Hang Tuah Mengalahkan Ribuan Tentara Majapahit
Kisah Hang Tuah Mengalahkan Ribuan Penombak Majapahit dapat ditemui dalam Hikayat Hang Tuah, kisah tersebut terjadi ketika Sultan Malaka berkunjung ke Majapahit untuk menikahi putri Majapahit, kisah tersebut juga terjadi selepas Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya berguru pada seorang Peratapa Sakti dari Gunung Wirana Pura.
Pertarungan Hang Tuah dengan Ribuan penombak Majapahit dimulai ketika Hang Tuah memasuki Taman Larangan, taman tersebut merupakan taman yang berada dilingkungan istana Raja Majapahit yang digunakan untuk bersenang-senangnya Raja, tidak boleh ada seorangpun yang memasuki taman itu kecuali Raja, akan tetapi Hang Tuah dan keempat sahabatnya memaksa masuk dan bersenang-senang masuk di taman itu. Padahal siapapun yang berani memasukinya hukumannya mati.
Pertarungan Hang Tuah dengan Ribuan penombak Majapahit dimulai ketika Hang Tuah memasuki Taman Larangan, taman tersebut merupakan taman yang berada dilingkungan istana Raja Majapahit yang digunakan untuk bersenang-senangnya Raja, tidak boleh ada seorangpun yang memasuki taman itu kecuali Raja, akan tetapi Hang Tuah dan keempat sahabatnya memaksa masuk dan bersenang-senang masuk di taman itu. Padahal siapapun yang berani memasukinya hukumannya mati.
Berikut ini ringkasan kisah Hang Tuah mengalahkan Ribuan Penombak Majapahit yang terdapat dalam Hikayat Hang Tuah;
Di luar benteng terdapat sebuah taman untuk bersenang-senang. Ketika mereka tiba di gerbang taman itu, Hang Jebat berseru, “Halo, penjaga, bukakan gerbangnya!” Penjaga menjawab, “Siapa itu?” Laksamana menjawab, “Aku pendekar Raja Malaka, yang membunuh tanpa bertanya, dengan menggunakan apa pun yang kupilih. Bukalah gerbang ini segera! Kalau tidak, akan kubunuh kau.”
Ketika mendengar ancaman Laksamana, pria itu bergegas membuka gerbang. Maka, kelima kesatria itu memasuki taman, dan mandi di kolam tempat Betara Majapahit dan Ratunya
bersenang-senang, dengan saling memercikkan air.
Penjaga berteriak lagi, “Tuan-tuan, jangan mandi di tempat Paduka Betara dan Ratunya mandi.”
Hang Jebat dan Hang Kasturi balas berteriak, “Karena ini tempat terlarang, maka kami datang ke sini untuk mandi dan bermain! Diamlah, atau kami akan membunuhmu!” Maka, sang penjaga diam saja karena takut dengan Laksamana.
Setelah selesai mandi, Laksamana keluar dari kolam dan memetik bunga yang tumbuh di sekitarnya. Bunga-bunga itu banyak sekali jenisnya dan dia mengumpulkannya membentuk rangkaian bunga. Kemudian, mereka semua memetik buah dan membawanya ke balai dari gading yang dibangun di atas roda. Jumlahnya sangat banyak. Tak lama kemudian, mereka duduk di balai beringkat yang ditopang oleh lima tiang. Setelah selesai memakan buah, mereka bernyanyi dan mengarang sajak.
Laksamana mengenakan mahkota bunga yang disebut dengan Gajah Gemulung. Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu mengikui indakannya dan mengenakan mahkota dari kamboja, angsoka, dan bunga-bunga taman lainnya.
Hang Lekir dan Hang Lekiu meronce bunga kaca piring tiga warna, di ujungnya dia mengikatkan rangkaian berbagai macam bunga. Laksamana berkata, “Aku bisa merasakannya tertulis dalam buku ramalanku kalau kita akan dicegat dan terlibat dalam sebuah pertarungan.
Dia ingin sekali bertarung. Maka, dia berteriak, “Cis, sungguh memalukan, mengapa harus begitu? Seandainya seribu tombak datang, aku akan memotong semuanya dengan keris panjangku!”
