Belajar dari Pangeran Cakrabuana Soal Kisruh Perebutan Tahta di Cirebon
Kisruh tahta di Kesultanan Cirebon dan beberapa pecahannya memang menjadi masalah memalukan yang sebetulnya tidak perlu dibesar-besarkan. Baru-baru ini, selepas mangkatnya Sultan Kasepuhan XIV, Putra Mahkota yang sedianya siap dilantik menjadi Sultan selanjutnnya digoyang oleh individu dan kelompok tertentu yang mengaku sebagai Pewaris Sah Kesultanan.
Mereka mengaku sebagai keturunan dari Sultan Matangaji atau Sultan Kasepuhan V yang dahulu disingkirkan Belanda dengan bantuan Ki Muda. Bagi kelompok ini, mulai dari mangkatnya Sultan Matangaji, Kasepuhan diprintah oleh orang-orang yang bukan keturunan sah, menyalahi adat istiadat keraton.
Baca Juga: Ki Muda, Sultan Kasepuhan Cirebon Ke VI
Disisi lain, pihak yang selama ini menjadi para Sultan dan calon Sultan Kasepuhan yang telah merawat adat istiadat dan kebesaran Kesultanan Kasepuhan Cirebon selama berabad-abad membantah tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. Menurut kelompok ini, mereka juga adalah pewaris sah, karena merupakan Keturunan Sunan Gunung Jati meskipun datang dari jalur yang berbeda dengan Sultan Matangaji.
Menentukan kelompok mana yang benar dari keduanya tentu bukan perkara mudah, apalagi kisruh soal tahta di Kasepuhan ini dikaitkan dengan peristiwa 234 tahun yang lalu, yaitu peristiwa mangkatnya Sultan Matangaji pada tahun 1786 Masehi.
Bagi kedua belah pihak, hendaknya menahan diri, biarlah adat istiadat Cirebon yang telah dijaga oleh para Sultan Kasepuhan hingga hari ini berjalan dengan semestinya, menuntut hak katas peristiwa 234 tahun yang lalu jelas sudah tidak logis lagi, sebab zaman sudah berubah. Meskipun begitu, penulis juga menyadari bahwa bagi pihak yang menuntut, tentunya tuntutannnya itu dianggap logis dan perlu. Tapi tujuan apa sehinga hal tersebut perlu dibesar-besarkan lagi?
Jika tujuannya ingin membesarkan Cirebon serta menysiarkan Islam, bukankah lebih baiknya pihak yang merasa berhak itu mencontoh Pangeran Cakrabuana ?.
Sang Pangeran dua kali meletakan tahta, meskipun secara sah ia berhak menjadi Raja. Beliau adalah Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran, rela melepaskan tahta kepada adik tirinya Prabu Surawisesa, demi kebaikan negara.
Selain itu, beliau juga rela melepaskan tahta sebagai Raja Cirebon dan menyerahkannya kepada keponakannya Sunan Gunung Jati, padahal disisi lain beliau mempunyai anak lak-laki yang sebetulnya berhak atas tahta.
Agakanya, jika kedua belah pihak belajar dari Pangeran Cakrabuana, kedepannya tidak akan ada lagi kisruh perebutan tahta di Cirebon yang sebetulnya amat memalukan.
Baca Juga: Kisah Pilu Dibalik Wafatnya Sultan Matangaji Cirebon
Oleh: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Mereka mengaku sebagai keturunan dari Sultan Matangaji atau Sultan Kasepuhan V yang dahulu disingkirkan Belanda dengan bantuan Ki Muda. Bagi kelompok ini, mulai dari mangkatnya Sultan Matangaji, Kasepuhan diprintah oleh orang-orang yang bukan keturunan sah, menyalahi adat istiadat keraton.
Baca Juga: Ki Muda, Sultan Kasepuhan Cirebon Ke VI
Disisi lain, pihak yang selama ini menjadi para Sultan dan calon Sultan Kasepuhan yang telah merawat adat istiadat dan kebesaran Kesultanan Kasepuhan Cirebon selama berabad-abad membantah tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. Menurut kelompok ini, mereka juga adalah pewaris sah, karena merupakan Keturunan Sunan Gunung Jati meskipun datang dari jalur yang berbeda dengan Sultan Matangaji.
Menentukan kelompok mana yang benar dari keduanya tentu bukan perkara mudah, apalagi kisruh soal tahta di Kasepuhan ini dikaitkan dengan peristiwa 234 tahun yang lalu, yaitu peristiwa mangkatnya Sultan Matangaji pada tahun 1786 Masehi.
Bagi kedua belah pihak, hendaknya menahan diri, biarlah adat istiadat Cirebon yang telah dijaga oleh para Sultan Kasepuhan hingga hari ini berjalan dengan semestinya, menuntut hak katas peristiwa 234 tahun yang lalu jelas sudah tidak logis lagi, sebab zaman sudah berubah. Meskipun begitu, penulis juga menyadari bahwa bagi pihak yang menuntut, tentunya tuntutannnya itu dianggap logis dan perlu. Tapi tujuan apa sehinga hal tersebut perlu dibesar-besarkan lagi?
Jika tujuannya ingin membesarkan Cirebon serta menysiarkan Islam, bukankah lebih baiknya pihak yang merasa berhak itu mencontoh Pangeran Cakrabuana ?.
Sang Pangeran dua kali meletakan tahta, meskipun secara sah ia berhak menjadi Raja. Beliau adalah Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran, rela melepaskan tahta kepada adik tirinya Prabu Surawisesa, demi kebaikan negara.
Selain itu, beliau juga rela melepaskan tahta sebagai Raja Cirebon dan menyerahkannya kepada keponakannya Sunan Gunung Jati, padahal disisi lain beliau mempunyai anak lak-laki yang sebetulnya berhak atas tahta.
Agakanya, jika kedua belah pihak belajar dari Pangeran Cakrabuana, kedepannya tidak akan ada lagi kisruh perebutan tahta di Cirebon yang sebetulnya amat memalukan.
Baca Juga: Kisah Pilu Dibalik Wafatnya Sultan Matangaji Cirebon
Oleh: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon
Posting Komentar untuk "Belajar dari Pangeran Cakrabuana Soal Kisruh Perebutan Tahta di Cirebon"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.