Sejarah Asal-Usul Aceh, Mulai Dari Asal Nama dan Berdirinya Kesultanan Aceh
Sejarah asal-usul Aceh dalam bahasan ini adalah sejarah bagaimana nama Aceh itu muncul dan sejarah bagaimana asal-usul berdirinya Kesultanan Aceh, sebab asal-usul dari keduanya tidak dapat dipisahkan apabila kita hendak mengetahui asal-usul Aceh.
Aceh sebagai sebuah nama memang secara resmi baru digunakan pada tahun 1496 Masehi, di gunakan untuk menamai Kerajaan Islam yang terletak diujung pulau Sumatra. Kerajaan Islam itu dikenal dengan nama Aceh Darussalam. Meskipun demikian, nama Aceh dipercayai muncul jauh sebelum itu, dalam catatan Ismail Suny (1980) nama Aceh pada mulanya muncul selepas orang-orang daerah itu mengangkat seorang wanita menjadi ratu mereka, wanita ini dikisahkan sebagai wanita terhormat dari India yang kebetulan tersesat dan terdampar di daerah itu.
Catatan Ismail Sunny (1980) mengenai asal mula munculnya nama Aceh itu didasarkan pada legenda yang muncul ditengah-tengah masyarakat Aceh, dalam catatanya itu ia menyatakan bahwa suatu hari ada seorang Putri Hindustan hilang dicari-cari oleh saudaranya hingga sampai kepulau Sumatera.
Sesampainya di daerah yang kini disebut Aceh itu, tiba-tiba saudaranya menjumpai putri itu. Kepada penduduk lalu dijelaskannya bahwa putri tersebut adalah “Aci” nya, yaitu adiknya. Karena putri itu berkelakuan baik dan terhormat, penduduk menyakininnya keturunan bangsawan juga. Atas mufakat pendududk, putri ini diangkat menajdi Ratu (Raja) mereka. Untuk menamai negri yang baru di bangun ini disebut sajalah “Aci”, diambil dari perkataan yang mula-mula diucapkan oleh saudaranya. Demikianlah selanjutnya sebutan “Aci” itu lama kelamaan berubah menjadi “Aceh”.
Selalin versi di atas, rupanya adalagi legenda yang menyebutkan tentang asal-usul munculnya nama Aceh, kali ini legenda itu diungkapkan oleh Mohammad Said (1981), dalam bukunya Said mengungkapkan bahwa nama Aceh bersal dari istilah Hindu “Aca atau Atca” yang mempunyai maksud “Indah”
Berpandangan demikian karena Mohamad Said mendasarkan pendapatnya pada legenda lama yang menyatakan bahwa katanya “Sebuah kapal Gujarat memasuki Sungai Cedah untuk berdagang. Ketika awak kapal turun ke darat dan tiba di kampung Pandai, tiba-tiba datang hujan, maka dengan terburu-buru mereka berlari ke tempat perteduhan dibawah sepohon kayu berdaun rindang.
Sesampainya di daerah yang kini disebut Aceh itu, tiba-tiba saudaranya menjumpai putri itu. Kepada penduduk lalu dijelaskannya bahwa putri tersebut adalah “Aci” nya, yaitu adiknya. Karena putri itu berkelakuan baik dan terhormat, penduduk menyakininnya keturunan bangsawan juga. Atas mufakat pendududk, putri ini diangkat menajdi Ratu (Raja) mereka. Untuk menamai negri yang baru di bangun ini disebut sajalah “Aci”, diambil dari perkataan yang mula-mula diucapkan oleh saudaranya. Demikianlah selanjutnya sebutan “Aci” itu lama kelamaan berubah menjadi “Aceh”.