Hang Jebat mengulangi tantangannya, “Cis, sungguh memalukan, bagaimana kalau itu terjadi? Kalau Tuanku memotong tombak ribuan penombak, Si Jebat akan menghitungnya!” Hang Kasturi bergabung, “Kalau Tun Jebat menghitungnya maka Si Kasturi akan mengumpulkannya!”
Kemudian Hang Lekir berteriak, “Cis, sungguh memalukan, bagaimana kalau itu terjadi? Kalau Tun Kasturi mengumpulkannya maka Si Lekir akan mengikatnya!”
Hang Lekiu berkata, “Cis, sungguh memalukan kalau itu terjadi. Kalau Tun Lekir mengikatnya maka Si Lekiu akan membawanya. Bagaimana aku bisa membantahnya?” Setelah itu mereka mengarang sajak dan bernyanyi, serta saling mengisi sajak masing-masing dengan suara yang sangat gaduh.
Sementara itu, si penjaga tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat pelanggaran yang dilakukan oleh kelima pemuda itu. Dia bergegas menuju istana untuk menghadap.
Dengan membungkuk rendah, dia melaporkan, “Tuanku, Paduka Betara, taman pribadi Paduka Betara yang hamba jaga telah dirusak oleh lima pemuda Melayu. Hamba sudah mencoba untuk menghentikan mereka, tetapi mereka ttidak mau mendengarkan, mereka bahkan mengancam akan membunuh hamba.
Wajah Seri Betara merah padam karena marah, berjalan memutar bak ular yang bergelung, dan memerintahkan, “Barit Ketika, pergi dan lihatlah siapa orang Melayu yang telah berani memasuki taman pribadiku.”
Barit Ketika segera berpamitan kepada Paduka Betara dan pergi. Di taman, dia melihat Laksamana dan keempat temannya. Barit Ketika bergegas kembali dan membungkuk dihadapan Seri Betara.
Dia melaporkan, “Tuanku, Laksamana, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu ada di taman. Hamba terkejut sekali melihat mereka bersikap bak sekelompok pengacau.”
Ketika Seri Betara mendengar kata-kata Barit Ketika, dia marah sekali sehingga mirip seekor harimau yang hendak menerkam. Dia menoleh ke Raja Malaka, lalu berkata, “Nah, putraku, Raja Malaka, lihatlah apa yang telah dilakukan Laksamana kepadaku! Meskipun dia putraku, aku ttidak akan memperbolehkannya memasuki taman itu.
Raja Malaka membungkuk, “Abdi Anda memohon kemurahan hai dan ampunan di depan kaki Paduka Betara. Mengenai pelanggaran itu, abdi Anda sama sekali tidak mengetahuinya. Menurut pendapat hamba, ttidak masalah apakah itu Laksamana atau Hang Jebat, bahkan seandainya itu diri hamba sendiri, jika hamba melanggar, maka apa gunanya hamba bagi Paduka Betara? Anda harus menyingkirkan hamba!”.
Setelah Raja Malaka berbicara, Seri Betara memerintah pemimpin ribuan penombak, “Dengarkan semua, perintahkan ribuan bangsawan untuk mengangkat senjata mereka. Seperti yang diperintahkan, mereka datang dengan membawa ganjur dan siap untuk bertarung.
Setelah semua persiapan selesai, Seri Betara berkata kepada mereka, “Sekarang kalian semua, para penombak, pergi dan hancurkan orang Melayu yang sekarang ada di tamanku. Kepung dan bunuhlah mereka!”
Mereka membungkuk menghaturkan sembah dan bergegas menuju taman. Mereka memenuhi tempat itu dengan teriakan perang yang menggelegar. Patih Gajah Mada dalam hati berpikir dengan penuh kemenangan, “Kali ini tamatlah riwayatmu Laksamana.”
Banyak sekali orang dari kota dan sekelilingnya datang berduyun-duyun untuk melihat dari luar gerbang.
Ketika mendengar banyak sekali orang Jawa yang datang mengepungnya, Laksamana berteriak, “Empat sahabatku, mereka telah datang mengepung kita!” Hang Jebat menjawab, “Buat apa takut? Apa pernah Si Jebat membantah perkataanmu?” Kemudian, Laksamana menuruni balai dan menggulung lengan bajunya, lalu menantang semua musuhnya, “Cis, sungguh memalukan, inilah yang kucari-cari!”
