Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon
Kejayaan Kerajaan Cirebon-Kerajaan Cirebon adalah Kerajaan Islam tertua di Jawa Barat yang berdiri pada tahun 1479 dan runtuh pada 1678 karena perpecahan. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Cirebon berasal dari kata Sarumban yang artinya pusat tempat percampuran penduduk.
Dinamakan demikian karena Cirebon yang sebelumnya dikenal sebagai wilayah Padukuhan Pasembangan yang mempunyai pelabuhan Muara Jati dihuni oleh berbagai macam bangsa.
Dikemudian hari Cirebon juga disebut sebagai Puser Bumi oleh Wali Songo karena dianggap berada di tengah-tengah Pulau Jawa dan oleh rakyatnya disebut Negara Gede yang akhirnya disebut Gerage. Meskipun demikian Cirebon juga menurut pendapat lain berasal dari kata Cai (Air/ Garam) dan Rebon (Udang Kecil), dinamakan demikian karena di zaman Kerajaan Pajajaran Cirebon dikenal sebagai wilayah penghasil garam dan rebon, bahan baku penyedap makanan (Trasi).
Kabar mengenai Cirebon juga disebutkan dalam catatan Tome Pires, seorang berkebangsaan Portugis yang pernah mengadakan pelayaran disepanjang pantai utara Jawa pada tahun 1531. Tome Pires menuliskan nama Cirebon dengan sebutan Chorobon, sedangkan sebutan oleh orang Belanda adalah Charabaon atau Cherebon.
Cirebon memiliki pelabuhan yang penting di pesisir utara Jawa untuk kegiatan pelayaran dan perdagangan di Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya.
Pelabuhan Cirebon terlindungi dari terjangan ombak yang berasal dari arah utara. Hal ini dikarenakan posisinya terlindungi oleh Semenanjung Indramayu dan karang-karang di pantai sehingga pesisir Cirebon memiliki pantai yang landai.
Jalan masuk untuk berlabuh ke pelabuhan ini berada disebelah timur atau utara muara Sungai Losari. Kondisi inilah yang menjadikan pelabuhan Cirebon menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa.
Cirebon tidak hanya didukung oleh pelabuhan saja akan tetapi Cirebon memiliki daerah dataran tinggi yang subur. Cirebon menjadi daerah penghasil beras yang sangat besar serta penghasil kayu dengan kualitas yang sangat bagus. Bahkan menurut Tome Pires, Cirebon merupakan penghasil beras yang berlimpah sehingga dapat diekspor sampai ke Malaka.
Cirebon pada awalnya merupakan pemukiman kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang sebagai kuwu. Pangeran Cakrabuana menjadi kuwu Cirebon selama 32 tahun yaitu mulai dari tahun 1447 sampai dengan tahun 1479.
Pada awal kedudukannya, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Sri Mangana karena dianggap sebagai raja kecil ketika Cirebon masih berada di bawah kekuasan Kerajaan Pajajaran.
Pada saat Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) menggantikan kedudukan penguasa Cirebon menggantikan Pangeran Cakrabuana, Cirebon melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1479. Tahun ini pula yang ditandai sebagai tahun berdirinya Kerajaan Cirebon.
Sementara itu, masa Kejayaan Cirebon dimulai dari naik tahtanya Sunan Gunung Jati pada 1479 hingga kewafatannya pada 1568.
Langkah pertama yang diambil oleh Sunan Gunung Jati setelah menjadi penguasa Cirebon adalah melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran dengan menghentikan pemberian upeti atau pajak berupa garam dan terasi kepada Kerajaan Pajajaran. Peristiwa ini terjadi sekitar 12 Safar 887 Hijriah atau 2 April 1482.
Sejak berhentinya pemberian upeti inilah yang menjadikan Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang merdeka dan otonom, tidak lagi berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Tindakan Sunan Gunung Jati mendapatkan reaksi dari Raja Pajajaran dengan mengirimkan 60 prajurit yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya untuk mendesak penguasa Cirebon menyerahkan upeti.
Akan tetapi usaha ini tidak berhasil, justru Tumenggung Jagabaya dan para prajurit menjadi pemeluk agama Islam dan menetap di Cirebon untuk mengabdi kepada Sunan Gunung Jati. Tumenggung Jagabaya dan para prajurit menetap di Cirebon tanpa kembali lagi ke Pajajaran untuk menghadap raja. Mereka belajar agama Islam dan menjadi pasukan keamanan di Cirebon.
Mendengar Tumenggung Jagabaya dan para prajurit memeluk Islam, Raja Pajajaran mempersiapkan penyerangan terhadap Cirebon. Penyerangan tersebut berhasil dicegah oleh purohita (pendeta tertinggi di Kerajaan), karena tidak sepantasnya raja menyerang anak dan cucunya sendiri.
