John Lie Sang Penyelundup Senjata Republik
Selepas menyerahnya Jepang pada Sektu serta diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Indonesia menghadapi masalah baru, Belanda kembali menduduki Indonesia. Dari Tahun 1945-1948 pecah perang kemerdekaan yang terjadi di beberapa daerah.
Tentara Republik yang dibantu rakyat semangatnya memang tinggi, diantara mereka banyak yang berjuang hanya dengan menggunakan senjata tradisonal, bahkan saking minimnya senjata, mereka terpaksa menggunakan bambu yang diruncingkan.
Perjuangan yang macam demikian tentu membuat Belanda terbahak-bahak, sebab Belanda dengan mudah dapat membedil mereka.
Para Pemimpin Republik sebetulnya sangat ingin mempersenjatai Tentara dan Pejuang dengan senjata api, akan tetapi keadaan waktu itu serba sulit, sebab kekayaan alam dirampas, lautpun diblokade Blanda, oleh karena itu sangat sulit untuk membeli dan bahkan menyelundupkan senjata. Meskipun begitu John Lie, yang kala itu lagi muda-mudanya mampu mengemban misi itu, membeli dan menyelundupkan senjata api sebanyak-banyaknya sehingga dapat dipergunakan untuk perjuangan.
John Lie dilahirkan di tengah-tengah keluarga kaya. Ayah John Lie yaitu Lie Kae Tae adalah pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai), sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa transportasi.
Pada tahun 1918, ketika usianya menginjak tujuh tahun, John Lie masuk sekolah dasar pada Hollands Chinese School (HCS). HCS adalah sebuah sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang didirikan oleh pemerintah Belanda.
Pendidikan Jhon Lie di HCS tidak lama, menurut Lembong (2008:42) sebab Jhon Lie dipindahkan dari HCS ke Christelijke Lagere School (CHR) karena kedapatan menulis ungkapan penghinaan pada Belanda di papan tulis. Di CHR Lagere School, John Lie menempuh pendidikan selama tujuh tahun yaitu dari tahun 1920-1927. Di sekolah inilah John Lie mendapatkan pengetahuan umum dan juga pelajaran-pelajaran yang bersentuhan dengan nilai-nilai kristiani.
Pada tahun 1928, John Lie bekerja sebagai buruh pelabuhan di Tanjung Priok. Kurang lebih setahun bekerja sebagai buruh pelabuhan, pada november 1929, John Lie mulai bekerja di KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) sebagai Klerk Mualim III.
KPM adalah sebuah perusahaan pelayaran yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1888 dan mulai beroperasi pada tahun 1891. Perusahaan pelayaran ini disubsidi oleh pemerintah Belanda dan mendapatkan hak istimewa untuk melaksanakan transportasi laut di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Sebelum bekerja di KPM, John Lie mengikuti pendidikan singkat berupa kursus navigasi selama tiga bulan di Batavia untuk menjadi stuurman (mualim). Dalam mengikuti pendidikan singkat tersebut, John Lie tergolong pandai sehingga kurang dari tiga bulan mampu menyelesaikan pelajarannya.
Sejak menyelesaikan pendidikan tentang navigasi, John Lie mulai aktif sebagai pelaut yang bertugas sebagai stuurman. Sebelum bertugas di kapal MV Tosari, John Lie bertugas sebagai mualim di Kapal Singkarak dan juga pernah menjadi stuurman di Kapal Van Noord dan lain-lain. John Lie bertugas sebagai pelaut berlayar dari satu pulau ke pulau lain, dari barat sampai ke timur mengarungi lautan dan menghubungkan seluruh Kepulauan di Nusantara.
Kapal MV Tosari mengangkut 400 ton Ruber (getah karet) semula hendak berlayar ke Australia, tetapi kemudian berganti haluan menuju ke barat ke Kolombo di Srilanka wilayah Inggris. Ketika Jepang mendarat di Pulau Jawa, kapal MV Tosari digabungkan dalam armada kapal niaga sekutu.
Kapal MV Tosari berlayar ke pelabuhan Bombay (kini Mumbay) di India. Mereka membongkar muatan karet dan memuat perbekalan, genever (minuman sejenis gin khas Belanda) dan bahan makanan. Selanjutnya kapal MV Tosari menuju teluk Persia dan lego jangkar di Pelabuhan Royal Navy (Angkatan Laut Kerajaan Inggris) di Khoramshar (kini wilayah Iran).