Selalin versi di atas, rupanya adalagi legenda yang menyebutkan tentang asal-usul munculnya nama Aceh, kali ini legenda itu diungkapkan oleh Mohammad Said (1981), dalam bukunya Said mengungkapkan bahwa nama Aceh bersal dari istilah Hindu “Aca atau Atca” yang mempunyai maksud “Indah”
Berpandangan demikian karena Mohamad Said mendasarkan pendapatnya pada legenda lama yang menyatakan bahwa katanya “Sebuah kapal Gujarat memasuki Sungai Cedah untuk berdagang. Ketika awak kapal turun ke darat dan tiba di kampung Pandai, tiba-tiba datang hujan, maka dengan terburu-buru mereka berlari ke tempat perteduhan dibawah sepohon kayu berdaun rindang.
Merasa lega karena dengan begitu terlindung dari hujan, merekapun berkata Aca, Aca, Aca. Kemudian ketika mereka berada di Pidie, mereka bertemu dengan sebuah perahu dari sungai Cadah. Awak kapal bertanya kepada awak perahu tersebut apakah mereka tadinya singgah di kampong Pandai. Ketika awak perahu menjawab ya, merekapun mengucapkan Aca, Aca, Aca. Akhirnya Aca itu disebut menjadi Aceh”.
Sementara itu selain kedua pendapat yang didasarkan pada legenda rakyat aceh itu, ada juga pendapat yang dihimpun oleh H.M Zainudin (1961), dalam pendapat ini dinyatakan bahwa bahwa Suku Aceh termasuk dalam rumpun bangsa melayu, yaitu Mante (Bante), Lanun, Sakai, Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus, Gangga, dan India.
Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khusunya di Kampung Seumileuk yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimun, antara Jantho dan Tangse.
Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sangoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut perpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut “Aceh” dengan sebutan Rami (Ramni). OrangTiongkok menyebutnya Lanli, Lan-wu-li dan Nanpoli yang sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri, sementara orang Melayu menyebutnya Lambri (Lamiri).
Dalam pendapat yang dihimpun oleh H.M Zainudin di atas memang tidak menyebutkan mengnai asal-usul terbentuknya nama Aceh, ia hanya memaparkan asal-usul Suku Aceh meskipun demikian pendapat ini sepertinya justru melegitimasi kedua legenda yang ada, bahwa asal-usul suku Aceh tidak terlepas dari orang-orang Hindu India yang datang diwilayah itu.
Baca Juga: Muhamad Syarif Penncetus pasukan Marsose Belanda
Sementara itu selain kedua pendapat yang didasarkan pada legenda rakyat aceh itu, ada juga pendapat yang dihimpun oleh H.M Zainudin (1961), dalam pendapat ini dinyatakan bahwa bahwa Suku Aceh termasuk dalam rumpun bangsa melayu, yaitu Mante (Bante), Lanun, Sakai, Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus, Gangga, dan India.
Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khusunya di Kampung Seumileuk yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimun, antara Jantho dan Tangse.
Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sangoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut perpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut “Aceh” dengan sebutan Rami (Ramni). OrangTiongkok menyebutnya Lanli, Lan-wu-li dan Nanpoli yang sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri, sementara orang Melayu menyebutnya Lambri (Lamiri).
Dalam pendapat yang dihimpun oleh H.M Zainudin di atas memang tidak menyebutkan mengnai asal-usul terbentuknya nama Aceh, ia hanya memaparkan asal-usul Suku Aceh meskipun demikian pendapat ini sepertinya justru melegitimasi kedua legenda yang ada, bahwa asal-usul suku Aceh tidak terlepas dari orang-orang Hindu India yang datang diwilayah itu.
Baca Juga: Muhamad Syarif Penncetus pasukan Marsose Belanda
Asal-Usul Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam mulanya adalah Kerajaan Hindu yang bernama Indra Purba, kerajan tersebut berubah statusnya menjadi kesultanan dengan nama Darussalam untuk kemudian diubah lagi menjadi Aceh Darusalam dilatar belakangi oleh serangan dari kerajan Cina.
