Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ki Muda, Sultan Kasepuhan Cirebon ke VI

Baru-baru ini, nama Ki Muda kembali disebut-sebut dan diberitakan dalam beberapa media lokal Cirebon maupun nasional yang membahas seputar protes dari pihak-pihak tertentu atas rencana naik tahtanya Putra Mahkota Kesultanan Kasepuhan Cirebon selepas mangkatnya Sultan Arif Natadiningrat (Sultan Sepuh XIV).

Bagi pihak yang memprotes, mereka berpendapat bahwa mulai dari mangkatnya Sultan Matangaji (Sultan Sepuh V), Sultan-sultan setelahnya termasuk Sultan sepuh XIV dan Putra Mahkota yang direncanakan akan naik tahta dianggap tidak berhak atas tahta, karena keturunan dari Ki Muda, bukan keturunan Sultan Matangaji dan keturunan Sunan Gunung Jati.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah siapa Ki Muda itu ? dan mengapa beliau naik tahta menggantikan kedudukan Sultan Matangaji padahal dianggap bukan orang yang berhak atas tahta?

Mengutip pendapat Fiolog Raffan S Hisyam, Tribunnews (7/8/20) pada artikel “Filolog Cirebon Ungkap Silsilah Keraton Kasepuhan Melenceng Setelah Masa Sultan Sepuh V” memberitakan bahwa; "Ki Muda adalah paman Sultan Matangaji dari garis ibunya yang berasal dari Talaga (Majalengka). Ki Muda menurut berita ini juga sebagai tokoh yang membunuh Sultan Matangaji dan kemudian menduduki jabatan Sultan Kasepuhan ke VI".
Berbeda dengan pendapatnya pada berita Tribunnews (7/8/20) Raffan S Hisyam yang juga bernama Opan Safari dalam artikel “Kisah Terbunuhnya Sultan Matangaji di Pintu Ukir Kasepuhan” sebagaimana diberitakan Radarcirebon (1/8/18) menyebutkan bahwa; "Ki Muda adalah adik Ipar Sultan Matangaji, yang juga kelak menjadi Sultan Kasepuhan ke VI selepas wafatnya Sultan Matangaji".

Mengamati berubah-ubahnya pendapat Fiolog Cirebon di atas, jelas mengindikasikan asal-usul Ki Muda di kalangan Fiolog sendiri masih misteri, sebab pada tahun 2018 Raffan S Hisyam menyatakan Ki Muda sebagai adik ipar Sultan Matangaji, sementara pada tahun 2020 ia menyatakan sebagai paman dari Sultan Matangaji.

Ketidak konsistenan pendapat ahli naksah kuno di atas, tentu sesuatu hal yang wajar dalam dinamika keilmuan, ada kemungkinan sumber sejarah yang dijadikan rujukan/bacaan oleh yang bersangkutan bertambah dari yang semula hanya membaca satu versi saja kemudian berkembang menjadi banyak versi sehingga kesimpulan pendapat yang terbaru berbeda dengan pendapat sebelumnya. Atau juga mungkin karena ada kekeliruan penyampaian kepada wartawan atau bisa jadi adanya kesalahan pada penulisan berita oleh wartawan.

Catatannya, kalaupun benar Ki Muda itu adalah paman ataupun adik ipar dari Sultan ke V, secara tidak langsung Ki Muda dianggap tidak berhak atas tahta, karena dalam catatan lain, Raffan S Hisyam dalam artikel yang diberitakan Tribunnews yang sama menyebutkan "Sultan Matangaji mempunyai adik yang bernama Pangeran Suryanegara, tokoh inilah yang kemudian dianggap sebagai tokoh yang paling berhak atas tahta apabila Sultan Matangaji mangkat, bukan Ki Muda".

Masalah selanjutnya adalah apakah betul selain tidak berhak atas tahta Ki Muda juga bukan keturunan Sunan Gunung Jati dan tidak mempunyai seorang anak, sehingga tahta harus diserahkan kepada adiknya Pangeran Suryanegara.? hal inilah yang perlu ditelusuri.

Asal-usul dan siapa sebenarnya Ki Muda sebetulnya selain dipaparkan oleh Fiolog Cirebon yang telah disebutkan di atas, juga tercatat dalam Naskah Mertasinga. Hanya saja isinya jauh berbeda dengan pendapat Fiolog tersebut.

Menurut Naskah Mertasinga, pengganti Sultan Matangaji adalah Sultan Muda, beliau merupakan adik kandung Sultan yang telah mangkat. Berikut ini uraian teks terjamahan naskah Mertasinga yang di dalamnya menyinggung tentang wafatnya Sultan Matangaji dan penggantinya;

Dikisahkan di Kasepuhan, Sultan Jaenudin wafat dan digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Sepuh Matangaji, Sultan mengajarkan ajaran Mahayekti. Akan tetapi ternyata dia tidak berhasil mencapai ilmunya sehingga menjadi terganggu akalnya. Banyak abdinya yang dibunuh sebagai akibat dari keadaan jiawanya itu. Karena keadaan Sultan Matangaji yang seperti itu maka di Keraton kemudian ditunjuk penggantinya yaitu adiknya yang kemudian dinobatkan dengan gelar Sultan Muda Kasepuhan. Adapun Sultan Matangaji diasingkan dan kemudian mati Syahid dengan sempurna. Dia meninggal sesuai dengan hukum. Hukum dari pengadilan yang maha suci”. (Wahju, 2005: 209)

Memahami teks naskah Mertasinga di atas, didalamnya jelas menyinggung tokoh pengganti Sultan Sepuh V, akan tetapi dengan redaksi nama yang sedikit berbeda, jika Fiolog Cirebon di atas menyebutnya dengan nama Ki Muda, maka dalam naskah Mertasinga disebut sebagai Sultan Muda (Disebut Sultan Muda karena adik kandung dari Sultan V).