Anak yang dimaksud adalah Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, sedangkan cucunya adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Berkat bujukan dari purohita, Raja Pajajaran mengurungkan niatnya untuk menyerang Kerajaan Islam Cirebon.
Sunan Gunung Jati yang bergelar Pandita Ratu mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat dan sebagai raja yang memerintah dan berkedudukan di Cirebon. Di bawah kepemimpinannya, Cirebon dijadikan sebagai tempat penyiaran agama Islam.
Dengan dijadikannya Cirebon sebagai tempat penyiaran agama Islam, menandakan bahwa Cirebon mulai berkembang menjadi sebuah Kerajaan Islam yang besar.
Sunan Gunung Jati berhasil menyebarkan agama Islam ke luar Cirebon sehingga wilayah kekuasaan Kerajaan Cirebon semakin luas hingga ke daerah pedalaman.
Sunan Gunung Jati berhasil menguasai daerah Luragung, Kuningan, Talaga, Galuh, Dermayu, Karawang, Banten, Sunda Kalapa, Sagaraherang, Ciblagung, Sindangkasih (sekarang Majalengka), Sumedanglarang, Tata Ukur (sekarang Bandung dan sekitarnya), Talaga dan Galuh. Meluasnya daerah kekuasaan tersebut menjadikan Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang besar dan kuat.
Sebagai Kerajaan Islam yang besar, Sunan Gunung Jati berhasil membangun aliansi dengan Kesultanan Demak untuk menaklukan penguasa Banten yang waktu itu masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Kekalahan Banten menandakan bahwa wilayah Banten beserta pelabuhannya menjadi daerah bawahan Cirebon. Pada tahun 1526 Sunan Gunung Jati membangun daerah protektorat Kesultanan Banten dan mengangkat putranya, yaitu Pangeran Sebakingkin yang bergelar Sultan Hasanudin sebagai Kepala Negara Banten.
Pembentukan Kesultanan Banten sangat menguntungkan Cirebon karena Banten mempunyai pelabuhan yang cukup strategis menghubungkan pulau Jawa dan pulau Sumatra.
Dibentuknya Kesultanan Banten semakin memantapkan strategi penyiaran agama Islam dan kepentingan politik Sunan Gunung Jati dalam menghadapi kekuatan Portugis yang beraliansi dengan Kerajaan Pajajaran untuk menguasai Sunda Kalapa. Mengetahui Kerajaan Pajajaran dan Portugis ingin menjejakkan kakinya di Sunda Kalapa atau Jayakarta, Cirebon membentuk aliansi dengan Demak dan Jayakarta untuk menahan kekuatan Kerajaan Pajajaran yang Hinduistis. Sehingga kekuatan Portugis dan Pajajaran dapat dipatahkan oleh Cirebon, Demak dan Jayakarta. Wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon hingga tahun 1530 meliputi separuh dari wilayah Provinsi Jawa Barat saat ini termasuk Banten.
Pada tahun 1528 sampai dengan 1552 Sunan Gunung Jati lebih fokus pada kegiatan penyebaran agama Islam. Mulai tahun 1528 Sunan Gunung Jati menyerahkan urusan pemeritahan kepada putranya yaitu Pangeran Pasarean, tetapi kekuasaan tertinggi tetap dipegang oleh Sunan Gunung Jati. Jadi, di Cirebon ada dua pemimpin yaitu Sunan Gunung Jati sebagai raja tertinggi yang meyebarkan agama Islam dan Pangeran Pasarean yang menjalankan pemerintahan.
Pangeran Pasarean menjalankan pemerintahan di Cirebon dengan pengawasan dari Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1529 Pangeran Pasarean melengkapi komplek keraton dengan membangun Bale Kambang, Dalem Arum Kedalem, Bangsal Agung, Bangunan Kaputren, Bangsal Pringgadani, Jinem Pangrawit (pendopo), Taman Bunderan dan Dewandaru.
Masa pemerintahan Pangeran Pasarean terbilang cukup singkat yaitu kurang lebih 18 tahun, karena pada tahun 1546 Pangeran Pasarean meninggal di Demak.
Sunan Gunung Jati yang masih memegang kekuasaan tertinggi akhirnya mengangkat Fatahillah untuk menggantikan posisi dari Pangeran Pasarean. Fatahillah adalah menantu dari Gunung Jati yang menikah dengan putrinya yang bernama Ratu Wulung Ayu. Fatahillah merupakan panglima perang Cirebon, tangan kanan dan penasehat terpecaya Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1568, rakyat Cirebon berduka karena pimpinan tertinggi sekaligus orang besar di Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati meninggal dunia. Sunan Gunung Jati dimakamkan di Gunung Sembung atau yang sekarang dikenal menjadi Gunung Jati. Dalam kitab Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa Sunan Gunung Jati lahir pada tahun 1448 M dan meninggal pada tahun 1568 M.
