Kronologi Pernikahan Sunan Gunung Jati
Kronologi pernikahan Sunan Gunung Jati menjadi penting dibahas karena yang bersangkutan merupakan tokoh penting di Cirebon bahkan di Pasundan. Dengan mengetahui kronologi pernikahan Sunan Gunung Jati, nantinya akan dapat mempermudah mengetahui latar belakang istri dan keturunan Sunan Gunung Jati.
Menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1978: 28) dinyatakan bahwa pernikahan pertama Sunan Gunung Jati adalah dengan Nyimas Babadan, terjadi pada tahun 1471 M.
Nyimas Babadan merupakan putri Ki Gede Babadan. Ditinjau dari namanya jelas Ki Gede Babadan merupakan seorang penguasa daerah yang bernama Babadan, sebab arti dari Ki Gede/Ki Gedeng sendiri adalah “penguasa/pembesar di”.
Babadan hingga kini memang masih kontroversi, Dasuki (1984:9) dalam Sejarah Indramayu menyebutkan bahwa Babadan terletak di Indramayu.
Menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1978: 28) dinyatakan bahwa pernikahan pertama Sunan Gunung Jati adalah dengan Nyimas Babadan, terjadi pada tahun 1471 M.
Nyimas Babadan merupakan putri Ki Gede Babadan. Ditinjau dari namanya jelas Ki Gede Babadan merupakan seorang penguasa daerah yang bernama Babadan, sebab arti dari Ki Gede/Ki Gedeng sendiri adalah “penguasa/pembesar di”.
Babadan hingga kini memang masih kontroversi, Dasuki (1984:9) dalam Sejarah Indramayu menyebutkan bahwa Babadan terletak di Indramayu.
Menurut Naskah Kuningan (Wahju, 2005: 217) Babadan adalah suatu daerah di Banten Girang, sementara yang di maksud Ki Gede Babadan adalah anak Maulana Huda Bagdad yang membangun pedukuhan Babadan dan menyebarkan Islam diwilayah Banten, Ki Gede Babadan dalam naskah ini juga disebut sebagai Kakak Pangeran Panjunan (Syarif/Maulana Abdurahman).
Jika kabar dari Naskah Kuningan itu benar, maka perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyimas Babadan adalah usaha Sunan Gunung Jati dalam membangun relasi dengan sesama penyebar Islam di wilayah Banten, sehingga nantinya misi Islamisasi di Banten yang dilancarkan Cirebon mendapat bantuan penuh dari para penyebar agama Islam yang sudah lama eksis di Banten.
Sulendraningrat (1978) menambahkan, bahwa pada tahun 1477 M, Nyimas Babadan wafat, dan tanpa meninggalkan keturunan.
Jika kabar dari Naskah Kuningan itu benar, maka perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyimas Babadan adalah usaha Sunan Gunung Jati dalam membangun relasi dengan sesama penyebar Islam di wilayah Banten, sehingga nantinya misi Islamisasi di Banten yang dilancarkan Cirebon mendapat bantuan penuh dari para penyebar agama Islam yang sudah lama eksis di Banten.
Sulendraningrat (1978) menambahkan, bahwa pada tahun 1477 M, Nyimas Babadan wafat, dan tanpa meninggalkan keturunan.
Menurut Arya Carbon dalam Naskah Purwaka Caruban Nagari (18) bahwa dua tahun sebelum wafatnya Nyimas babadan, yaitu pada tahun 1475 M, Sunan Gunung Jati berhasil menikahi Nyimas Kawunganten seorang adik dari Bupati Banten.
Dari pernikahan tersebut Sunan Gunung Jati dikaruniai dua anak yaitu Ratu Winaon pada tahun 1477 M dan Pangeran Sebakingkin (Mulana Hasanudin) pada 1479 M.
Pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Nyimas Babadan dan Nyimas Kawunganten merupakan uapaya Sunan Gunung Jati untuk mengislamisasi Banten melalui jalur pernikahan, sebab menikahi putri pemuka Agama sekaligus Penguasanya adalah cara efektif untuk mendakwahkan Islam. Dengan menikahi keduanya maka Islamisasi Cirebon atas Banten berjalan dengan damai.
Setelah melakukan dakwah di daerah Banten, Sunan Gunung Jati dipanggil pulang ke Cirebon oleh uwaknya, sehingga pada tahun 1479 M, Sunan Gunung Jati dinikahkan dengan Ratu Pakungwati yang merupakan putri uwaknya sendiri ( Pangeran Walangsungsang).
Pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Nyimas Babadan dan Nyimas Kawunganten merupakan uapaya Sunan Gunung Jati untuk mengislamisasi Banten melalui jalur pernikahan, sebab menikahi putri pemuka Agama sekaligus Penguasanya adalah cara efektif untuk mendakwahkan Islam. Dengan menikahi keduanya maka Islamisasi Cirebon atas Banten berjalan dengan damai.
