Soekirah Bertapa Demi Soeharto
Soekirah memang perempuan miskin, ia juga perempuan yang tidak beruntung sebeb baru saja melahirkan anak pertamanya ia bercerai dengan suaminya, meskipun begitu, ia bukan tipe seorang wanita yang ridho anak yang baru saja dilahirkannya akan bernasib sengsara sebagaimana dirinya, oleh karena itu demi masa depan anaknya, ia rela bertapa meninggalkan keramian hidup memohon kepada tuhannya agar anak yang baru ia lahirkan menjadi orang besar, menjadi orang yang tak akan hidup nelangsa sebagaimana dirinya. Anak itu kelak di kenal dengan nama Soeharto, Presiden yang pernah jantan memberantas PKI sehingga akar-akarnya.
Sebelum lahirnya Soeharto, Soekirah menikah dengan Kertoredjo, keduanya sama-sama berasal dari keluarga miskin dari sebuah dusun yang bernama Kemusuk. Dusun tersebut kini masuk pada wilayah administrasi Desa Argomulyo Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul Propinsi Yogyakarta.
Menurut Nugroho (2008:7) Soekirah dan suaminya menempati rumah seadanya, dindingnya terbuat dari bilik dengan genteng sederhana, dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya Soekirah hanya mengandalkan pekerjaan suaminya yang sebagai petani miskin yang juga menjadi ulu-ulu, yaitu jabatan era Tahun 1920-an di Kemusuk yang tugasnya mengatur pengairan di sawah-sawah dusun.
Menjelang kelahiran Soeharto, Soekirah dan Suaminya diterpa berbagai macam ujian rumah tangga, utamanya kesengsaraan soal kebutuhan hidup, hingga akhirnya antara ia dan suaminya sama-sama merasa tidak cocok untuk menjalani rumah tangga.
Pada Tanggal 8 Juni 1921 Soekirah melahirkan anak pertamanya, jenis kelaminnya laki-laki, kala itu ia sudah bercerai dengan suaminya, tetua dan pemuka desa kemudian diminta olehnya untuk menamai anak laki-laki semata wayangnya itu. Menimbang dan memperhatikan kehidupan Soekirah yang serba nelangsa, akhirnya tetua dan pemuka desa, menamakan anak tersebut dengan nama “Soeharto”.
Kata Soeharto dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata, yaitu kata “Soe” yang berarti “lebih baik” dan kata “Harto” berarti “Kekayaan”. Para tetua dan pemuka desa berharap, Soeharto dikemudian hari dapat hidup lebih layak atau lebih berharta daripada bapak dan ibunya yang nelangsa.
Menurut Wuryantoro dalam Susilo (2008:12), selepas dilahirkan, keadaan nelangsa yang menerpa Soekirah membuatnya bersedih hati, ia tidak mau nasib anak yang baru dilahirkannya akan menjadi pelanjut kenestapaannya, oleh karena itu, ia pun kemudian memutuskan untuk bertapa, menghilang jauh dari dusun, tanpa seorangpun yang tahu. Soekirah meninggalkan anaknya untuk bertapa selama 40 hari.
Selama ditinggal Soekirah, Soeharto di asuh oleh Mbah Karmodiryo seorang dukun yang biasa menolong orang saat melahirkan. Selepas menyelesaikan pertapaannya Soekirah kembali hidup bersama Soeharto hingga beberapa waktu, sebelum akhirnya ia menikah lagi dengan seorang laki-laki yang bernama Atmo Pawiro.
Saat menikah lagi, berat sebetulnya bagi Soekirah meninggalkan Soeharto, meskipun begitu ia tetap meninggalkan Soeharto dibawah pengasuhan Mbah Karmodiryo, ditangan dukun desa itulah Soeharto di didik hingga kira-kira umur 5 tahun, akan tetapi tidak lama setelah itu, ketika Soekirah merasa suami barunya akan juga sayang pada anak tirinya, Soekirah mengambil Soeharto untuk diasuh bersama-sama dengan bapak dan adik-adik tirinya.