Ganjalan selanjutnya adalah betulkah Sultan Muda/Ki Muda adik dari Sultan Matangaji ? serta betulkah Sultan Matangaji diturunkan dari tahta karena gila ? dan apakah juga betul Sultan Matangaji diasingkan dan kemudian dihukum bunuh sehingga menyebabkannya syahid..?. Sekali lagi betul atau tidaknya masih mesteri, mengingat ada beberapa versi seputar asal-usul serta penyebab wafatnya Sultan Matangaji.

Telepas dari versi yang berbeda-beda itu, dalam catatan Wahju (hlm 506), Sultan Muda atau Sultan Sepuh Hasanudin bertahta sebagai Sultan ke VI dari mulai tahun 1786 hingga 1791 Masehi.

Pada tahun 1791 Sultan Muda mangkat, sementara disisi lain anaknya masih berumur 10 tahun, sehingga pemerintahan dijalankan oleh Tumenggung Jayadirdja. Namun entah karena pertimbangan apa, pada tahun yang sama (Beda bulan), anak Sultan Muda, yang bernama Sultan Joharudin naik tahta, dalam catatan ini, beliau naik tahta dari mulai tahun 1791 hingga 1815. Pada saat Kasepuhan diprintah oleh Sultan yang naik tahta belum Baligh inilah terjadi pemberontakan besar di Cirebon yang dipimpin oleh Bagus Rangin (1802-1807).

Memahami uraian dari Fiolog Cirebon dan informasi dalam Naskah Mertasinga di atas, jelas mengindikasikan bahwa asal-usul Ki Muda/Sultan Muda/Sultan Hasanudin masih misteri. Perlu dilakukan kajian mendalam untuk mengurainya.

Baca Juga: Belajar dari Pangeran Cakrabuana Soal Kisruh Perebutan Tahta di Cirebon

Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon

8 komentar untuk "Ki Muda, Sultan Kasepuhan Cirebon ke VI"

  1. Sebaiknya langsung wawancara langsung ke Dr. Raffan Syafari Hasyim alias Dr. Opan. Biar penulis dan editor tidak keder.

    BalasHapus
  2. Rumah Dr. Opan ada di Kedawung.

    BalasHapus
  3. Berani sekali anda mengatakan Kanjeng Sultan matangaji di sebut terganggu kejiwaan nya,, buktinya para turunan nya mengatakan bahwa beliau terbunuh,
    Banyak sejarah dan silsilah turunan KANJENG SINUHWUN TIDAK TERCATAT,,
    Turunan eyang kanjeng sinuhwun itu tersebar di mana" kami ada walau tidak di akui, oleh keluarga kraton ,ga rugi bagi kami yg penting kami tidak mendustai leluhur kami, dan gak penting tahta buat kami yg terpenting beradab dan berakhlak mulia yg telah eyang wariskan ke para turunan nya,,,

    Semuga alloh membuka mana yg benar benar berhak dan mana yg bukan hak nya Alloh akan mengganjar semua itu,,

    BalasHapus
  4. sudah pernah dijelaskan oleh pak opan, bahwa naskah mertasinga yang menyebutkan sultan matangaji gila, adalah fitnah, salah satu strategi membunuh arakter sultan matangaji. Dan alm dr opan juga pernah menyampaikan tentang otentitas naskah mertasinga, artinya, admin sejarah cirebon, kurang menyeluruh dalam mengutip sejarah, terutama kaitan dengan kutipan dari alm dr opan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Disini ada https://beritaonline.sedotwc.co.id/2021/06/kisah-tragis-sultan-cirebon-di-bunuh.html?m=1

      Hapus
  5. Mohon maaf sepertinya pemilik blog sejarah cirebon sepertinya orang keraton dan masih keluarga KI MUDA

    BalasHapus
  6. Mungkin naskah mertasinga ditulis oleh belanda. Mengingat cirebon waktu itu disetir oleh belanda dan untuk menggukingkan sultan MATANGAJI

    BalasHapus
  7. Bukti Ki Muda/Hasanudin bukan Dzuriyah Kanjeng Gusti Sinuhun Sunan Gunung Jati adalah dari keberadaan makamnya. Ki Muda dan sultan kasepuhan lainnya ada di sebelah kanan pelataran pangsujudan di gedung komplek raja Sulaiman, dan berada diluar tembok keliling komplek makam Kanjeng Gusti Sunan Gunung Jati. Pintu Pangsujudan atau Pintu Tiga (sesuai naptu) adalah Pintu Pertama dari 7 (tujuh) Pintu masuk Pusara Kanjeng Gusti Sinuhun Sunan Gunung Jati.

    BalasHapus

Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.