Kerajaan Indra Purba beribu kota di Lamuri. Pada tahun 450-460 H (1059-1069 M) tentara Cina yang sebelumnya telah menduduki Kerjaan Indra Jaya (daerah Leupung), melanjutkan invasinya ke Kerajaan Indra Purba yang pada masa itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti.
Saat terjadinya invasi, Kesultanan Peureulak mengirim 300 tentara untuk membantu Kerajaan Indra Purba. Pasukan Peurlak dibawah pimpinan Syekh Abdullah Kan’an yang bergelar “Syiah Hudan” beliau merupakan keturunan Arab dari daerah Kan’an dan di antara pasukan Peurlak terdapat seorang pemuda yang bernama Meurah Johan putra dari Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yaitu Raja dari Negeri Lingga.
Bantuaan Kesultanan Peureulak berhasil menggagalkan invasi Kerajaan Cina, maka mulai selepas itu Raja Indrapurba sangat berterimakasih pada Kesultanan Peureulak, ia memutuskan masuk Islam di ikuti dengan seluruh rakyatnya, selain itu Maharaja Indra Sakti juga mengawinkan anak perempuannya Putri Blieng Indra Kesumawati dengan Meurah Johan.
Setelah Raja Maharaja Indra Sakti mangkat, maka diangkatlah menantunya menjadi Raja dengan gelar "Sultan Alaiddin Johan Shah". Kemudian Kerajaan Indra Purba dijadikan Kerajaan Islam dengan nama "Kesultanan Darussalam" yang beribu kota di Tei sungai Kuala Naga (Krueng Aceh), Ibu Kota Kessultanan dinamai Bandar Darussalam.
Nama Darussalam terus digunakan hingga pada masa sultan ke 10, akan tetapi selepas itu, yaitu ketika Kesultanan Darussalam diperintah oleh Sultan ke 11, yaitu Sultan Aliddin Ali Mughayat Shah yang menjabat pada tahun 916-936 H (1511-1530 M), nama Darussalam diubah menjadi Aceh Darussalam.
Diubahnya Darussalam menjadi Aceh Darussalam karena kerajaan kecil di sekitar wilayah Aceh sudah disatukan dengan Kesultanan Darussalam. Kerajaan-kerajan kecil yang disatukan itu meliputi negeri-negeri yang berada di wilayah utara pulau Sumatra.
Pada awalnya, wilayah Kesultanan Aceh hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh Syamsu Shah, ayah dari Sultan Ali Mughayat Shah. Ketika orang-orang Portugis mulai datang ke Malaka, status politik Aceh kala itu hanya bawahan dari Kesultanan Pedir, akan tetapi Aceh kemudian melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Pedir berkat perjuangan Sultan Ali Mughayat Shah.
Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kesultanan-kesultanan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir Timur Sumatera seperti Peurelak (Aceh Timur), Pedir (Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru ( Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Potugis. Karena Ali Mughayat Shah dikenal sangat anti kepada Potugis maka ia memutuskan untuk lepas dari Pedir, selanjutnya untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ditaklukkannya dan dimasukkan ke dalam wilayah Kesultanannya, sejak saat itu Kesultanan Aceh menjadi Kesultanan yang lebih besar dan lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam.
[8]Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: PT. Percetakan Dan Penerbitan Waspada,1981), Jilid 1, hlm.139-140
[9]H.M Zainudin, Tarich Atjeh Dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), Jilid 1, hlm. 23
Kerajaan Indra Purba beribu kota di Lamuri. Pada tahun 450-460 H (1059-1069 M) tentara Cina yang sebelumnya telah menduduki Kerjaan Indra Jaya (daerah Leupung), melanjutkan invasinya ke Kerajaan Indra Purba yang pada masa itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti.
Saat terjadinya invasi, Kesultanan Peureulak mengirim 300 tentara untuk membantu Kerajaan Indra Purba. Pasukan Peurlak dibawah pimpinan Syekh Abdullah Kan’an yang bergelar “Syiah Hudan” beliau merupakan keturunan Arab dari daerah Kan’an dan di antara pasukan Peurlak terdapat seorang pemuda yang bernama Meurah Johan putra dari Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yaitu Raja dari Negeri Lingga.
