Ringkasan Peristiwa Bandung Lautan Api Disertai Asal-Usul serta Dampaknya
Peritiwa Bandung Lautan Api adalah satu dari sekian banyak peristiwa sejarah, yang mewarnai perjalanan hidup bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa ini begitu menggemparkan Kota Bandung dan sekitarnya, karena rakyat dengan suka rela membakar Kota Bandung daripada harus diduduki oleh penjajah.
Peristiwa Bandung lautan api dimulai dari peristiwa masuknya Pasukan Inggris ke Bandung selepas mengalahkan Jepang dalam perang dunia II. Masuknya Inggris ke Bandung ini disertai tentara Belanda (NICA).
Orang-orang Inggris yang mula-mula datang ke Bandung adalah pasukan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Interness) dipimpin Kapten Gray dan Intercross (Palang Merah Internasional), pasukan inilah yang menjadi awal kedatangan Inggris di kota Bandung. Kedatangan mereka dilanjutkan dengan keluarnya perintah kepada Inggris untuk mengambil alih kekuasaan Indonesia termasuk Kota Bandung dari tangan Jepang.
Tentu saja perintah tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pejuang. Akhirnya, sambutan rakyat Indonesia terhadap Inggris dan NICA penuh dengan caci maki dan serangan-serangan terhadap NICA maupun pasukan Inggris, yang dianggap membantu NICA.
Setelah terjadi gesekan antara para pejuang dan tentara NICA yang membonceng Inggris, dan dalam suasana kepedihan akibat musibah banjir, pada 27 November 1945. Brigjen MacDonald memberikan ultimatum bahwa penduduk pribumi di Bandung Utara, dengan batas rel kereta api, harus pindah ke selatan. Batas ultimatum adalah 29 November 1945. Apabila sampai batas waktu ada penduduk pribumi di utara, mereka akan ditangkap dan pejuang bersenjata akan ditembak mati. MacDonald juga menegaskan bahwa markas RAPWI dan Jepang tidak boleh didekati dalam jarak 200 meter. Jika dilanggar, akan ditembak.
Ultimatum tersebut sama sekali tidak ditanggapi serius oleh rakyat dan para pejuang. Karena ultimatum pertama tetap menimbulkan gangguan bagi Inggris, pada 17 Maret 1946. Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta. Letnan Jenderal Montagu Stophord, memberikan ultimatum kepada PM Sutan Sjahrir supaya memerintahkan pasukan bersenjata RI meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 km (kilometer) dari pusat kota. Hanya pemerintah sipil, polisi, dan penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal.
Di samping itu, pasukan RI tidak boleh melakukan perusakan. Batas ultimatum adalah pada 24 Maret 1946, pukul 24.00. Apabila ultimatum tersebut tidak dilaksanakan. Inggris akan membombardir Bandung Selatan.
Emosi dengan Ulitamtum yang diserukan Inggris, rakyat dan para pejuang melakukan perlawanan, mereka membakar dan meledakan tempat-tempat di Bandung yang akan di duduki Inggris.
Peledakan dan bumi hangus direncanakan sekitar pukul 24.00. Pembumihangusan itu ditandai ledakan pertama pada bangunan di sudut selatan Alun-alun Bandung yaitu Gedung Indische Restaurant (Gedung BRI sekarang). Namun ternyata rencana tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan. Ledakan dinamit pertama dierkirakan terjadi pukul 20.00 di Gedung Indische Restaurant.
Karena belum waktunya meledak, pasukan lainnya menjadi panik. Mereka masih dalam tahap pemasangan dan persiapan pembakaran yang direncanakan dilakukan pukul 24.00. Walaupun tidak sesuai dengan rencana, peledakan tersebut diikuti peledakan dan pembakaran Gedung-gedung dan rumah penduduk.
Pada 24 Maret 1946. Sejak siang hari, penduduk kota Bandung bergerak secara bergelombang meninggalkan kota Bandung. Sebagian besar bergerak dari daerah selatan rel kereta api kearah selatan sejauh 11 km.
Jalan raya besar, sepereti Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), Jalan raya Banjaran (sekarng Jalan Mohamad Toha), Jalan Kopo, dan jalan Buahbatu menjadi jalan utama yang digunakan untuk mengungsi. Pokoknya melewati sungai citarum. Sebagian pengungsi ada yang melalui Cigereleng, terus ke daerah Jalan Raya Banjaran menuju Dayeuhkolot. Di sepanjang jalan cigereleng tampak mayat-mayat orang NICA lehernya berdarah seperti bekas penyembelihan.