Baca Juga: Peninggalan Kerajaan Cirebon Yang Masih Terawat
Dinamakan demikian karena Cirebon yang sebelumnya dikenal sebagai wilayah Padukuhan Pasembangan yang mempunyai pelabuhan Muara Jati dihuni oleh berbagai macam bangsa.
Dikemudian hari Cirebon juga disebut sebagai Puser Bumi oleh Wali Songo karena dianggap berada di tengah-tengah Pulau Jawa dan oleh rakyatnya disebut Negara Gede yang akhirnya disebut Gerage. Meskipun demikian Cirebon juga menurut pendapat lain berasal dari kata Cai (Air/ Garam) dan Rebon (Udang Kecil), dinamakan demikian karena di zaman Kerajaan Pajajaran Cirebon dikenal sebagai wilayah penghasil garam dan rebon, bahan baku penyedap makanan (Trasi).
Kabar mengenai Cirebon juga disebutkan dalam catatan Tome Pires, seorang berkebangsaan Portugis yang pernah mengadakan pelayaran disepanjang pantai utara Jawa pada tahun 1531. Tome Pires menuliskan nama Cirebon dengan sebutan Chorobon, sedangkan sebutan oleh orang Belanda adalah Charabaon atau Cherebon.
Cirebon memiliki pelabuhan yang penting di pesisir utara Jawa untuk kegiatan pelayaran dan perdagangan di Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya.
Pelabuhan Cirebon terlindungi dari terjangan ombak yang berasal dari arah utara. Hal ini dikarenakan posisinya terlindungi oleh Semenanjung Indramayu dan karang-karang di pantai sehingga pesisir Cirebon memiliki pantai yang landai.
Jalan masuk untuk berlabuh ke pelabuhan ini berada disebelah timur atau utara muara Sungai Losari. Kondisi inilah yang menjadikan pelabuhan Cirebon menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa.
Cirebon tidak hanya didukung oleh pelabuhan saja akan tetapi Cirebon memiliki daerah dataran tinggi yang subur. Cirebon menjadi daerah penghasil beras yang sangat besar serta penghasil kayu dengan kualitas yang sangat bagus. Bahkan menurut Tome Pires, Cirebon merupakan penghasil beras yang berlimpah sehingga dapat diekspor sampai ke Malaka.
Cirebon pada awalnya merupakan pemukiman kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang sebagai kuwu. Pangeran Cakrabuana menjadi kuwu Cirebon selama 32 tahun yaitu mulai dari tahun 1447 sampai dengan tahun 1479.
Pada awal kedudukannya, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Sri Mangana karena dianggap sebagai raja kecil ketika Cirebon masih berada di bawah kekuasan Kerajaan Pajajaran.
Pada saat Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) menggantikan kedudukan penguasa Cirebon menggantikan Pangeran Cakrabuana, Cirebon melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1479. Tahun ini pula yang ditandai sebagai tahun berdirinya Kerajaan Cirebon.
Sementara itu, masa Kejayaan Cirebon dimulai dari naik tahtanya Sunan Gunung Jati pada 1479 hingga kewafatannya pada 1568.
Langkah pertama yang diambil oleh Sunan Gunung Jati setelah menjadi penguasa Cirebon adalah melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran dengan menghentikan pemberian upeti atau pajak berupa garam dan terasi kepada Kerajaan Pajajaran. Peristiwa ini terjadi sekitar 12 Safar 887 Hijriah atau 2 April 1482.
Sejak berhentinya pemberian upeti inilah yang menjadikan Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang merdeka dan otonom, tidak lagi berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Tindakan Sunan Gunung Jati mendapatkan reaksi dari Raja Pajajaran dengan mengirimkan 60 prajurit yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya untuk mendesak penguasa Cirebon menyerahkan upeti.
Akan tetapi usaha ini tidak berhasil, justru Tumenggung Jagabaya dan para prajurit menjadi pemeluk agama Islam dan menetap di Cirebon untuk mengabdi kepada Sunan Gunung Jati. Tumenggung Jagabaya dan para prajurit menetap di Cirebon tanpa kembali lagi ke Pajajaran untuk menghadap raja. Mereka belajar agama Islam dan menjadi pasukan keamanan di Cirebon.
Mendengar Tumenggung Jagabaya dan para prajurit memeluk Islam, Raja Pajajaran mempersiapkan penyerangan terhadap Cirebon. Penyerangan tersebut berhasil dicegah oleh purohita (pendeta tertinggi di Kerajaan), karena tidak sepantasnya raja menyerang anak dan cucunya sendiri.
Anak yang dimaksud adalah Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, sedangkan cucunya adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Berkat bujukan dari purohita, Raja Pajajaran mengurungkan niatnya untuk menyerang Kerajaan Islam Cirebon.