Dikemudian hari, pertapaan Soekirah selama 40 hari demi mendoakan anaknya agar jangan sampai hidup sengsara dan kekurangan harta sebagai nasibnya itu terbukti mujarab, sebab Soeharto kelak menjadi Presiden Republik Indonesia yang kekayaannya tidak seseorangpun yang dapat membantahnya. Begitulah kramatnya doa seorang ibu.
Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Baca Juga: Membangun 1000 Masjid Obsesi Daripada Soeharto
Sebelum lahirnya Soeharto, Soekirah menikah dengan Kertoredjo, keduanya sama-sama berasal dari keluarga miskin dari sebuah dusun yang bernama Kemusuk. Dusun tersebut kini masuk pada wilayah administrasi Desa Argomulyo Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul Propinsi Yogyakarta.
Menurut Nugroho (2008:7) Soekirah dan suaminya menempati rumah seadanya, dindingnya terbuat dari bilik dengan genteng sederhana, dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya Soekirah hanya mengandalkan pekerjaan suaminya yang sebagai petani miskin yang juga menjadi ulu-ulu, yaitu jabatan era Tahun 1920-an di Kemusuk yang tugasnya mengatur pengairan di sawah-sawah dusun.
Menjelang kelahiran Soeharto, Soekirah dan Suaminya diterpa berbagai macam ujian rumah tangga, utamanya kesengsaraan soal kebutuhan hidup, hingga akhirnya antara ia dan suaminya sama-sama merasa tidak cocok untuk menjalani rumah tangga.
Pada Tanggal 8 Juni 1921 Soekirah melahirkan anak pertamanya, jenis kelaminnya laki-laki, kala itu ia sudah bercerai dengan suaminya, tetua dan pemuka desa kemudian diminta olehnya untuk menamai anak laki-laki semata wayangnya itu. Menimbang dan memperhatikan kehidupan Soekirah yang serba nelangsa, akhirnya tetua dan pemuka desa, menamakan anak tersebut dengan nama “Soeharto”.
Kata Soeharto dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata, yaitu kata “Soe” yang berarti “lebih baik” dan kata “Harto” berarti “Kekayaan”. Para tetua dan pemuka desa berharap, Soeharto dikemudian hari dapat hidup lebih layak atau lebih berharta daripada bapak dan ibunya yang nelangsa.
Menurut Wuryantoro dalam Susilo (2008:12), selepas dilahirkan, keadaan nelangsa yang menerpa Soekirah membuatnya bersedih hati, ia tidak mau nasib anak yang baru dilahirkannya akan menjadi pelanjut kenestapaannya, oleh karena itu, ia pun kemudian memutuskan untuk bertapa, menghilang jauh dari dusun, tanpa seorangpun yang tahu. Soekirah meninggalkan anaknya untuk bertapa selama 40 hari.
Selama ditinggal Soekirah, Soeharto di asuh oleh Mbah Karmodiryo seorang dukun yang biasa menolong orang saat melahirkan. Selepas menyelesaikan pertapaannya Soekirah kembali hidup bersama Soeharto hingga beberapa waktu, sebelum akhirnya ia menikah lagi dengan seorang laki-laki yang bernama Atmo Pawiro.
Saat menikah lagi, berat sebetulnya bagi Soekirah meninggalkan Soeharto, meskipun begitu ia tetap meninggalkan Soeharto dibawah pengasuhan Mbah Karmodiryo, ditangan dukun desa itulah Soeharto di didik hingga kira-kira umur 5 tahun, akan tetapi tidak lama setelah itu, ketika Soekirah merasa suami barunya akan juga sayang pada anak tirinya, Soekirah mengambil Soeharto untuk diasuh bersama-sama dengan bapak dan adik-adik tirinya.
Dikemudian hari, pertapaan Soekirah selama 40 hari demi mendoakan anaknya agar jangan sampai hidup sengsara dan kekurangan harta sebagai nasibnya itu terbukti mujarab, sebab Soeharto kelak menjadi Presiden Republik Indonesia yang kekayaannya tidak seseorangpun yang dapat membantahnya. Begitulah kramatnya doa seorang ibu.
Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Baca Juga: Membangun 1000 Masjid Obsesi Daripada Soeharto
Subhanallah
BalasHapusBisa benar bisa tidak !!
BalasHapus