Gelombang pengungsian semakin membesar setelah matahari tenggelam di ufuk barat. Tidak semua penduduk mengungsi dari selatan. Ada juga yang mengungsi dari utara, Barat, dan Timur.
“Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah berbicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah. Disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, ‘Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api’. Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air (tertawa, pen.)” (A.H Nasution, 1 Mei 1997). Pada saat pertemuan itu, memang muncul usulan untuk meledakkan “Sang Hyang Tikoro”, terowongan Sungai Citarum di daerah Rajamandala, agar kota Bandung kembali menjadi danau.
Istilah “Bandung Lautan Api” muncul pula di Harian “Suara Merdeka” tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit itu, Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Pemandangan yang sama yang dilihat oleh A.H Nasution bersama Rukana dari daerah Ciparay. “Jadi dengan ledakan itu, saya dengan Rukana naik ke atas, di tempat listrik. Melihat betul-betul dari Cimahi sampai Ujungberung sudah api semua itu.”
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman segera menulis berita dan memberi judul “Bandung Jadi Lautan Api”. Namun, karena kurangnya ruang untuk tulisan judul tersebut, maka judul berita diperpendek menjadi “Bandung Lautan Api”, istilah “Bandung Lautan Api” menjadi semakin terkenal di kalangan penduduk dan pejuang Bandung Selatan.
Dampak lain dari pengosongan kota Bandung adalah terjadinya pengambilalihan tanah dan rumah penduduk yang ditinggalkan ketika mengungsi oleh pihak lain, khususnya oleh antek-antek NICA. Kebanyakan, para “perampas” tersebut dari kalangan entik Cina. Akibatnya, sering terjadi konflik antara pengungsi yang kembali ke kota Bandung dan “perampas” tanah rakyat tersebut. Dampak selanjutnya, menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan, yaitu berupa sikap anti-Cina.
Salah satu aspek penting yang harus di catat dalam peristiwa Bandung Lautan Api adalah kerelaan kaum republikein Bandung mengorbankan harta bendanya, keluar meninggalkan kota. Hal itu merupakan sebuah pengorbanan yang tidak ternilai harganya, demi tegaknya kehormatan dan kedaulatan Republik Rakyat Indonesia.
Peristiwa Bandung lautan api dimulai dari peristiwa masuknya Pasukan Inggris ke Bandung selepas mengalahkan Jepang dalam perang dunia II. Masuknya Inggris ke Bandung ini disertai tentara Belanda (NICA).
Orang-orang Inggris yang mula-mula datang ke Bandung adalah pasukan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Interness) dipimpin Kapten Gray dan Intercross (Palang Merah Internasional), pasukan inilah yang menjadi awal kedatangan Inggris di kota Bandung. Kedatangan mereka dilanjutkan dengan keluarnya perintah kepada Inggris untuk mengambil alih kekuasaan Indonesia termasuk Kota Bandung dari tangan Jepang.
Tentu saja perintah tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pejuang. Akhirnya, sambutan rakyat Indonesia terhadap Inggris dan NICA penuh dengan caci maki dan serangan-serangan terhadap NICA maupun pasukan Inggris, yang dianggap membantu NICA.
Setelah terjadi gesekan antara para pejuang dan tentara NICA yang membonceng Inggris, dan dalam suasana kepedihan akibat musibah banjir, pada 27 November 1945. Brigjen MacDonald memberikan ultimatum bahwa penduduk pribumi di Bandung Utara, dengan batas rel kereta api, harus pindah ke selatan. Batas ultimatum adalah 29 November 1945. Apabila sampai batas waktu ada penduduk pribumi di utara, mereka akan ditangkap dan pejuang bersenjata akan ditembak mati. MacDonald juga menegaskan bahwa markas RAPWI dan Jepang tidak boleh didekati dalam jarak 200 meter. Jika dilanggar, akan ditembak.
Ultimatum tersebut sama sekali tidak ditanggapi serius oleh rakyat dan para pejuang. Karena ultimatum pertama tetap menimbulkan gangguan bagi Inggris, pada 17 Maret 1946. Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta. Letnan Jenderal Montagu Stophord, memberikan ultimatum kepada PM Sutan Sjahrir supaya memerintahkan pasukan bersenjata RI meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 km (kilometer) dari pusat kota. Hanya pemerintah sipil, polisi, dan penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal.
Di samping itu, pasukan RI tidak boleh melakukan perusakan. Batas ultimatum adalah pada 24 Maret 1946, pukul 24.00. Apabila ultimatum tersebut tidak dilaksanakan. Inggris akan membombardir Bandung Selatan.