Dia menghunus keris panjangnya dan menunggu para tentara dengan ganjur mereka, sementara itu dia membaca buku ramalannya dan mencari pertanda kemungkinan terjadinya malapetaka. Ketika akhirnya mereka datang, mereka melemparkan senjata mereka ke Laksamana, ganjur dan tombak jatuh di sekelilingnya bak setumpuk semak belukar yang tajam. Dia melompat dan menangkis tombak-tombak itu ke kanan dan ke kiri, memotong semua. Sebagian bengkok, sebagian lagi patah, tetapi tak satu pun mengenai tubuhnya.
Melihat cara Laksamana memotong ganjur mereka, maka ribuan penombak itu melarikan diri. Sebagian dengan wajah hancur, sebagian dengan dahi remuk dan sebagian dengan kepala pecah karena terkena batang pohon di taman. Mereka kembali untuk melapor kepada Paduka Seri Betara, dengan darah masih mengucur dari luka mereka.
Seri Betara bertanya, “Nah, para penombak, apa Laksamana sekarang sudah mati?” Mereka menjawab, Tuanku, dia bukan hanya masih hidup, dia bahkan ttidak terluka. Masalahnya, mereka ingin membunuh kami semua, bahkan tak satu pun dari kami yang seharusnya selamat.”
Ketika mendengar laporan mereka, Seri Betara merasa sangat sedih melihat semua penombaknya dikalahkan. Sementara itu, setelah mereka semua melarikan diri, Laksamana kembali ke kolam untuk membersihkan tubuhnya. Dia berkata, “Sahabat-sahabatku, ayo kita menghadap ke istana, dengan membawa semua tombak yang patah ini sebagai hadiah bagi Paduka Betara.”
Ketika mendengar itu, Hang Jebat berkata, “Seandainya terjadi sesuatu kepada Paduka Raja, atau Paduka Raja ttidak diperbolehkan pulang karena kita, apa strategi yang harus kita gunakan?” Laksamana menjawab, “Saudara-saudaraku, seandainya terjadi sesuatu yang menghalangi kepulangan Paduka Raja, maka pada saat itu balairung akan dipenuhi dengan mayat yang
merupakan hasil karya Si Tuah!”
Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu mengucapkan janji mereka dengan serempak, “Kami berempat bersama dengan Tuanku. Demi kebaikan kita sendiri maka kita harus bersatu, bahkan untuk tujuan yang kurang mulia.”
Ketika mendengar janji mereka, Laksamana berkata, “Ayo kita menghadap Seri Betara.” Hang Jebat setuju, “Baiklah, aku akan menemani Tuanku.” Hang Lekiu membawa semua kepala tombak di atas bahunya.
Selanjutnya, Laksamana pergi ke istana untuk menghadap Seri Betara. Raja Malaka masih berada di balairung. Kemudian, Laksamana mendekai singgasana dengan membawa ribuan kepala tombak. Ketika melihatnya, Seri Betara memalingkan wajah, tidak bersedia melihat wajah Laksamana.
Laksamana membungkuk rendah dan menghaturkan sembah, “Tuanku, abdi Anda memohon kemurahan dan kebaikan hai di kaki Paduka Betara. Abdi Anda tidak tahu kalau itu taman terlarang. Hamba memasukinya hanya untuk minum, tetapi sebelum hamba dapat minum, hamba dikepung dan kematian mengancam hamba. Hamba juga tidak mengetahui kalau Paduka Betara ingin membunuh hamba, maka hamba melawan. Hamba memohon kemurahan hai dan karunia Paduka, Tuanku.”
Ketika Seri Betara mendengarkan penjelasan Laksamana, Paduka Betara menoleh dan berkata, “Kalau Laksamana tidak mengetahui itu tempat terlarang, apa yang bisa kulakukan? Namun, lain kali jika Laksamana melakukan pelanggaran seperti itu lagi, aku tidak akan segan-segan lagi untuk menghukummu. Karena kau seorang Laksamana, tidak ada lagi yang bisa kukatakan.”
Tak lama kemudian, Raja Malaka berpamitan kepada Paduka Betara untuk kembali ke istananya. Betara Majapahit menoleh ke menteri seniornya dan bertanya, “Nah Patih, apa rencana kita sekarang, karena Raja Malaka telah berpamitan kepadaku untuk kembali ke Malaka? Aku ingin sekali menahannya, tetapi aku tidak dapat melakukannya karena dia sudah cukup lama berada di sini.”