Setelah melakukan dakwah di daerah Banten, Sunan Gunung Jati dipanggil pulang ke Cirebon oleh uwaknya, sehingga pada tahun 1479 M, Sunan Gunung Jati dinikahkan dengan Ratu Pakungwati yang merupakan putri uwaknya sendiri ( Pangeran Walangsungsang).
Perkawinan ketigaSunan Gunung Jati jelas menandakan bahwa kekuasaan atas Kesultanan Cirebon dialihkan sepenuhnya kepada Sunan Gunung Jati. Dengan demikian Pangeran Walangsungsang melimpahkan urusan pemerintahan sekaligus misi Islamisasi pasundan kepada keponakannya.
Masih menurut Sulendraningrat (1978), bahwa pada tahun 1484 M Sunan Gunung Jati menikah kembali dengan Syarifah Baghdad, adik dari Maulana Abdurakhman Baghdadi dan dianugerahi dua putra yaitu Pangeran Jaya Kelana pada 1486 M dan Pangeran Brata Kelana pada tahun 1489 M.
Dalam naskah Mertasinga, Istri Sunan Gunung Jati yang melahirkan Pangeran Bratakelana dan Jaya Kelana adalah Nyimas Rara Jati putri Ki Gede Jati.
Masih menurut Sulendraningrat (1978), bahwa pada tahun 1484 M Sunan Gunung Jati menikah kembali dengan Syarifah Baghdad, adik dari Maulana Abdurakhman Baghdadi dan dianugerahi dua putra yaitu Pangeran Jaya Kelana pada 1486 M dan Pangeran Brata Kelana pada tahun 1489 M.
Dalam naskah Mertasinga, Istri Sunan Gunung Jati yang melahirkan Pangeran Bratakelana dan Jaya Kelana adalah Nyimas Rara Jati putri Ki Gede Jati.
Menurut Purwaka Caruban Nagari tokoh Ki Gede Jati (Pengusa/Pembesar/Pemuka di Gunung Jati) identik dengan Sykeh Nurjati, yaitu ulama dan penyebar Islam yang memiliki kekuasaan dan pesantren terawal di Gunung Jati.
Memahami dari uraian perkawinan keempat Sunan Gunung Jati di atas, maka dapat ditebak, bahwa pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Syarifah Bagadad/Nyimas Rara Jati adalah usaha Sunan Gunung Jati dalam membangun relasi dengan sesama penyebar Islam di wilayah Cirebon, sehingga nantinya misi Islamisasi yang dilancarkan pemerintah Cirebon mendapat bantuan penuh dari para penyebar agama Islam yang sudah lama eksis di Cirebon.
Satu tahun selepas menikah dengan Syarifah Baghdad Sunan Gunung Jati menikah kembali dengan seorang putri yang berasal dari keturunan Dinasti Ming, seorang putri Raja Yung Lo bernama Hong Gie pada tahun 1485. Putri ini adalah penerus Kaisar Ong Tien (Li A Nyon Tin) dan orang mengenalnya dengan nama Putri Ong Tien.
Menurut legenda, Putri Ong Tien mendatangi Sunan Gunung Jati untuk dinikahi selepas Sunan Gunung Jati berakwah di Cina, akan tetapi dalam pendapat lain disebutkan bahwa sebenarnya Putri Ong Tien adalah Janda dari Ki Gedeng Luragung yang meninggalkan seorang putra bernama Pangeran Luragung.
Pangeran Luragung kemudian diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati dan dikemudian hari dijadikan penguasa Luragung (Bupati Kuningan) sehingga dikenal dengan nama Pangeran Kuningan/Arya Kuningan/Kemuning.
Gejala bahwa putri Ong Tien merupakan Janda dari Ki Gedeng Luragung adalah adanya kabar dari beberpa naskah Cirebon yang menyebutkan bahwa perkawinan antara Sunan Gunung Jati dan Ong Tien digelar di Luragung (Kuningan).
Memahami dari uraian perkawinan keempat Sunan Gunung Jati di atas, maka dapat ditebak, bahwa pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Syarifah Bagadad/Nyimas Rara Jati adalah usaha Sunan Gunung Jati dalam membangun relasi dengan sesama penyebar Islam di wilayah Cirebon, sehingga nantinya misi Islamisasi yang dilancarkan pemerintah Cirebon mendapat bantuan penuh dari para penyebar agama Islam yang sudah lama eksis di Cirebon.
Satu tahun selepas menikah dengan Syarifah Baghdad Sunan Gunung Jati menikah kembali dengan seorang putri yang berasal dari keturunan Dinasti Ming, seorang putri Raja Yung Lo bernama Hong Gie pada tahun 1485. Putri ini adalah penerus Kaisar Ong Tien (Li A Nyon Tin) dan orang mengenalnya dengan nama Putri Ong Tien.