Emosi dengan Ulitamtum yang diserukan Inggris, rakyat dan para pejuang melakukan perlawanan, mereka membakar dan meledakan tempat-tempat di Bandung yang akan di duduki Inggris.
Peledakan dan bumi hangus direncanakan sekitar pukul 24.00. Pembumihangusan itu ditandai ledakan pertama pada bangunan di sudut selatan Alun-alun Bandung yaitu Gedung Indische Restaurant (Gedung BRI sekarang). Namun ternyata rencana tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan. Ledakan dinamit pertama dierkirakan terjadi pukul 20.00 di Gedung Indische Restaurant.
Karena belum waktunya meledak, pasukan lainnya menjadi panik. Mereka masih dalam tahap pemasangan dan persiapan pembakaran yang direncanakan dilakukan pukul 24.00. Walaupun tidak sesuai dengan rencana, peledakan tersebut diikuti peledakan dan pembakaran Gedung-gedung dan rumah penduduk.
Pada 24 Maret 1946. Sejak siang hari, penduduk kota Bandung bergerak secara bergelombang meninggalkan kota Bandung. Sebagian besar bergerak dari daerah selatan rel kereta api kearah selatan sejauh 11 km.
Jalan raya besar, sepereti Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), Jalan raya Banjaran (sekarng Jalan Mohamad Toha), Jalan Kopo, dan jalan Buahbatu menjadi jalan utama yang digunakan untuk mengungsi. Pokoknya melewati sungai citarum. Sebagian pengungsi ada yang melalui Cigereleng, terus ke daerah Jalan Raya Banjaran menuju Dayeuhkolot. Di sepanjang jalan cigereleng tampak mayat-mayat orang NICA lehernya berdarah seperti bekas penyembelihan.
Gelombang pengungsian semakin membesar setelah matahari tenggelam di ufuk barat. Tidak semua penduduk mengungsi dari selatan. Ada juga yang mengungsi dari utara, Barat, dan Timur.
Asal-usul Istilah Bandung Lautan Api
A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (Jalan Dewi Sartika, sekarang), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sultan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris?“Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah berbicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah. Disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, ‘Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api’. Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air (tertawa, pen.)” (A.H Nasution, 1 Mei 1997). Pada saat pertemuan itu, memang muncul usulan untuk meledakkan “Sang Hyang Tikoro”, terowongan Sungai Citarum di daerah Rajamandala, agar kota Bandung kembali menjadi danau.
Istilah “Bandung Lautan Api” muncul pula di Harian “Suara Merdeka” tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit itu, Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Pemandangan yang sama yang dilihat oleh A.H Nasution bersama Rukana dari daerah Ciparay. “Jadi dengan ledakan itu, saya dengan Rukana naik ke atas, di tempat listrik. Melihat betul-betul dari Cimahi sampai Ujungberung sudah api semua itu.”
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman segera menulis berita dan memberi judul “Bandung Jadi Lautan Api”. Namun, karena kurangnya ruang untuk tulisan judul tersebut, maka judul berita diperpendek menjadi “Bandung Lautan Api”, istilah “Bandung Lautan Api” menjadi semakin terkenal di kalangan penduduk dan pejuang Bandung Selatan.
Dampak Peristiwa Bandung Lautan Api
Terdapat beberpa dampak yang timbul dari peristiwa Bandung Lautan Api terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Dampak ini tidak hanya terhadap kota Bandung, tetapi juga terhadap politik diplomasi tingkat nasional.Dampak lain dari pengosongan kota Bandung adalah terjadinya pengambilalihan tanah dan rumah penduduk yang ditinggalkan ketika mengungsi oleh pihak lain, khususnya oleh antek-antek NICA. Kebanyakan, para “perampas” tersebut dari kalangan entik Cina. Akibatnya, sering terjadi konflik antara pengungsi yang kembali ke kota Bandung dan “perampas” tanah rakyat tersebut. Dampak selanjutnya, menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan, yaitu berupa sikap anti-Cina.
Salah satu aspek penting yang harus di catat dalam peristiwa Bandung Lautan Api adalah kerelaan kaum republikein Bandung mengorbankan harta bendanya, keluar meninggalkan kota. Hal itu merupakan sebuah pengorbanan yang tidak ternilai harganya, demi tegaknya kehormatan dan kedaulatan Republik Rakyat Indonesia.
Heroismerakyay Bandung
BalasHapus