Patih membungkuk dan menjawab, “Tuanku Paduka Betara, hamba bertanya kepada diri hamba sendiri, ke mana Laksamana dapat melarikan diri. Tolong bersabarlah, Tuanku. Ketika Raja Malaka kembali, maka putra Anda pasi akan mengutusnya kembali ke Majapahit. Pada saat itulah semua keinginan kita akan terwujud.” Kemudian, Seri Betara turun dari singgasananya dan kembali ke istananya.
Baca Juga: Hang Tuah Berguru Ke Pulau Jawa
Di luar benteng terdapat sebuah taman untuk bersenang-senang. Ketika mereka tiba di gerbang taman itu, Hang Jebat berseru, “Halo, penjaga, bukakan gerbangnya!” Penjaga menjawab, “Siapa itu?” Laksamana menjawab, “Aku pendekar Raja Malaka, yang membunuh tanpa bertanya, dengan menggunakan apa pun yang kupilih. Bukalah gerbang ini segera! Kalau tidak, akan kubunuh kau.”
Ketika mendengar ancaman Laksamana, pria itu bergegas membuka gerbang. Maka, kelima kesatria itu memasuki taman, dan mandi di kolam tempat Betara Majapahit dan Ratunya
bersenang-senang, dengan saling memercikkan air.
Penjaga berteriak lagi, “Tuan-tuan, jangan mandi di tempat Paduka Betara dan Ratunya mandi.”
Hang Jebat dan Hang Kasturi balas berteriak, “Karena ini tempat terlarang, maka kami datang ke sini untuk mandi dan bermain! Diamlah, atau kami akan membunuhmu!” Maka, sang penjaga diam saja karena takut dengan Laksamana.
Setelah selesai mandi, Laksamana keluar dari kolam dan memetik bunga yang tumbuh di sekitarnya. Bunga-bunga itu banyak sekali jenisnya dan dia mengumpulkannya membentuk rangkaian bunga. Kemudian, mereka semua memetik buah dan membawanya ke balai dari gading yang dibangun di atas roda. Jumlahnya sangat banyak. Tak lama kemudian, mereka duduk di balai beringkat yang ditopang oleh lima tiang. Setelah selesai memakan buah, mereka bernyanyi dan mengarang sajak.
Laksamana mengenakan mahkota bunga yang disebut dengan Gajah Gemulung. Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu mengikui indakannya dan mengenakan mahkota dari kamboja, angsoka, dan bunga-bunga taman lainnya.
Hang Lekir dan Hang Lekiu meronce bunga kaca piring tiga warna, di ujungnya dia mengikatkan rangkaian berbagai macam bunga. Laksamana berkata, “Aku bisa merasakannya tertulis dalam buku ramalanku kalau kita akan dicegat dan terlibat dalam sebuah pertarungan.
Dia ingin sekali bertarung. Maka, dia berteriak, “Cis, sungguh memalukan, mengapa harus begitu? Seandainya seribu tombak datang, aku akan memotong semuanya dengan keris panjangku!”
Hang Jebat mengulangi tantangannya, “Cis, sungguh memalukan, bagaimana kalau itu terjadi? Kalau Tuanku memotong tombak ribuan penombak, Si Jebat akan menghitungnya!” Hang Kasturi bergabung, “Kalau Tun Jebat menghitungnya maka Si Kasturi akan mengumpulkannya!”
Kemudian Hang Lekir berteriak, “Cis, sungguh memalukan, bagaimana kalau itu terjadi? Kalau Tun Kasturi mengumpulkannya maka Si Lekir akan mengikatnya!”
Hang Lekiu berkata, “Cis, sungguh memalukan kalau itu terjadi. Kalau Tun Lekir mengikatnya maka Si Lekiu akan membawanya. Bagaimana aku bisa membantahnya?” Setelah itu mereka mengarang sajak dan bernyanyi, serta saling mengisi sajak masing-masing dengan suara yang sangat gaduh.
Sementara itu, si penjaga tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat pelanggaran yang dilakukan oleh kelima pemuda itu. Dia bergegas menuju istana untuk menghadap.
Dengan membungkuk rendah, dia melaporkan, “Tuanku, Paduka Betara, taman pribadi Paduka Betara yang hamba jaga telah dirusak oleh lima pemuda Melayu. Hamba sudah mencoba untuk menghentikan mereka, tetapi mereka ttidak mau mendengarkan, mereka bahkan mengancam akan membunuh hamba.