Kapal MV Tosari dan John Lie kemudian bergabung dalam Logistic Task Force Royal Navy (Satuan Tugas Logistik Angkatan Laut Inggris). Mereka mendapatkan tugas melayani pasokan kapal-kapal Sekutu yang tiba dari Australia. Selama berdinas di bawah Royal Navy, John Lie belajar banyak hal yang meningkatkan keahliannya (practice training).
Ketika proklamasi dibacakan dan bangsa Indonesia merdeka, John Lie masih berada di Teluk Persia. Meskipun begitu ketika mendengar kabar bahwa Indonesia sudah merdeka, John Lie dan temantemannya sesama pelaut yang berasal dari Indonesia ingin sekali kembali dan pulang ke Tanah Air. Namun mereka harus bersabar dan menunggu kesempatan yang baik agar tidak dicurigai oleh pihak sekutu.
Pada Februari tahun 1946 semua awak kapal KPM yang berdinas di Pangkalan Angkatan Laut Inggris diperbolehkan kembali ke Indonesia. John Lie dan kawan-kawan diangkut dengan menggunakan Kapal MV Ophir dari Koramshar ke Indonesia dengan melewati rute Bombay. Kemudian dari Calcuta singgah selama kurang lebih sepuluh hari di Singapura.
Selama berada di Singapura, John Lie memanfaatkan waktu sebaik-sebaiknya untuk mempelajari berbagai pengetahuan. John Lie mempelajari cara menyapu ranjau laut dan mempelajari taktik pertempuran di laut.
Pada bulan April tahun 1946, John Lie dan kawan-kawan tiba di Tanjung Priok, Jakarta. Setibanya di Jakarta, John Lie tidak segera bergabung dengan laskar perjuangan, melainkan selama satu setengah bulan bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan biaya ke wilayah pedalaman. Sambil bekerja, John Lie berusaha membuka jaringan informasi.
Pada bulan Mei tahun 1946, akhirnya John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang bernama Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng Jakarta. John Lie diterima sebagai anggota KRIS Barisan Lautan dan diberi surat pengantar untuk menghadap Mr. A.A. Maramis.
Setelah mendapatkan surat pengantar dari pimpinan KRIS, John Lie bergegas menemui Mr. A.A.Maramis sebagai seorang tokoh KRIS di salah satu hotel di Jalan Majapahit, bilangan Harmoni Jakarta.
John Lie diterima dan direstui untuk ikut berjuang di medan kelautan. John Lie mendapat Surat Referensi dari Mr. A.A. Maramis untuk dibawa ke Markas Besar Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) menghadap Laksaman III M. Pardi selaku kepala staf ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) Yogyakarta.
Berbekal secarik kertas dari pimpinan KRIS dan Mr. A.A. Maramis, John Lie pergi ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Dalam perjalanannya menuju Yogyakarta, John Lie ditahan sebanyak dua kali oleh tentara Gurkha di Kranji, dilanjutkan pemeriksaan oleh NEFIS (Netherlands Forces Inteligence Service). Dari kedua pemeriksaan tersebut, John Lie lolos karena ia fasih berbahasa Belanda. Sedangkan surat referensi yang dibawanya sudah disimpan sedemikian rupa, sehingga sang interogator tidak menemukannya.
Sesampainya di Stasiun Kerawang, John Lie sempat ditahan kembali oleh Laskar Perjuangan KRIS, John Lie dicurigai sebagai mata-mata Belanda. John Lie baru bisa melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta setelah ditahan dua malam dan satu koper pakaiannya yang dibeli dari luar negeri diberikan kepada pasukan tersebut. Sesampainya di Yogyakarta, John Lie melapor ke Markas Besar Umum ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Barulah selepas itu John Lie resmi diterima sebagai anggota Angkatan Laut Republik Indonesia.
Menyadari hal tersebut, pemerintah berupaya membeli dan menyelundupkan senjata untuk dipergunakan tentara dan para pejuang dengan cara menjual kekayaan alam yang berhasil dikumpulkan pemerintah secara sembunyi-sembunyi, meskipun begitu untuk melakukannya tidaklah mudah, karena seluruh jalur pelayaran di Indonesia diblokade Belanda.
