Juga: D.N Adit Tak Nyaman Dipanggil Ahmad
Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Nama Aidit hingga kini masih banyak dibicarakan orang, karena dituduh makar terhadap negara tapi tidak pernah diadili atas kesalahannya. Ia disingkirkan dan dibunuh begitu saja.
Salah satu bahasan menarik yang lain tentang Aidit adalah kisah cintanya kepada Soetanti, gadis berdarah Ningrat Jawa Mahasiswi Fakultas Kedokteran.
Ahmad Aidit yang anak seorang mantri kehutanan dari Belitung adalah seorang pemuda serius, tak pandai berkelakar, ia menyukai musik klasik. Hari-harinya dihabiskan untuk membaca buku sementara hal yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memajukan partai.
Karakter Aidit yang semacam itu tentu bukan tipe laki-laki penggoda, tapi bukan berarti hasratnya untuk becinta tidak ada. Hasrat cinta Aidit tumbuh manakala ia kedatangan Mahasiswi kedokteran dari Yogyakata bernama Soetanti.
Mahasiswi calon dokter itu dijuluki oleh kawan-kawannya dengan sebutan “Bolletje” bahasa Belanda yang maksudnya “bualat” atau si bohay dalam bahasa kekinian.
Perjumpaan Soetanti dan Aidit sebetulnya perjumpaan yang tak direncanakan, Aidit kala itu bekerja di kantor majalah dua bulanan Bintang Merah yang berlokasi di Jalan Purnosari Kota Solo.
Mulanya Soetanti datang ke di kantor majalah dua bulanan Bintang Merah bersama satu kawan dekatnya, tujuannya untuk melakukan survai apakah pimpinan majalah tersebut bersedia atau tidak jika dimintai bantuan untuk mengisi kuliah umum di kampusnya. Kala itu Soetanti merupakan aktivis dari Sarekat Mahasiswa Indonesia.
Atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia, Soetanti mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan ”kuliah” soal politik dan keorganisasian. Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Yogyakarta-Solo.
Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itu hubungan Aidit dan Soetanti kian akrab.
Berbeda dengan watak Aidit yang serius, Soetanti dikenal sebagai gadis yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos. Latar belakang keluaganyapun tidak kalah terhormat dengan Aidit, sebab Soetanti merupakan putri seorang ningrat Mangkunegaran, kakeknya seorang Bupati Tuban, ditambah lagi predikatnya mahasiswi kedokteran membuatnya kian dihormati dalam organisasi dan dalam kehidupan sehari-hari.
Karakter Soetanti yang semacam itu gerak tubuhnya mudah ditebak, gadis semacam itu bila suka pada sesuatu akan tampak rasa sukanya, sebaliknya bila benci pada sesuatu akan tanpak kebenciannya. Berkenaan dengan Aidit, Soetanti rupanya diam-diam mengagumi Aidit, ia kagaum pada kecerdasan Aidit dalam bersilat lidah pada kuliah umum yang ia sampaikan, ia juga terpikat pada Aidit saat fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia. Setiap kali Aidit berpidato, Soetanti senantiasa menyimak di bangku paling depan sambil senyum-senyum tak jelas.
Selaku aktivis dari Sarekat Mahasiswa Indonesia Soetanti menjadi kecanduan kuliah Umum yang disampaikan Aidit, iapun beberapa kali melibatkan Aidit dalam seminar dan acara-acara lainnya di Kampus. Pada tahap inilah hubungan Aidit dan Soetanti kian akrab.
Aidit yang berkarakter serius, tidak pandai berkelakar mampu menebak gejala-gejala dan sikap aneh Soetanti pada dirinya, ia merasa Soetanti mencintainya. Hal tersebut dibuktikan dari tingkah laku Soetanti yang merasa cemburu bila ada kawan-kawan perempuannya yang berlama-lama sekedar ngobrol dengannya. Meskipun begitu Aidit tidak sedikitpun menampakan rasa sukanya terhadap Soetanti.
Sampai pada suatu ketika, seusai pidato Aidit menghampiri Soetanti lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Soetanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia.
Sebetulnya Soetanti tidak mengetahui isi surat itu, lagipula surat itu ditujukan untuk ayahnya, akan tetapi setelah ayah Soetanti membuka surat tepat didepan Soetanti, rupanya surat itu adalah surat lamaran. Aidit menyampaikan niat meminang Soetanti.
Melihat, mengamati dan mendengar isi surat itu, Soetanti dibuat tak bedaya, ia seperti melayang, senyum-senyum sendiri. Sementara di sisi lain memahami gejala yang tidak beres dari anaknya, maka Moedigdo menyetujui lamaran tersebut.
Pada awal tahun 1948, Aidit yang berusia 25 tahun, dan Soetanti yang berusia 24 tahun menikah secara Islam tanpa pesta di rumah K.H Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo yang bertindak sebagai penghulu. Selepas pernikahan keduanya hidup bahagia menjalankan rumah tangganya.
Baca Juga: D.N Adit Tak Nyaman Dipanggil Ahmad
Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Posting Komentar untuk "Kisah Cinta Aidit dan Soetanti"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.