Bantuaan Kesultanan Peureulak berhasil menggagalkan invasi Kerajaan Cina, maka mulai selepas itu Raja Indrapurba sangat berterimakasih pada Kesultanan Peureulak, ia memutuskan masuk Islam di ikuti dengan seluruh rakyatnya, selain itu Maharaja Indra Sakti juga mengawinkan anak perempuannya Putri Blieng Indra Kesumawati dengan Meurah Johan.
Setelah Raja Maharaja Indra Sakti mangkat, maka diangkatlah menantunya menjadi Raja dengan gelar "Sultan Alaiddin Johan Shah". Kemudian Kerajaan Indra Purba dijadikan Kerajaan Islam dengan nama "Kesultanan Darussalam" yang beribu kota di Tei sungai Kuala Naga (Krueng Aceh), Ibu Kota Kessultanan dinamai Bandar Darussalam.
Nama Darussalam terus digunakan hingga pada masa sultan ke 10, akan tetapi selepas itu, yaitu ketika Kesultanan Darussalam diperintah oleh Sultan ke 11, yaitu Sultan Aliddin Ali Mughayat Shah yang menjabat pada tahun 916-936 H (1511-1530 M), nama Darussalam diubah menjadi Aceh Darussalam.
Diubahnya Darussalam menjadi Aceh Darussalam karena kerajaan kecil di sekitar wilayah Aceh sudah disatukan dengan Kesultanan Darussalam. Kerajaan-kerajan kecil yang disatukan itu meliputi negeri-negeri yang berada di wilayah utara pulau Sumatra.
Pada awalnya, wilayah Kesultanan Aceh hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh Syamsu Shah, ayah dari Sultan Ali Mughayat Shah. Ketika orang-orang Portugis mulai datang ke Malaka, status politik Aceh kala itu hanya bawahan dari Kesultanan Pedir, akan tetapi Aceh kemudian melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Pedir berkat perjuangan Sultan Ali Mughayat Shah.
Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kesultanan-kesultanan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir Timur Sumatera seperti Peurelak (Aceh Timur), Pedir (Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru ( Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Potugis. Karena Ali Mughayat Shah dikenal sangat anti kepada Potugis maka ia memutuskan untuk lepas dari Pedir, selanjutnya untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ditaklukkannya dan dimasukkan ke dalam wilayah Kesultanannya, sejak saat itu Kesultanan Aceh menjadi Kesultanan yang lebih besar dan lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam.
Penulis : Bung Fei
[2]Raden Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh. Terj. Teuku Hamid (Aceh: Departemen Pendidikan dan Budayaan Proyek Pengembangan Pemuseuman, 1982/1983
[3] Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1. Medan: Waspada, 1981
[4] Hajmy, Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 199
[5] Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradapan Islam: Prefektif Historis. Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013
[6] Zainuddin, Asal-Usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe. Jakarta Selatan: PT Zaytuna Ufuk Abadi, 201
[7]Ismail Suny, Bunga Rampai tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hlm. 19Daftar Pustaka
[1]Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984[2]Raden Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh. Terj. Teuku Hamid (Aceh: Departemen Pendidikan dan Budayaan Proyek Pengembangan Pemuseuman, 1982/1983
[3] Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1. Medan: Waspada, 1981
[4] Hajmy, Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 199
[5] Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradapan Islam: Prefektif Historis. Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013
[6] Zainuddin, Asal-Usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe. Jakarta Selatan: PT Zaytuna Ufuk Abadi, 201
[8]Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: PT. Percetakan Dan Penerbitan Waspada,1981), Jilid 1, hlm.139-140
[9]H.M Zainudin, Tarich Atjeh Dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), Jilid 1, hlm. 23
Posting Komentar untuk "Sejarah Asal-Usul Aceh, Mulai Dari Asal Nama dan Berdirinya Kesultanan Aceh"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.