Riwayat Pangeran Alit, Putra Sultan Agung Mataram
Meskipun umurnya lebih muda dari kakak tirinya Amangkurat I, Pangeran Alit adalah Putra Mahkota Kesultan Mataram yang berhak atas tahta, namun karena konsiprasi dan kepandaian Ratu Wetan dalam mempengaruhi Sultan Agung yang kala itu sedang sakit keras, Pangeran Alit akhirnya dihilangkan hak-haknya, bahkan bukan itu saja Pangeran Alit kemudian terbunuh karena tertikam oleh kerisnya sendiri. Peristiwa inilah yang kelak membuat Cirebon menaruh dendam terhadap Rezim Amangkurat I, mengingat ibunda dari Pangeran Alit merupakan Putri dari Raja Cirebon.
Selama hidupnya, Sultan Agung mengangkat dua orang Permaisuri, yang dalam istilah Mataram disebut Ratu Wetan dan Ratu Kulon. Ratu Wetan melahirkan Raden Mas Syayidin (Amangkurat I), sementara Ratu Kulon melahirkan Raden Mas Syahwawrat (Pangeran Alit) yang kelak dinobatkan sebagai Putra Mahkota pengganti dirinya.
Ada beberapa anggapan mengenai sebab-sebab Sultan Agung mengangkat Pangeran Alit menjadi putra mahkota, salah satunya adalah dikarenakan kedudukan Ratu Kulon lebih tinggi dari Ratu Wetan, sebab Ratu Wetan adalah anak seorang Bupati, sementara Ratu Kulon merupakan anak seorang Raja Cirebon, bahkan Panembahan Ratu Cirebon merupakan guru dari Sultan Agung sendiri.
Selain itu, pada masa hidupnya sebenarnya Sultan Agung tidak lagi menaruh bangga terhadap Amangkurat I, mengingat anak tertuanya itu pernah berbuat kejahatan, yaitu membawa lari istri Tumenggung Wiraguna, pejabat kesayangan Sultan Agung.
Baca dalam : Terbunuhnya Tumenggung Wiraguna
Dimasa akhir hidupnya, ketika kondisi kesehatanya semakin terpuruk Sultan Agung terus didekati oleh Ratu Wetan, Ibu Amangkurat I itu dengan segala upaya mempengaruhi suaminya yang sedang sekarat untuk mengeluarkan wasiat agar Raden Syayidin dijadikan putra mahkota dan Raja Mataram selanjutnya menggantikan Pangeran Alit.
Usaha Ratu Wetan untuk merajakan anaknya itu rupanya tidak sia-sia, Pangeran Alit akhinya digeser kedudukannya sebagai Putra Mahkota, Penggeseran kedudukan putra mahkota kemudian mendapatkan persetujuan dari Sultan Agung yang kala itu sudah tidak berdaya di atas pembaringannya.
Selepas kemangkatan Sultan Agung, terjadilah kemudian huru-hara seputar penobatan Raja, para pengikut Pangeran Alit tidak mempercayai wasiat Sultan Agung yang melucuti Pangeran Alit dari tahta, namun perlawanan itu rupanya sudah diantisipasi oleh Ratu Wetan.
Orang-orang yang diidentifikasi sebagai loyalis keluarga Ratu Kulon dan Pangeran Alit, dilucuti dan ditahan. Bahkan ketika Penobatan Amangkurat I menjadi Raja, pelaksanaan penobatan dilakukan dengan cara tertutup, hal itu dilakukan sebagai upaya menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi.
Meskipun merasa dicurangi, Ratu Kulon dan Pangeran Alit menerima dengan lapang pengangkatan Amangkurat I menjadi Raja, namun penerimaan itu hanya berlangsung satu tahun saja, sebab satu tahun selepas penobatan, watak buruk Amangkurat I mulai kelihatan. Ia memerintah dengan semena-mena. Kesemena-menaan Amangkurat I dalam memerintah itulah yang menyebabkan para pengikut Pangeran Alit berontak, salah satunya Tumenggung Pasingsingan.
Tumenggung Pasingsingan bersama anaknya menghasut Pangeran Alit agar mengkudeta kakaknya, mengingat pemerintahan yang dijalankan Amangkurat I dianggap tidak becus, namun rencana pemberontakan rupanya bocor, sehingga Tumenggung Pasingsingan bersama anak dan pengikutnya dihabisi, adapun Pangeran Alit sendiri kemudian wafat tertusuk kerisnya sendiri dalam sebuah keributan di Istana dengan Prajurit Mataram.