Pemenrintah melaui ALRI akhirnya resmi menugaskan Jhon Lie untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis.
Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Oetojo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda.
Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatra seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris.
Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatra, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jasa-jasa besar Jhon Lie dalam mempertahankan kemerdekaan diganjar penghargaan oleh pemerintah, pada pada 10 Nopember 1995, Presiden Soeharto menganugerahinya Bintang Mahaputera Adipradana dan pada 9 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Jhon Lie wafat pada 27 Agustus 1988.
Penulis: Bung Fei
[2]Onghokham. 2009. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu
[3]Eddie Lembong, 2008. “John Lee: Menyelundup Senjata Untuk Negara dan Bangsa,” dalam Eddie Kusumah, Rumusan Seminar Kebangsaan: Mengungkap Persitiwa Sejarah Peran Pejuang Suku Tionghoa Dalam Membela Negara dan Bangsa. Jakarta: Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia (SAKTI)
[4]Jozef A. Warouw, 1999. KRIS 45 Berjuang Membela Negara: Sebuah Refleksi Perjuangan Revolusi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tentara Republik yang dibantu rakyat semangatnya memang tinggi, diantara mereka banyak yang berjuang hanya dengan menggunakan senjata tradisonal, bahkan saking minimnya senjata, mereka terpaksa menggunakan bambu yang diruncingkan.
Perjuangan yang macam demikian tentu membuat Belanda terbahak-bahak, sebab Belanda dengan mudah dapat membedil mereka.
Para Pemimpin Republik sebetulnya sangat ingin mempersenjatai Tentara dan Pejuang dengan senjata api, akan tetapi keadaan waktu itu serba sulit, sebab kekayaan alam dirampas, lautpun diblokade Blanda, oleh karena itu sangat sulit untuk membeli dan bahkan menyelundupkan senjata. Meskipun begitu John Lie, yang kala itu lagi muda-mudanya mampu mengemban misi itu, membeli dan menyelundupkan senjata api sebanyak-banyaknya sehingga dapat dipergunakan untuk perjuangan.
Latar Belakang Keluarga John Lie
John Lie adalah Pahlawan Nasional Indonesia Berdarah China, bapaknya bernama Lie Kae Tae sementara ibunya bernama Maryam Oei Tseng Nie. Ia dilahirkan pada tanggal 9 Maret tahun 1911 di kampung Pecinan bernama Kanaka yang terletak di Kecamatan Manado Tengah Sulawesi Utara.John Lie dilahirkan di tengah-tengah keluarga kaya. Ayah John Lie yaitu Lie Kae Tae adalah pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai), sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa transportasi.
Pada tahun 1918, ketika usianya menginjak tujuh tahun, John Lie masuk sekolah dasar pada Hollands Chinese School (HCS). HCS adalah sebuah sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang didirikan oleh pemerintah Belanda.
Pendidikan Jhon Lie di HCS tidak lama, menurut Lembong (2008:42) sebab Jhon Lie dipindahkan dari HCS ke Christelijke Lagere School (CHR) karena kedapatan menulis ungkapan penghinaan pada Belanda di papan tulis. Di CHR Lagere School, John Lie menempuh pendidikan selama tujuh tahun yaitu dari tahun 1920-1927. Di sekolah inilah John Lie mendapatkan pengetahuan umum dan juga pelajaran-pelajaran yang bersentuhan dengan nilai-nilai kristiani.
John Lie Pergi ke Batavia (Jakarta)
Selepas satu tahun lulus dari CHR Lagere School, tepatnya pada awal tahun 1928, John Lie pergi meninggalkan kampung halamannya Manado ke Batavia, saat itu John Lie berusia 17 tahun. Dengan menggunakan kapal KPM, John Lie tiba di Batavia setelah kapal tersebut melewati rute pelayaran Makasar dan Surabaya.Pada tahun 1928, John Lie bekerja sebagai buruh pelabuhan di Tanjung Priok. Kurang lebih setahun bekerja sebagai buruh pelabuhan, pada november 1929, John Lie mulai bekerja di KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) sebagai Klerk Mualim III.
