Tan Malaka Menjadi Guru
Setelah kuliah dari Belanda yang menghabiskan waktu hingga 6 tahun lamanya sang revolusionerpun bertolak dari Belanda ke Deli, Medan untuk menjadi guru dan meluapkan ilmunya yang Tan dapat dari pendidikanya di Belanda. Di Deli Tan Malaka mengajar anak-anak kuli perkebunan dari tahun 1919-1921.
Mengapa harus di Deli ?, kuliah jauh-jauh hingga ke negeri orang hanya untuk mengajar kuli kebun?!. Ternyata hal itu semua ada sebabnya yang membuat Tan tergugah hatinya untuk mengajar disana.
Dikutip dalam karya Tan Malaka yang bertajuk “dari penjara ke penjara” mengisahkan bahwa Deli adalah sebuah Goudland (tanah emas) yang menjadi surga bagi para kaum Imperalis, Kapitalis Belanda dan neraka bagi kaum pribumi-proletar.
Deli adalah daerah yang memiliki tanah yang sangat subur dan sejuta kejutan yang menguntungkan, tak hanya itu saja keuntungan yang didapatkan kaum kapitalis, sebab bagian perbatasan Deli dengan Aceh juga tersimpan sumber minyak bumi yang berpusat di pangkalan Brandan, pangkalan susu dan perlak, kemudian di perbatasan Deli dengan Jambi terdapat tambang biji besi dan dideli sendiri terdapat tambang timah sebagaimana yang ada di Bangka, Belitung dan Jambi.
Kekayaan inilah yang membuat Deli disebut Tanah emas oleh Belanda. Bagi dunia rakyat Indonesia dikenal orang yang paling lemah dan ramah menjadikan Indonesia sangat mudah untuk dijajah.
Rakyat Deli diperas dan dijadikan kuli kerja paksa dengan upah yang hanya cukup untuk menganjal perut lapar dan menutupi punggung saat kepanasan.
Kondisi yang menyedihkan inilah yang melatarbelakangi Tan Malaka mau mengajar di Deli dengan tujuan menciptakan perubahan, selain itu Tan Malaka juga melakukan pengamatan-pengamatan kecil setiap harinya di Deli tentang dampak dan sistem jajahanya.
Menurut Tan Malaka kaum borjuis di Deli terbagi menjadi tiga segmen, segmen pertama adalah kelompok kapitalis dan Borjuis yang berasal dari bangsa Eropa-Amerika, jelas termasuk warga Belanda.
Segmen kedua adalah kelompok kapitalis borjuis dari kalangan Tionghoa, sementara segmen ketiga adalah kelompok kapitalis borjuis dari kalangan pribumi.
Sementara itu dipucuk kelas borjuis Eropa pemimpin besar kuli kontrak digelari maskapai atau direktur dalam istilah Belandanya. Adapun warga pribumi yang menduduki jabatan agak tinggi diberi julukan tuan besar atau administrateur disamping tuan besar ada juga tuan kecil yang disebut sebagai asisten. Semua golongan kaum borjuis itu memiliki gaji yang fantastis dengan kerjaan yang bisanya hanya menghardik dan berlagak layaknya yang punya tanah.
Sedangkan kelas kuli menempati kelas yang paling rendah dengan gaji yang paling sedikit, padahal jika dilihat semuanya dilakukan oleh kaum kuli namun yang mendapatkan hasil terbesar malah sang bos numpang dengan modal ancaman. kata Tan Malaka para kaum porletar sudah harus bangun pukul 04.00 pagi untuk stand by bekerja dikebun jajahan, kondisi itu berbalik dengan para tuan-tuan Belanda yang masih tertidur lelap bersama para selirnya. Kaum kuli diperkerjakan setiap harinya 8 atau 12 jam dengan upah f0,4 sehari.
Selain itu ada hal yang sangat menarik dilakukan Belanda agar kaum pribumi makin terjebak dan tergantung terhadap dirinya, para kaum Belanda menciptakan permainan yang sangat membuat ketagihan para kaum pribumi yaitu permainan judi.
Permainan ini sengaja dibuat sedesain mungkin agar kaum pribumi terperangkap dengan menghabiskan upahnya yang kecil itu untuk bermain judi dan membuat kaum kuli tersebut ketagihan dan membuat uangnya habis, setelah ketagihan kaum Belanda juga mengizinkan mereka berhutang agar kaum kuli semakin ketergantungan dengan mereka dengan bekerja terus sama mereka dan ketika kontrak habis mereka akan minta memperpanjang dan disaat inilah para kaum Borjuis mengurangi upahnya, dengan sangat terpaksa karena ada beban hutang membuat kaum kuli mengambilnya, anehnya lagi para kaum kuli sama sekali tidak kapok sebab seterusnya seperti itu membuat kaum kuli semakin miskin dan bodoh.