Selama hidupnya, Sultan Agung mengangkat dua orang Permaisuri, yang dalam istilah Mataram disebut Ratu Wetan dan Ratu Kulon. Ratu Wetan melahirkan Raden Mas Syayidin (Amangkurat I), sementara Ratu Kulon melahirkan Raden Mas Syahwawrat (Pangeran Alit) yang kelak dinobatkan sebagai Putra Mahkota pengganti dirinya.
Ada beberapa anggapan mengenai sebab-sebab Sultan Agung mengangkat Pangeran Alit menjadi putra mahkota, salah satunya adalah dikarenakan kedudukan Ratu Kulon lebih tinggi dari Ratu Wetan, sebab Ratu Wetan adalah anak seorang Bupati, sementara Ratu Kulon merupakan anak seorang Raja Cirebon, bahkan Panembahan Ratu Cirebon merupakan guru dari Sultan Agung sendiri.
Selain itu, pada masa hidupnya sebenarnya Sultan Agung tidak lagi menaruh bangga terhadap Amangkurat I, mengingat anak tertuanya itu pernah berbuat kejahatan, yaitu membawa lari istri Tumenggung Wiraguna, pejabat kesayangan Sultan Agung.
Baca dalam : Terbunuhnya Tumenggung Wiraguna
Dimasa akhir hidupnya, ketika kondisi kesehatanya semakin terpuruk Sultan Agung terus didekati oleh Ratu Wetan, Ibu Amangkurat I itu dengan segala upaya mempengaruhi suaminya yang sedang sekarat untuk mengeluarkan wasiat agar Raden Syayidin dijadikan putra mahkota dan Raja Mataram selanjutnya menggantikan Pangeran Alit.
Usaha Ratu Wetan untuk merajakan anaknya itu rupanya tidak sia-sia, Pangeran Alit akhinya digeser kedudukannya sebagai Putra Mahkota, Penggeseran kedudukan putra mahkota kemudian mendapatkan persetujuan dari Sultan Agung yang kala itu sudah tidak berdaya di atas pembaringannya.
Selepas kemangkatan Sultan Agung, terjadilah kemudian huru-hara seputar penobatan Raja, para pengikut Pangeran Alit tidak mempercayai wasiat Sultan Agung yang melucuti Pangeran Alit dari tahta, namun perlawanan itu rupanya sudah diantisipasi oleh Ratu Wetan.
Orang-orang yang diidentifikasi sebagai loyalis keluarga Ratu Kulon dan Pangeran Alit, dilucuti dan ditahan. Bahkan ketika Penobatan Amangkurat I menjadi Raja, pelaksanaan penobatan dilakukan dengan cara tertutup, hal itu dilakukan sebagai upaya menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi.
Meskipun merasa dicurangi, Ratu Kulon dan Pangeran Alit menerima dengan lapang pengangkatan Amangkurat I menjadi Raja, namun penerimaan itu hanya berlangsung satu tahun saja, sebab satu tahun selepas penobatan, watak buruk Amangkurat I mulai kelihatan. Ia memerintah dengan semena-mena. Kesemena-menaan Amangkurat I dalam memerintah itulah yang menyebabkan para pengikut Pangeran Alit berontak, salah satunya Tumenggung Pasingsingan.
Tumenggung Pasingsingan bersama anaknya menghasut Pangeran Alit agar mengkudeta kakaknya, mengingat pemerintahan yang dijalankan Amangkurat I dianggap tidak becus, namun rencana pemberontakan rupanya bocor, sehingga Tumenggung Pasingsingan bersama anak dan pengikutnya dihabisi, adapun Pangeran Alit sendiri kemudian wafat tertusuk kerisnya sendiri dalam sebuah keributan di Istana dengan Prajurit Mataram.
Mungkin kalo pangeran alit jadi raja. Mataram mungkin tidak akan terbelah jadi dua
BalasHapusMin boleh tau dimanakah makam pangeran Alit dan Ibunya berada?
BalasHapushalo admin.. boleh tahu di mana makam Pangeran Alit dan Ibu beliau? Sebagai salah satu keturunannya saya ingin ziarah ke makam beliau..
BalasHapusIni hanya pendapat saya pribadi, jika saja raja" kerajaan pada zaman dahulu tidak memperbanyak istri, mungkin perebutan kekuasaan dan perang saudara tidak akan terjadi.
BalasHapus