KPM adalah sebuah perusahaan pelayaran yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1888 dan mulai beroperasi pada tahun 1891. Perusahaan pelayaran ini disubsidi oleh pemerintah Belanda dan mendapatkan hak istimewa untuk melaksanakan transportasi laut di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Sebelum bekerja di KPM, John Lie mengikuti pendidikan singkat berupa kursus navigasi selama tiga bulan di Batavia untuk menjadi stuurman (mualim). Dalam mengikuti pendidikan singkat tersebut, John Lie tergolong pandai sehingga kurang dari tiga bulan mampu menyelesaikan pelajarannya.
Sejak menyelesaikan pendidikan tentang navigasi, John Lie mulai aktif sebagai pelaut yang bertugas sebagai stuurman. Sebelum bertugas di kapal MV Tosari, John Lie bertugas sebagai mualim di Kapal Singkarak dan juga pernah menjadi stuurman di Kapal Van Noord dan lain-lain. John Lie bertugas sebagai pelaut berlayar dari satu pulau ke pulau lain, dari barat sampai ke timur mengarungi lautan dan menghubungkan seluruh Kepulauan di Nusantara.
John Lie masa Penjajahan Jepang
Pada saat Indonesia hendak diduduki Jepang, perusahaan KPM telah mendapatkan peringatan dari pemerintah Hindia Belanda, supaya semua kapal-kapalnya segera keluar dari perairan Indonesia menuju Australia, termasuk Kapal MV Tosari yang diawaki Jhon Lie.Kapal MV Tosari mengangkut 400 ton Ruber (getah karet) semula hendak berlayar ke Australia, tetapi kemudian berganti haluan menuju ke barat ke Kolombo di Srilanka wilayah Inggris. Ketika Jepang mendarat di Pulau Jawa, kapal MV Tosari digabungkan dalam armada kapal niaga sekutu.
Kapal MV Tosari berlayar ke pelabuhan Bombay (kini Mumbay) di India. Mereka membongkar muatan karet dan memuat perbekalan, genever (minuman sejenis gin khas Belanda) dan bahan makanan. Selanjutnya kapal MV Tosari menuju teluk Persia dan lego jangkar di Pelabuhan Royal Navy (Angkatan Laut Kerajaan Inggris) di Khoramshar (kini wilayah Iran).
Kapal MV Tosari dan John Lie kemudian bergabung dalam Logistic Task Force Royal Navy (Satuan Tugas Logistik Angkatan Laut Inggris). Mereka mendapatkan tugas melayani pasokan kapal-kapal Sekutu yang tiba dari Australia. Selama berdinas di bawah Royal Navy, John Lie belajar banyak hal yang meningkatkan keahliannya (practice training).
John Lie Bergabung Dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI)
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada sektu, yaitu pada 10 Agustus 1945, Soekarno dan Hata yang didukung para Pemuda memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan tersebut direkam dan disiarkan melaui radio-radio bahkan di siarkan ke dunia oleh pejuang-pejuang di luar negeri.Ketika proklamasi dibacakan dan bangsa Indonesia merdeka, John Lie masih berada di Teluk Persia. Meskipun begitu ketika mendengar kabar bahwa Indonesia sudah merdeka, John Lie dan temantemannya sesama pelaut yang berasal dari Indonesia ingin sekali kembali dan pulang ke Tanah Air. Namun mereka harus bersabar dan menunggu kesempatan yang baik agar tidak dicurigai oleh pihak sekutu.
Pada Februari tahun 1946 semua awak kapal KPM yang berdinas di Pangkalan Angkatan Laut Inggris diperbolehkan kembali ke Indonesia. John Lie dan kawan-kawan diangkut dengan menggunakan Kapal MV Ophir dari Koramshar ke Indonesia dengan melewati rute Bombay. Kemudian dari Calcuta singgah selama kurang lebih sepuluh hari di Singapura.
Selama berada di Singapura, John Lie memanfaatkan waktu sebaik-sebaiknya untuk mempelajari berbagai pengetahuan. John Lie mempelajari cara menyapu ranjau laut dan mempelajari taktik pertempuran di laut.
