Akhir Perang Cirebon Vs Pajajaran
Pada awal abad ke 16 kondisi politik di Pulau Jawa berubah drastis, Dominasi Majapahit di bagian timur Jawa anjlok karena tergusur oleh Kesultanan Demak yang sedang naik pamor, di sisi lain bangasa Portugis berhasil menaklukan Kesultanan Malaka, wilayah barat Nusantara yang cukup strategis.
Pada masa ini, Kerajaan Pajajaran di rundung dilema politik, meski hingga tahun 1520 Pajajaran termasuk kerajaan yang tebilang kuat, kerajaan ini akhirnya memutuskan untuk bersekutu dengan Portugis ketimbang dengan Demak.
Pilihan tersebut jatuh karena kegiatan ekonomi Pajajaran bertumpu pada ekspor impor bahan pertanian melalui wilayah barat Nusantara yang kala itu sudah dikuasai Portugis. Oleh karena itu Pajajaran akhirnya memutuskan mengikat perjanjian dengan Portugis dalam rangka mencari keuntungan.
Pada masa ini, Kerajaan Pajajaran di rundung dilema politik, meski hingga tahun 1520 Pajajaran termasuk kerajaan yang tebilang kuat, kerajaan ini akhirnya memutuskan untuk bersekutu dengan Portugis ketimbang dengan Demak.
Pilihan tersebut jatuh karena kegiatan ekonomi Pajajaran bertumpu pada ekspor impor bahan pertanian melalui wilayah barat Nusantara yang kala itu sudah dikuasai Portugis. Oleh karena itu Pajajaran akhirnya memutuskan mengikat perjanjian dengan Portugis dalam rangka mencari keuntungan.
Persekutuan Pajajaran dan Portugis membuat gerah pihak Demak, mengingat selama bercokol di Nusantara Portugis dianggap merugikan kepentingan Demak dan dianggap juga sebagai negara yang anti Islam, oleh karena itulah Demak bersama Cirebon akhirnya memilih jalan perang melawan Pajajaran mengamankan pulau Jawa dari Portugis.
Selepas Prabu Siliwangi wafat, Pajajaran di bawah Raja Surawisesa baru bisa melaksanakan perjanjian persekutuan dengan Portugis yang sudah digagas ayahnya sejak 1513. Pada zaman ini Cirebon bersma Demak mulai bergerak, keduanya takut nasib kota-kota Pesisir Jawa akan di jajah Portugis sebagaimana Maluku, Pasai dan Malaka.
Cirebon bersama Demak selanjutnya bergerak mendahului, melakukan Invasi di wilayah Kerajaan Pajajaran dengan cara merebut Banten dan Sunda Kalapa (Jakarta) serta mengusir orang-orang Portugis dari Sunda Kalapa.
Invasi Cirebon atas Banten dan Sunda Kelapa membuat hubungan Cirebon-Pajajaran Putus, Perang pun kemudian berkecamuk merembet ke mana-mana.
Kerajaan Galuh, Rajagaluh dan Talaga sebagai benteng Kerajaan Pajajaran dibagian timur yang berbatasan dengan Cirebon dapat ditaklukan Cirebon pada tahun 1528-1530, selanjutnya kerajaan Rajagaluh da Talaga menjadi bawahan Kerajaan Cirebon.
Kemenagan Cirebon di wilayah timur Kerajaan Pajajaran telah memperluas kekuasaan Sunan Gunung Jati. Sementara disisi lain Sumedang masuk ke wilayah kekuasaan Cirebon, ditempuh dengan jalan damai, melalui jalinan perkawinan kerabat Keraton Cirebon dengan Sumedanglarang. Sebagai tanda kekerabatan, Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang) berjodoh dengan Ratu Satyasih, penguasa Sumedanglarang yang bergelar Pucuk Umun Sumedanglarang.
Pangeran Santri, sebelum bergelar Ki Gedeng Sumedang, ia adalah putera Pangeran Muhamad (Pangeran Palakaran), cucu Pangeran Panjunan Cirebon.
Keberadaan tersebut cukup memuaskan hati Sunan Gunung Jati Cirebon, sehingga hasratnya untuk merebut Pakuan Pajajaran menjadi berkurang.
Takluknya Galuh, Rajagaluh, Talaga dan masuk Islamnya Sumedang membuat Prabu Surawisesa Pajajaran terpukul, oleh karena itu Prabu Surawisesa sebagai penguasa pusat di Pakuan, hanya dapat mempertahankan wilayah inti warisan Sri Baduga Maharaja.
Perang 15 kali dengan Cirebon dan berlangsung selama 5 tahun menyebabkan kerugian besar bagi Pajajaran, keadaan semacam itu akhirnya mendorong Prabu Surawisesa untuk mengukuhkan wilayah yang masih tersisa.
Prabu Surawisesa akhirnya mengirimkan utusan kepada Sunan Gunung Jati menyampaikan surat ajakan damai.
Ternyata usul Prabu Surawisesa diterima dengan tulus oleh Sunan Gunung Jati. Pada tanggal 14 paro-terang bulan Asadha tahun 1453 Saka atau 12 Juni 1531 Masehi, perjanjian damai antara Pajajaran-Cirebon disepakati. Dalam Perjanjian itu berisi:
"Kedua-belah pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, tidak saling menyerang, silih asih.Kedua-belah pihak mengakui sederajat dan bersaudara sebagai sesama ahli waris (seuweu-siwi) Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), sedarah janganlah putus". Peristiwa tersebut ditulis dalam Koropak 406 Carita Parahiyangan.
Baca Juga: Pemberontakan 16 Kerajaan Bawahan Pajajaran
Editor: Sejarah Cirebon
Prabu Siliwangi itu kan dinyatakan yg sebenarnyah menghilang ,menghilangkan jejak klo bahasa Sunda nyah (tilem)bukan wafat ,gaada yg tau jasad prabu Siliwangi atau makamnyah
BalasHapus