Ditulis Oleh : Ansia Anggraeni Saldin.
Mengapa harus di Deli ?, kuliah jauh-jauh hingga ke negeri orang hanya untuk mengajar kuli kebun?!. Ternyata hal itu semua ada sebabnya yang membuat Tan tergugah hatinya untuk mengajar disana.
Dikutip dalam karya Tan Malaka yang bertajuk “dari penjara ke penjara” mengisahkan bahwa Deli adalah sebuah Goudland (tanah emas) yang menjadi surga bagi para kaum Imperalis, Kapitalis Belanda dan neraka bagi kaum pribumi-proletar.
Deli adalah daerah yang memiliki tanah yang sangat subur dan sejuta kejutan yang menguntungkan, tak hanya itu saja keuntungan yang didapatkan kaum kapitalis, sebab bagian perbatasan Deli dengan Aceh juga tersimpan sumber minyak bumi yang berpusat di pangkalan Brandan, pangkalan susu dan perlak, kemudian di perbatasan Deli dengan Jambi terdapat tambang biji besi dan dideli sendiri terdapat tambang timah sebagaimana yang ada di Bangka, Belitung dan Jambi.
Kekayaan inilah yang membuat Deli disebut Tanah emas oleh Belanda. Bagi dunia rakyat Indonesia dikenal orang yang paling lemah dan ramah menjadikan Indonesia sangat mudah untuk dijajah.
Rakyat Deli diperas dan dijadikan kuli kerja paksa dengan upah yang hanya cukup untuk menganjal perut lapar dan menutupi punggung saat kepanasan.
Kondisi yang menyedihkan inilah yang melatarbelakangi Tan Malaka mau mengajar di Deli dengan tujuan menciptakan perubahan, selain itu Tan Malaka juga melakukan pengamatan-pengamatan kecil setiap harinya di Deli tentang dampak dan sistem jajahanya.
Menurut Tan Malaka kaum borjuis di Deli terbagi menjadi tiga segmen, segmen pertama adalah kelompok kapitalis dan Borjuis yang berasal dari bangsa Eropa-Amerika, jelas termasuk warga Belanda.
Segmen kedua adalah kelompok kapitalis borjuis dari kalangan Tionghoa, sementara segmen ketiga adalah kelompok kapitalis borjuis dari kalangan pribumi.
Sementara itu dipucuk kelas borjuis Eropa pemimpin besar kuli kontrak digelari maskapai atau direktur dalam istilah Belandanya. Adapun warga pribumi yang menduduki jabatan agak tinggi diberi julukan tuan besar atau administrateur disamping tuan besar ada juga tuan kecil yang disebut sebagai asisten. Semua golongan kaum borjuis itu memiliki gaji yang fantastis dengan kerjaan yang bisanya hanya menghardik dan berlagak layaknya yang punya tanah.
Sedangkan kelas kuli menempati kelas yang paling rendah dengan gaji yang paling sedikit, padahal jika dilihat semuanya dilakukan oleh kaum kuli namun yang mendapatkan hasil terbesar malah sang bos numpang dengan modal ancaman. kata Tan Malaka para kaum porletar sudah harus bangun pukul 04.00 pagi untuk stand by bekerja dikebun jajahan, kondisi itu berbalik dengan para tuan-tuan Belanda yang masih tertidur lelap bersama para selirnya. Kaum kuli diperkerjakan setiap harinya 8 atau 12 jam dengan upah f0,4 sehari.
Selain itu ada hal yang sangat menarik dilakukan Belanda agar kaum pribumi makin terjebak dan tergantung terhadap dirinya, para kaum Belanda menciptakan permainan yang sangat membuat ketagihan para kaum pribumi yaitu permainan judi.
Permainan ini sengaja dibuat sedesain mungkin agar kaum pribumi terperangkap dengan menghabiskan upahnya yang kecil itu untuk bermain judi dan membuat kaum kuli tersebut ketagihan dan membuat uangnya habis, setelah ketagihan kaum Belanda juga mengizinkan mereka berhutang agar kaum kuli semakin ketergantungan dengan mereka dengan bekerja terus sama mereka dan ketika kontrak habis mereka akan minta memperpanjang dan disaat inilah para kaum Borjuis mengurangi upahnya, dengan sangat terpaksa karena ada beban hutang membuat kaum kuli mengambilnya, anehnya lagi para kaum kuli sama sekali tidak kapok sebab seterusnya seperti itu membuat kaum kuli semakin miskin dan bodoh.
Ditulis Oleh : Ansia Anggraeni Saldin.
Posting Komentar untuk "Tan Malaka Menjadi Guru"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.