Pada bulan April tahun 1946, John Lie dan kawan-kawan tiba di Tanjung Priok, Jakarta. Setibanya di Jakarta, John Lie tidak segera bergabung dengan laskar perjuangan, melainkan selama satu setengah bulan bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan biaya ke wilayah pedalaman. Sambil bekerja, John Lie berusaha membuka jaringan informasi.
Pada bulan Mei tahun 1946, akhirnya John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang bernama Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng Jakarta. John Lie diterima sebagai anggota KRIS Barisan Lautan dan diberi surat pengantar untuk menghadap Mr. A.A. Maramis.
Setelah mendapatkan surat pengantar dari pimpinan KRIS, John Lie bergegas menemui Mr. A.A.Maramis sebagai seorang tokoh KRIS di salah satu hotel di Jalan Majapahit, bilangan Harmoni Jakarta.
John Lie diterima dan direstui untuk ikut berjuang di medan kelautan. John Lie mendapat Surat Referensi dari Mr. A.A. Maramis untuk dibawa ke Markas Besar Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) menghadap Laksaman III M. Pardi selaku kepala staf ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) Yogyakarta.
Berbekal secarik kertas dari pimpinan KRIS dan Mr. A.A. Maramis, John Lie pergi ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Dalam perjalanannya menuju Yogyakarta, John Lie ditahan sebanyak dua kali oleh tentara Gurkha di Kranji, dilanjutkan pemeriksaan oleh NEFIS (Netherlands Forces Inteligence Service). Dari kedua pemeriksaan tersebut, John Lie lolos karena ia fasih berbahasa Belanda. Sedangkan surat referensi yang dibawanya sudah disimpan sedemikian rupa, sehingga sang interogator tidak menemukannya.
Sesampainya di Stasiun Kerawang, John Lie sempat ditahan kembali oleh Laskar Perjuangan KRIS, John Lie dicurigai sebagai mata-mata Belanda. John Lie baru bisa melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta setelah ditahan dua malam dan satu koper pakaiannya yang dibeli dari luar negeri diberikan kepada pasukan tersebut. Sesampainya di Yogyakarta, John Lie melapor ke Markas Besar Umum ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Barulah selepas itu John Lie resmi diterima sebagai anggota Angkatan Laut Republik Indonesia.
John Lie Berjuang Menyelundupkan Senjata Untuk Pejuang
Antara tahun 1956-1948 Belanda dengan segala arogansinya terus berupaya menduduki kembali Indonesia, sementara di sisi lain meskipun dengan semangat yang tinggi sebagaian besar Tentara Republik tidak memiliki senjata yang memadai, apalagi pejuang umum, mereka pada umumnya mengandalkan senjata rampasan perang yang kadang tak berfungsi karena kehabisan amunisi.Menyadari hal tersebut, pemerintah berupaya membeli dan menyelundupkan senjata untuk dipergunakan tentara dan para pejuang dengan cara menjual kekayaan alam yang berhasil dikumpulkan pemerintah secara sembunyi-sembunyi, meskipun begitu untuk melakukannya tidaklah mudah, karena seluruh jalur pelayaran di Indonesia diblokade Belanda.
Pemenrintah melaui ALRI akhirnya resmi menugaskan Jhon Lie untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis.
Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Oetojo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda.
Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatra seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris.
Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatra, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jasa-jasa besar Jhon Lie dalam mempertahankan kemerdekaan diganjar penghargaan oleh pemerintah, pada pada 10 Nopember 1995, Presiden Soeharto menganugerahinya Bintang Mahaputera Adipradana dan pada 9 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Jhon Lie wafat pada 27 Agustus 1988.
Penulis: Bung Fei
Daftar Pustaka.
[1]M. Nursam. 2008. Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie . Yogyakarta: Ombak[2]Onghokham. 2009. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu
[3]Eddie Lembong, 2008. “John Lee: Menyelundup Senjata Untuk Negara dan Bangsa,” dalam Eddie Kusumah, Rumusan Seminar Kebangsaan: Mengungkap Persitiwa Sejarah Peran Pejuang Suku Tionghoa Dalam Membela Negara dan Bangsa. Jakarta: Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia (SAKTI)
[4]Jozef A. Warouw, 1999. KRIS 45 Berjuang Membela Negara: Sebuah Refleksi Perjuangan Revolusi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Posting Komentar untuk "John Lie Sang Penyelundup Senjata Republik"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.