Sunan Gunung Jati yang bergelar Pandita Ratu mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat dan sebagai raja yang memerintah dan berkedudukan di Cirebon. Di bawah kepemimpinannya, Cirebon dijadikan sebagai tempat penyiaran agama Islam.
Dengan dijadikannya Cirebon sebagai tempat penyiaran agama Islam, menandakan bahwa Cirebon mulai berkembang menjadi sebuah Kerajaan Islam yang besar.
Sunan Gunung Jati berhasil menyebarkan agama Islam ke luar Cirebon sehingga wilayah kekuasaan Kerajaan Cirebon semakin luas hingga ke daerah pedalaman.
Sunan Gunung Jati berhasil menguasai daerah Luragung, Kuningan, Talaga, Galuh, Dermayu, Karawang, Banten, Sunda Kalapa, Sagaraherang, Ciblagung, Sindangkasih (sekarang Majalengka), Sumedanglarang, Tata Ukur (sekarang Bandung dan sekitarnya), Talaga dan Galuh. Meluasnya daerah kekuasaan tersebut menjadikan Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang besar dan kuat.
Sebagai Kerajaan Islam yang besar, Sunan Gunung Jati berhasil membangun aliansi dengan Kesultanan Demak untuk menaklukan penguasa Banten yang waktu itu masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Kekalahan Banten menandakan bahwa wilayah Banten beserta pelabuhannya menjadi daerah bawahan Cirebon. Pada tahun 1526 Sunan Gunung Jati membangun daerah protektorat Kesultanan Banten dan mengangkat putranya, yaitu Pangeran Sebakingkin yang bergelar Sultan Hasanudin sebagai Kepala Negara Banten.
Pembentukan Kesultanan Banten sangat menguntungkan Cirebon karena Banten mempunyai pelabuhan yang cukup strategis menghubungkan pulau Jawa dan pulau Sumatra.
Dibentuknya Kesultanan Banten semakin memantapkan strategi penyiaran agama Islam dan kepentingan politik Sunan Gunung Jati dalam menghadapi kekuatan Portugis yang beraliansi dengan Kerajaan Pajajaran untuk menguasai Sunda Kalapa. Mengetahui Kerajaan Pajajaran dan Portugis ingin menjejakkan kakinya di Sunda Kalapa atau Jayakarta, Cirebon membentuk aliansi dengan Demak dan Jayakarta untuk menahan kekuatan Kerajaan Pajajaran yang Hinduistis. Sehingga kekuatan Portugis dan Pajajaran dapat dipatahkan oleh Cirebon, Demak dan Jayakarta. Wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon hingga tahun 1530 meliputi separuh dari wilayah Provinsi Jawa Barat saat ini termasuk Banten.
Pada tahun 1528 sampai dengan 1552 Sunan Gunung Jati lebih fokus pada kegiatan penyebaran agama Islam. Mulai tahun 1528 Sunan Gunung Jati menyerahkan urusan pemeritahan kepada putranya yaitu Pangeran Pasarean, tetapi kekuasaan tertinggi tetap dipegang oleh Sunan Gunung Jati. Jadi, di Cirebon ada dua pemimpin yaitu Sunan Gunung Jati sebagai raja tertinggi yang meyebarkan agama Islam dan Pangeran Pasarean yang menjalankan pemerintahan.
Pangeran Pasarean menjalankan pemerintahan di Cirebon dengan pengawasan dari Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1529 Pangeran Pasarean melengkapi komplek keraton dengan membangun Bale Kambang, Dalem Arum Kedalem, Bangsal Agung, Bangunan Kaputren, Bangsal Pringgadani, Jinem Pangrawit (pendopo), Taman Bunderan dan Dewandaru.
Masa pemerintahan Pangeran Pasarean terbilang cukup singkat yaitu kurang lebih 18 tahun, karena pada tahun 1546 Pangeran Pasarean meninggal di Demak.
Sunan Gunung Jati yang masih memegang kekuasaan tertinggi akhirnya mengangkat Fatahillah untuk menggantikan posisi dari Pangeran Pasarean. Fatahillah adalah menantu dari Gunung Jati yang menikah dengan putrinya yang bernama Ratu Wulung Ayu. Fatahillah merupakan panglima perang Cirebon, tangan kanan dan penasehat terpecaya Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1568, rakyat Cirebon berduka karena pimpinan tertinggi sekaligus orang besar di Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati meninggal dunia. Sunan Gunung Jati dimakamkan di Gunung Sembung atau yang sekarang dikenal menjadi Gunung Jati. Dalam kitab Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa Sunan Gunung Jati lahir pada tahun 1448 M dan meninggal pada tahun 1568 M.
Baca Juga: Peninggalan Kerajaan Cirebon Yang Masih Terawat
Posting Komentar untuk "Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon "
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.