Wajah Seri Betara merah padam karena marah, berjalan memutar bak ular yang bergelung, dan memerintahkan, “Barit Ketika, pergi dan lihatlah siapa orang Melayu yang telah berani memasuki taman pribadiku.”
Barit Ketika segera berpamitan kepada Paduka Betara dan pergi. Di taman, dia melihat Laksamana dan keempat temannya. Barit Ketika bergegas kembali dan membungkuk dihadapan Seri Betara.
Dia melaporkan, “Tuanku, Laksamana, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu ada di taman. Hamba terkejut sekali melihat mereka bersikap bak sekelompok pengacau.”
Ketika Seri Betara mendengar kata-kata Barit Ketika, dia marah sekali sehingga mirip seekor harimau yang hendak menerkam. Dia menoleh ke Raja Malaka, lalu berkata, “Nah, putraku, Raja Malaka, lihatlah apa yang telah dilakukan Laksamana kepadaku! Meskipun dia putraku, aku ttidak akan memperbolehkannya memasuki taman itu.
Raja Malaka membungkuk, “Abdi Anda memohon kemurahan hai dan ampunan di depan kaki Paduka Betara. Mengenai pelanggaran itu, abdi Anda sama sekali tidak mengetahuinya. Menurut pendapat hamba, ttidak masalah apakah itu Laksamana atau Hang Jebat, bahkan seandainya itu diri hamba sendiri, jika hamba melanggar, maka apa gunanya hamba bagi Paduka Betara? Anda harus menyingkirkan hamba!”.
Setelah Raja Malaka berbicara, Seri Betara memerintah pemimpin ribuan penombak, “Dengarkan semua, perintahkan ribuan bangsawan untuk mengangkat senjata mereka. Seperti yang diperintahkan, mereka datang dengan membawa ganjur dan siap untuk bertarung.
Setelah semua persiapan selesai, Seri Betara berkata kepada mereka, “Sekarang kalian semua, para penombak, pergi dan hancurkan orang Melayu yang sekarang ada di tamanku. Kepung dan bunuhlah mereka!”
Mereka membungkuk menghaturkan sembah dan bergegas menuju taman. Mereka memenuhi tempat itu dengan teriakan perang yang menggelegar. Patih Gajah Mada dalam hati berpikir dengan penuh kemenangan, “Kali ini tamatlah riwayatmu Laksamana.”
Banyak sekali orang dari kota dan sekelilingnya datang berduyun-duyun untuk melihat dari luar gerbang.
Ketika mendengar banyak sekali orang Jawa yang datang mengepungnya, Laksamana berteriak, “Empat sahabatku, mereka telah datang mengepung kita!” Hang Jebat menjawab, “Buat apa takut? Apa pernah Si Jebat membantah perkataanmu?” Kemudian, Laksamana menuruni balai dan menggulung lengan bajunya, lalu menantang semua musuhnya, “Cis, sungguh memalukan, inilah yang kucari-cari!”
Dia menghunus keris panjangnya dan menunggu para tentara dengan ganjur mereka, sementara itu dia membaca buku ramalannya dan mencari pertanda kemungkinan terjadinya malapetaka. Ketika akhirnya mereka datang, mereka melemparkan senjata mereka ke Laksamana, ganjur dan tombak jatuh di sekelilingnya bak setumpuk semak belukar yang tajam. Dia melompat dan menangkis tombak-tombak itu ke kanan dan ke kiri, memotong semua. Sebagian bengkok, sebagian lagi patah, tetapi tak satu pun mengenai tubuhnya.
Melihat cara Laksamana memotong ganjur mereka, maka ribuan penombak itu melarikan diri. Sebagian dengan wajah hancur, sebagian dengan dahi remuk dan sebagian dengan kepala pecah karena terkena batang pohon di taman. Mereka kembali untuk melapor kepada Paduka Seri Betara, dengan darah masih mengucur dari luka mereka.
Seri Betara bertanya, “Nah, para penombak, apa Laksamana sekarang sudah mati?” Mereka menjawab, Tuanku, dia bukan hanya masih hidup, dia bahkan ttidak terluka. Masalahnya, mereka ingin membunuh kami semua, bahkan tak satu pun dari kami yang seharusnya selamat.”