Menurut legenda, Putri Ong Tien mendatangi Sunan Gunung Jati untuk dinikahi selepas Sunan Gunung Jati berakwah di Cina, akan tetapi dalam pendapat lain disebutkan bahwa sebenarnya Putri Ong Tien adalah Janda dari Ki Gedeng Luragung yang meninggalkan seorang putra bernama Pangeran Luragung.
Pangeran Luragung kemudian diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati dan dikemudian hari dijadikan penguasa Luragung (Bupati Kuningan) sehingga dikenal dengan nama Pangeran Kuningan/Arya Kuningan/Kemuning.
Gejala bahwa putri Ong Tien merupakan Janda dari Ki Gedeng Luragung adalah adanya kabar dari beberpa naskah Cirebon yang menyebutkan bahwa perkawinan antara Sunan Gunung Jati dan Ong Tien digelar di Luragung (Kuningan).
Meski begitu, dalam catatan lain juga disebutkan bahwa perkawinn Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien yang diadakan di Luragung itu semata-mata karena Ong Tien menyusul Sunan Gunung Jati ke Luragung selapas ia dan rombongan yang datang dari Cina tidak menemukan Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Memahami perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan putri Ong Tien (Janda Ki Gede Luragung) di atas, maka dapat dimengerti bahwa perkawinan tersebut merupakan upaya Islamisasi yang dilakukan Sunan Gunung Jati di wilayah selatan Cirebon, dengan menjalin kekerabatan dengan penguasa Luragung (Kuningan) diharapkan misi islamisasi Cirebon atas Kuningan berjalan lancar dan penuh dengan kedamaian.
Selain menikahi beberapa putri pembesar Pasundan, Sunan Gunung Jati juga dikemudian hari menikah dengan Rara Tepasan, yaitu Putri Ki Gede Tepasan yang masih memiliki darah dan kekerbatan dengan Prabu Majapahit.
Menurut Naskah Mertasinga (Wahju, 2005: 502) hasil pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Rara Tepasan di anugerahi 2 orang anak, yaitu Ratu Ayu Wanguran yang kelak dinikahi Sultan Demak ke II (Pati Unus) dan Pangeran Pasarean yang kelak menikah dengan Putri Sultan Demak II (Sultan Trenggono).
Perkawinan terakhir Sunan Gunung Jati dengan putri Jawa (Majapahit), sepertinya merupakan legitimasi dan juga menjadi alat Sunan Gunung Jati untuk menjalin persahabatan dengan Kesultanan Demak, karena sebagaimana diketahui Sultan Demak I (Raden Patah) merupakan anak dari Raja Majapahit (Bre Kertabhumi/Brawijaya V), oleh karena itu, perkawinan antar keturunan Sunan Gunung Jati dari istri Majapahitnya dengan Putra-Putri Sultan Demak dianggap perkawinan yang sepadan, karena sama-sama bersal dari keturunan Raja Majapahit.
Penulis : Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Memahami perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan putri Ong Tien (Janda Ki Gede Luragung) di atas, maka dapat dimengerti bahwa perkawinan tersebut merupakan upaya Islamisasi yang dilakukan Sunan Gunung Jati di wilayah selatan Cirebon, dengan menjalin kekerabatan dengan penguasa Luragung (Kuningan) diharapkan misi islamisasi Cirebon atas Kuningan berjalan lancar dan penuh dengan kedamaian.
Selain menikahi beberapa putri pembesar Pasundan, Sunan Gunung Jati juga dikemudian hari menikah dengan Rara Tepasan, yaitu Putri Ki Gede Tepasan yang masih memiliki darah dan kekerbatan dengan Prabu Majapahit.
Menurut Naskah Mertasinga (Wahju, 2005: 502) hasil pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Rara Tepasan di anugerahi 2 orang anak, yaitu Ratu Ayu Wanguran yang kelak dinikahi Sultan Demak ke II (Pati Unus) dan Pangeran Pasarean yang kelak menikah dengan Putri Sultan Demak II (Sultan Trenggono).
Perkawinan terakhir Sunan Gunung Jati dengan putri Jawa (Majapahit), sepertinya merupakan legitimasi dan juga menjadi alat Sunan Gunung Jati untuk menjalin persahabatan dengan Kesultanan Demak, karena sebagaimana diketahui Sultan Demak I (Raden Patah) merupakan anak dari Raja Majapahit (Bre Kertabhumi/Brawijaya V), oleh karena itu, perkawinan antar keturunan Sunan Gunung Jati dari istri Majapahitnya dengan Putra-Putri Sultan Demak dianggap perkawinan yang sepadan, karena sama-sama bersal dari keturunan Raja Majapahit.
Penulis : Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Posting Komentar untuk "Kronologi Pernikahan Sunan Gunung Jati"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.