Ketika mendengar laporan mereka, Seri Betara merasa sangat sedih melihat semua penombaknya dikalahkan. Sementara itu, setelah mereka semua melarikan diri, Laksamana kembali ke kolam untuk membersihkan tubuhnya. Dia berkata, “Sahabat-sahabatku, ayo kita menghadap ke istana, dengan membawa semua tombak yang patah ini sebagai hadiah bagi Paduka Betara.”
Ketika mendengar itu, Hang Jebat berkata, “Seandainya terjadi sesuatu kepada Paduka Raja, atau Paduka Raja ttidak diperbolehkan pulang karena kita, apa strategi yang harus kita gunakan?” Laksamana menjawab, “Saudara-saudaraku, seandainya terjadi sesuatu yang menghalangi kepulangan Paduka Raja, maka pada saat itu balairung akan dipenuhi dengan mayat yang
merupakan hasil karya Si Tuah!”
Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu mengucapkan janji mereka dengan serempak, “Kami berempat bersama dengan Tuanku. Demi kebaikan kita sendiri maka kita harus bersatu, bahkan untuk tujuan yang kurang mulia.”
Ketika mendengar janji mereka, Laksamana berkata, “Ayo kita menghadap Seri Betara.” Hang Jebat setuju, “Baiklah, aku akan menemani Tuanku.” Hang Lekiu membawa semua kepala tombak di atas bahunya.
Selanjutnya, Laksamana pergi ke istana untuk menghadap Seri Betara. Raja Malaka masih berada di balairung. Kemudian, Laksamana mendekai singgasana dengan membawa ribuan kepala tombak. Ketika melihatnya, Seri Betara memalingkan wajah, tidak bersedia melihat wajah Laksamana.
Laksamana membungkuk rendah dan menghaturkan sembah, “Tuanku, abdi Anda memohon kemurahan dan kebaikan hai di kaki Paduka Betara. Abdi Anda tidak tahu kalau itu taman terlarang. Hamba memasukinya hanya untuk minum, tetapi sebelum hamba dapat minum, hamba dikepung dan kematian mengancam hamba. Hamba juga tidak mengetahui kalau Paduka Betara ingin membunuh hamba, maka hamba melawan. Hamba memohon kemurahan hai dan karunia Paduka, Tuanku.”
Ketika Seri Betara mendengarkan penjelasan Laksamana, Paduka Betara menoleh dan berkata, “Kalau Laksamana tidak mengetahui itu tempat terlarang, apa yang bisa kulakukan? Namun, lain kali jika Laksamana melakukan pelanggaran seperti itu lagi, aku tidak akan segan-segan lagi untuk menghukummu. Karena kau seorang Laksamana, tidak ada lagi yang bisa kukatakan.”
Tak lama kemudian, Raja Malaka berpamitan kepada Paduka Betara untuk kembali ke istananya. Betara Majapahit menoleh ke menteri seniornya dan bertanya, “Nah Patih, apa rencana kita sekarang, karena Raja Malaka telah berpamitan kepadaku untuk kembali ke Malaka? Aku ingin sekali menahannya, tetapi aku tidak dapat melakukannya karena dia sudah cukup lama berada di sini.”
Patih membungkuk dan menjawab, “Tuanku Paduka Betara, hamba bertanya kepada diri hamba sendiri, ke mana Laksamana dapat melarikan diri. Tolong bersabarlah, Tuanku. Ketika Raja Malaka kembali, maka putra Anda pasi akan mengutusnya kembali ke Majapahit. Pada saat itulah semua keinginan kita akan terwujud.” Kemudian, Seri Betara turun dari singgasananya dan kembali ke istananya.
Baca Juga: Hang Tuah Berguru Ke Pulau Jawa
Ini kisah super hero min. Masak cerita super hero spt ini di post. Situs ini bukan referensi sejarah yg bagus mungkin lebih ke situs yg menyediakan cerita rakyat/mitos
BalasHapusAda hikayat, legenda dan cerita rakyat yg kadang bersumber atau diilhami dari kejadian nyata sisanya fiksi. Banyak sebagian orang mempercayainya sebagai sumber sejarah. Nanti di jaman anak cucu kita bisa ada cerita lewat mesin waktu superman membawa cristalnya melalui mesin waktu ketemu mpu gandring untuk memberi hadiah sebagai bahan keris
Hapus